Eposdigi.com – Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan juga beberapa negara di Asia.
Hukum adat tersebut bersumber dari peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya.
Berbagai aturan hukum tidak tertulis terbentuk dari berbagai kebiasaan-kebiasaan dalam pergaulan hidup masyarakat, selanjutnya dipandang sebagai adat dan pada akhirnya dipakai sebagai kaidah bersanksi.
Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaan nya pun terbatas.
Baca Juga:
Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Hal ini berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia. (heylawedu.id)
Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa adat diikat oleh hukum adat atau aturan adat yang berkembang dilingkungan masyarakat setempat. Apabila ada yang melanggar hukum adat, maka akan diberi sanksi adat.
Baca Juga:
Desa masyarakat di Bali sebagai kesatuan masyarakat adat memiliki berbagai sanksi adat seperti dapat di klasifikasikan menjadi tiga (Tri Danda ) atau yang dikenal tiga sanksi ,terdiri dari :
Pertama Artha Danda, yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan denda (berupa uang atau barang) contohnya Karampang (harta miliknya diambil secara paksa atau dirampas).
Kedua: Jiwa Danda, tindakan hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun rohani bagi pelaku pelanggaran (hukuman fisik dan psikis).
Contohnya Katugel Limane (dipotong tangannya) Kaselong (dibuang keluar kerajaan bahkan adakalanya keluar Bali) dan Kasapekang (tidak diajak ngomong atau dikucilkan).
Baca Juga:
Penerapan Governance: Mengelola Pemerintahan Asli Melalui Badu dan Leba Ne’e
Ketiga: Sangaskara Danda, berupa tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama).
Pemerintahan desa adat bersifat otonom, dalam arti setiap desa adat mempunyai aturan tesendiri yang hanya berlaku bagi warga desa atau banjar yang bersangkutan.
Secara umum aturan-aturan yang tertuang dalam awig-awig sama sekali tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah.
Tetapi dalam kenyataannya masih ditemukan awig-awig di beberapa desa adat yang memuat sanksi yang tidak cocok lagi dengan perkembangan jaman, seperti misalnya masih menerapkan salah satu sanksi adat yang cukup keras adalah Kasepekang dimana si penerima sanksi akan dikucilkan, diasingkan atau diberhentikan untuk ikut di desa (Madesa).
Baca Juga:
Sanksi adat Kasepekang ini apabila dihubungkan dengan ketentuan hukum positif yang berlaku secara nasional khususnya Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Sanksi Kasepekang terhadap seseorang itu berarti orang yang bersangkutan tidak diajak bertegur sapa atau berkomunikasi padahal dalam rumusan HAM terkait dengan hak atas kebebasan informasi menyebutkan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Adapun yang menjadi alasan masih diterapkannya sanksi kasepekang dalam kehidupan masyarakat adalah karena yang bersangkutan bersikap keterlaluan dan sulit dibina.
Baca juga:
Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan-Anak Tidak Cukup Diselesaikan Secara Adat
Disamping jenis sanksi ini tercantum dalam awig-awig sehingga prajuru adat (pemimpin adat) masih mempunyai landasan hukum untuk menerapkannya.
Selain itu prajuru adat tidak gegabah menerapkan begitu saja sanksi dalam awig-awig, warga akan diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Sebagai contoh tahapan dari penerapan dan penjatuhan sanksi Kasepekang di Desa Adat Tanjung Benoa, Kabupaten Badung yang dipaparkan oleh Bandesa Adat Tanjung Benoa.
Apabila berdasarkan paruman/ sangkepan (rapat krama banjar) dinyatakan bersalah kemudian warga tersebut dipanggil melalui surat untuk hadir dalam paruman/sangkepan (Pembinaan I).
Baca Juga:
Seterusnya jika tidak menemui hasil atau warga tersebut tidak hadir, maka akan kembali dipanggil untuk ikut paruman/ sangkepan lagi diundang dengan surat (Pembinaan II).
Apabila tidak menemui kesepakatan atau warga tersebut tidak hadir lagi maka dilakukan pemanggilan terakhir untuk ikut paruman/ sangkepan dan diundang dengan surat (Pembinaan III).
Jika memang dengan cara pembinaan itu warga tersebut masih belum bisa diterima oleh warga lainnya atau ia tidak mau menghadiri paruman/sangkepan tersebut, maka baru akan dijatuhkan sanksi Kasepekang.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan PPKn Universitas Pamulang – Tangerang / Tulisan ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Adat”. / Foto : kompasiana.com
Leave a Reply