Eposdigi.com – Semua tentu sepakat bahwa: pemikiran melahirkan tindakan, tindakan menjadi kebiasaan, kebiasaan menciptakan karakter, dan karakterlah yang menentukan nasib seseorang.
Pemikiran biasanya juga datang dari nilai-nilai dasar, hal-hal yang diyakini baik, entah itu datang dari pribadi, atau datang dari nilai-nilai keluarga, nilai-nilai di dalam masyarakat, kearifan lokal atau bahkan nilai-nilai yang berlaku secara universal.
Nilai-nilai inilah yang mempengaruhi sudut pandang pemikiran seseorang sehingga ia menghasilkan tindakan tertentu untuk menanggapi berbagai pengalaman yang ia alami dalam kehidupannya.
Singkat kata, sudut pandang seseorang dipengaruhi oleh seperangkat nilai dasar (sistem ide) yang berlaku dalam diri pribadi, dalam lingkungan keluarga atau masyarakat ia tinggal.
Baca Juga:
Melihat Celana Umpan dan Rambut Rebonding dari Kacamata Toxic Femininity
Berlakunya nilai-nilai dasar ini, biasanya tidak berubah tetap dan pasti walaupun zaman berubah.
Dalam sebuah diskusi menyoal peradaban Ata Lamaholot, ada satu pendapat mengenai perubahan nilai yang sedikit ‘mengganggu’ saya. Apakah nilai luhur kearifan lokal Ata Lamaholot telah berubah?
Kadang kita belum tuntas membedakan antara Nilai dan Ekspresi dari Nilai. Banyak yang beranggapan bahwa fenomena celana umpan dan rambut rebonding adalah contoh pergeseran ( kalau tidak dibilang perubahan) dari Nilai Penghormatan terhadap Perempuan di Lamaholot.
Saya lebih suka mengatakan bahwa celana umpan dan rambut rebonding adalah salah satu bentuk ekspresi Perempuan Lamaholot.
Tentu ini datang dari berbagai pola pemikiran, entah terpengaruh dari pengalaman budaya mana, namun ini tetap tidak bisa menjadi materai bahwa Nilai Penghormatan pada Perempuan Lamaholot telah berubah, tidak sesederhana itu.
Baca Juga:
Orang berekspresi secara tidak biasa, menyimpang dari kearifan lokal, tidak serta merta menjadi penegas bahwa ada seperangkat nilai dalam masyarakat tertentu telah berubah.
Masyarakat Lamaholot dalam masyarakat paling demokratis. Demokratisasi ini bahkan dimulai dari masyarakat yang sangat ‘purba’.
Pilihan kata ‘purba’ hanya untuk memberi keterangan bahwa pada zaman dahulu kala, entah berapa ratus atau bahkan ribuan tahun lalu, masyarakat Lamaholot sudah sangat demokratis.
Tidak ada seorangpun Lamaholot yang dapat menyangkal kebenaran ini. Ingatan-ingatan tutur turun temurun, menegaskan bahwa terbentuknya Lewotanah, sebuah peradaban, didahului oleh proses yang sangat demokratis.
Tidak hanya sangat demokratis, tutur tentang pendirian atau pembentukan sebuah Lewotanah, melibatkan pendekatan manajemen yang tiada duanya.
Baca Juga:
Menggagas Sumpah Adat Saat Pelantikan Pejabat Publik di Lamaholot
Pola-pola kepemimpinan dalam masyarakat Lamaholot adalah pola kepemimpinan kolektif kolegial, dengan pembagian peran-fungsi, dan tanggungjawab yang sangat jelas dan tegas.
Tidak ada penguasa tunggal yang memborong semua fungsi sosial kemasyarakatan. Pembagian wewenang dalam struktur kekuasaan, serta tanggung jawab yang melekat padanya, adalah sebuah proses yang pasti melibatkan sebuah nilai luhur hasil endapan batin Ata Diken Lamaholot.
Bahwa sekarang, kita menganut sistem demokrasi negara dalam kepemimpinan formal, namun kepemimpinan kultural tidak serta merta hilang begitu saja.
Perkembangan zaman, persinggungan dengan budaya lain, proses akulturasi maupun asimilasi nilai budaya dengan peradaban lain, jelas mempengaruhi cara masyarakat Lamaholot berinteraksi, namun semua itu tidak serta merta meniadakan nilai-nilai kearifan lokal asli milik Ata Diken Lamaholot.
Baca Juga:
Proses akulturasi dan asimilasi budaya memang memperkaya ekspresi nilai masyarakat Lamaholot. Entah secara pribadi maupun dalam kelompok masyarakat namun budaya luhur masyarakat Lamaholot tetap menjadi pandangan hidup dan dan menjadi tuntunan perilaku.
Tantangannya adalah deras dan gencarnya perubahan karena dorongan berbagai macam kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi terkini, jelas mempengaruhi cara masyarakat Lamaholot bereaksi dan berinteraksi, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai Ata Diken.
Karena itu dibutuhkan komunitas masyarakat yang dengan sengaja, menggunakan berbagai instrumen, baik struktural maupun kultural untuk menggali, mengumpulkan dan menjadikan berbagai nilai-nilai luhur Ata Diken Lamaholot sebagai cara hidup, cara berperilaku.
Cara hidup ini butuh diterapkan secara konsisten, melalui berbagai instrumen pewarisan budaya, entah dalam institusi keluarga, komunitas adat, maupun lewat struktural pemerintahan.
Baca Juga:
Pewarisan nilai yang didesain secara sengaja ini harus melibatkan sebanyak mungkin komunitas, dan dimaksudkan sebagai bentuk pewarisan nilai. Komunitas ini menjadikan perangkat nilai kearifan lokal sebagai landasan berperilaku sehari-hari.
Komunitas ini menjadi galeri, bukan dalam artian hanya menjadi tontonan yang bersifat ad hoc, atau bersifat seremonial semata, melainkan benar-benar menjadi benteng terakhir sekaligus ujung tombak pewarisan nilai.
Komunitas ini menjadi pengejawantahan dari ditemukannya nilai luhur Ata Diken Lamaholot dalam perilaku sehari-hari. Tentu bukan perkara mudah mewujudkan komunitas seperti ini. Namun idealisme seperti ini bukanlah idealisme yang utopis, sejauh direncanakan dan diikuti tahapan-tahapan pelaksanaannya secara total.
Koda Korin yang telah menjadi Kuat Kemuha karena dilakukan dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari adalah cara satu-satunya pewarisan nilai yang efektif. Masyarakat luas mengalami sendiri, integritas komunitas masyarakat yang “matana di koda, moripa di koda.”
Matanet di Koda – Moripet di Koda yang diterjemahkan dalam bentuk tindakan, entah itu dalam alam pikir, dituturkan dalam budi bahasa, dan dilaksanakan dalam nulu walen melan senaren adalah nama lain dari totalitas sampai tuntas dari Kuat Kemuha Koda.
Foto dari delegasi.com
Leave a Reply