Menilik Dampak Kerusuhan Antara “Ambon” dan “NTT” di Yogyakarta

Warga Peduli
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – “Permisi Bu, apakah ada kamar kos yang kosong?” Tanya salah seorang mahasiswa yang sedang berkuliah di Yogyakarta”.  Sontak si ibu itu pun menjawab, “Mohon maaf, kamarnya sudah penuh terisi”.

Dengan wajah penuh kecewa, mahasiswa itu pun langsung pergi karena kos yang hendak dituju sebagai tempat untuk menetap agar bisa berkuliah di Yogyakarta sudah terisi. 

Beberapa saat kemudian, entah kenapa mahasiswa tersebut pun berkeinginan untuk menanyakan kembali kepada pemilik kos tersebut, akan tetapi dengan orang yang berbeda. 

Baca Juga:

Mahasiswa, apa Prioritasmu?

Orang yang berbeda ini memiliki kulit yang terang atau tidak terlihat seperti orang Timur pada umumnya. Ia pun diminta untuk mewakili mahasiswa sebelumnya (yang berasal dari salah satu daerah yang ada di Timur Indonesia) untuk menanyakan apakah di tempat kos yang sama masih ada kamar kos yang kosong atau tidak. 

“Permisi Bu, apakah ada kamar kos yang kosong?” Si pemilik kos tersebut pun langsung menanggapi “Ada Mas. Masih ada kamar kos yang kosong.” 

Sontak, mahasiswa ini pun mengajak teman-temannya yang berada di luar pagar (mahasiswa yang berasal dari salah satu daerah yang ada di Timur Indonesia) yang sedari tadi bersembunyi untuk pergi dan tidak melanjutkan untuk menanyakan proses penyewaan kos tersebut. 

Baca Juga:

Lima Universitas Swasta Termahal di Indonesia dan Aneka Fasilitas yang Disediakan

Di atas, adalah kisah nyata yang dialami oleh beberapa mahasiswa yang pernah berkuliah di daerah Yogyakarta. 

Berangkat dari kisah tersebut, saya pun menafsirkan bahwa penolakan yang dilakukan pemilik kos tentu memiliki dasar yang cukup kuat, yakni adanya akumulasi pengalaman tidak menyenangkan ketika menyewakan kos kepada mahasiswa/i yang berasal dari daerah Timur. 

Beberapa pengalaman di antaranya adalah telat membayar uang sewa kos selama berbulan-bulan. Sehingga, beberapa pemilik kos dengan terpaksa mengusir mahasiswa yang menyewa tempat mereka. 

Beberapa mahasiswa di antaranya pergi secara diam-diam karena tidak membayar uang kos dalam waktu yang cukup lama.

Baca Juga:

Jalan Panjang Menuju Sanata Dharma

Pengalaman-pengalaman di atas tentu tidak semua mahasiswa mengalami, akan tetapi tidak sedikit juga yang mengalami demikian. 

Tidak hanya itu, bahkan polisi pun seakan membiarkan saja ketika ada mahasiswa yang tidak menggunakan helm melewati ruas jalan, bahkan 3 atau 4 orang berboncengan dengan satu motor. Mabuk-mabukkan di jalanan dan banyak kasus lainnya yang kurang adaptif.

Terlepas dari alasan apapun, beberapa tindakan di atas adalah tindakan yang tidak bermoral. Sangat tidak mencerminkan diri sebagai seorang civitas akademik. Akumulasi pengalaman negatif, yang mungkin terjadi secara terus-menerus kemudian membentuk stereotip tersendiri kepada mahasiswa yang berasal dari  Timur. 

Baca Juga:

Tawuran sebagai Representasi dari Krisis Identitas Remaja

“Orang Timur itu biasanya tidak membayar kos”, “orang Timur itu sukanya mengkonsumsi miras hingga mabuk-mabukkan.” “Orang Timur itu suka membuat kerusuhan.” “Orang Timur itu galak, dll”. Padahal tidak semua demikian.

