Eposdigi.com – Terima kasih banyak atas dimuatnya diskusi oleh media ini sehingga goe bisa mengikuti dan tergoda untuk memberikan satu dua pikiran tambahan ini. Sekaligus mohon maaf karena tidak mengikuti hingga akhir diskusi kita kemarin.
Tanggapan ini saya tulis sebagai tambahan pendapat dari saya dan sekaligus menanggapi pendapat teman-teman dalam diskusi kemarin seperti yang dimuat di media ini.
Menurut saya, adat itu tidak pernah final dan tidak akan final ketika kita sebagai “atadiken” masih hidup. Oleh karena adat itu lahir dari kebiasaan secara turun temurun dan dilakukan secara berulang-ulang.
Baca Juga: KMAY diskusikan “Beratnya Beban Adat di Adonara”
Maka apa yang orang tua kita rubah hari ini, kebiasaan hari ini dan di lakukan secara berulang-ulang maka di generasi kita dan anak kita akan menjadi adat.
Saya Ambil Contoh Adat Bailake.
Zaman Dahulu, adat pemberian kepada bailake di sebagian masyarakat di Adonara, dulunya hanya dikasih tiga ekor hewan. Tiga ekor hewan ini sesuai sebutannya. Pertama, Karo Puken , berikutnya tuki tanah dan yang ketiga ape nuhun.
Apa makna dari ketiga hewan ini? Karo Puken, ne raaro deina. Artinya hewan (lazimnya kambing) yang disebut sebagai “karo puken” tidak dimakan. Tuki Tanah, ini sebagai penghargaan karena opu bailake sudah melakukan penggalian pertama kali sebagai awal dilakukan penggalian kuburan.
Baca Juga: Jejak Peradaban Perempuan Adonara Dulu dan Sekarang
Ini bisa di sembeli bisa juga tidak tergantung keluarga opu bailake. Dan yang ketiga adalah Ape Nuhung. Artinya hewan ini akan di sembeli untuk di santap bersama dengan orang orang yang kita ajak melayat.
Dan ini menurut tutur kakek saya bahwa di sembeli dan di santap di pondok (orin) dengan merebus pisang atau ubi. Istilahnya “raan tunu muko rekan” Dan selesai.
Dan itu pun di kasih bisa dalam jangka waktu bertahun tahun. Ada istilah dari keluarga duka ke opu bailake begini :”Mian manuk di kubu peno ki, tuak di keli tou peno ki, nage kame mai toin opukem bailake.”
Nanti setelah keluarga mampu membeli/memiliki hewan ternak baru kemudian dikasih ke opu bailake. Karena orang dulu sungguh bijak, mereka sadar anaka opuka sementara berduka sehingga mereka tidak mau menambah lagi beban duka mereka dengan “memaksa” harus memberi binatang saat itu juga.
Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot?
Dan dari ketiga binatang tersebut yang WAJIB ne adalah Karo Puken, karena ne kalau take maka bisa turo rehinet (mendapatkan karma adat.
Sementara dua yang lain itu sebagai penghargaan dan etika saja. Hal ini kalau kita telusuri juga sedikit sama dengan masyarakat Adonara di daerah Kecamatan Tanah