Terlebih lagi dalam kasus yang terjadi dalam beberapa hari ini. “Saya tidak mau di Jogja jadi ajang kekerasan fisik menjadi kebiasaan untuk anak didik. Kita harus keras dengan pelaku kekerasan”. Ungkap Sri Sultan HB X selaku Gubernur DIY dilansir dari IG Wonderfuljogja pada 4 Juli 2022.

Ungkapan Sri Sultan ini tidak lain adalah tanggapan atas kasus kerusuhan yang terjadi di Babarsari, Caturtunggal, Depok, Sleman, yakni antara (beberapa) orang Ambon dan (beberapa) orang NTT. 

Baca Juga:

Perilaku Sebagai Hasil Dari Sugesti

Menilik adanya kasus kerusuhan antardaerah ini, memiliki dampak yang tidak sederhana dan tentu memprihatinkan ketika praktik kekerasan ini terus terjadi. Ke depannya, adik-adik kita yang ingin mengenyam pendidikan di kota terpelajar akan banyak mengalami hambatan. 

Satu di antaranya adalah adik-adik kita akan kesulitan mendapatkan kos. Hal ini terjadi karena akumulasi pengalaman negatif yang dilakukan mahasiswa sebelumnya. 

Sehingga membentuk stereotip negatif terhadap seluruh mahasiswa dari daerah Timur Indonesia yang hendak berkuliah di Jogja. Kondisi ini tentu tidak kita harapkan. 

Baca Juga:

Telah Hadir Universitas Internasional Papua, Ini Program Studi Unggulannya

“Anak saya terpaksa harus lari ke Jakarta, beberapa teman-temannya harus pergi Surabaya maupun Solo untuk mencari tempat berlindung” ungkap salah seorang ibu yang saat ini anaknya sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta (05/07/2022). 

Pernyataan di atas tentu menjadikan ruang kosong bagi kebutuhan akan rasa aman. Ruang ini menjadi hampa karena kondisi yang diciptakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ketidaknyamanan ini menjadi general, meluas bahkan bagi orang-orang Timur lainnya yang tidak terlibat akan tetapi turut terkena imbasnya. 

Bayangkan saja, jika salah satu di antara mereka akan mengikuti ujian skripsi ataupun kegiatan kampus yang mempertaruhkan masa depan mereka, tentu sangat disayangkan karena mereka tidak berani keluar ataupun pergi dari Jogja.

Baca Juga:

Universitas Islam Internasional Indonesia Jadi Kiblat Riset Islam Moderat

Tulisan ini tidak sedang menyudutkan orang-orang dari Timur, akan tetapi mencoba mengajak agar siapa saja yang menempati kota terpelajar, perlu sadar akan keberadaannya, yakni sadar akan pikirannya, sadar akan perkataannya dan sadar akan perilakunya. 

Orang Timur itu terkenal kuat persaudaraanya, akan tetapi tidak dengan kekerasan jika ingin menunjukkan eksistensi dari persaudaraan itu. Beberapa tindakan kerusuhan yang terjadi baru-baru ini, sungguh sangat mencederai nilai dari persaudaraan itu sendiri. 

Oleh karena itu, mari kita sungguh-sungguh sadar akan keberadaan kita. Sadar akan nilai persaudaraan yang telah diwariskan secara turun temurun, bahwa di tanah perantauan, aku dan kamu menjadi kita, bukan dia atau mereka yang berdiri masing-masing. 

Baca Juga:

Delapan Tahun Lagi, Dunia Kehilangan Pekerjaan Ini

Mari selamatkan generasi berikut dengan warisan budaya persaudaraan yang tidak tercederai. Hancurkan stereotip yang negatif terhadap orang-orang Timur. 

Tentu hal ini tidak mudah, tapi mari dicoba dan dibiasakan secara terus menerus untuk menunjukkan bahwa tidak semua orang Timur itu keras, tidak semua orang Timur itu suka mengkonsumsi miras, tidak semua orang Timur itu suka membuat kerusuhan, dll.

Perang saat ini bukanlah perang yang menggunakan parang dan tombak, akan tetapi perang antara hati dan pikiran kita.

Penulis Pernah Kuliah di Yogyakarta /Foto ilustrasi dari sindonews.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of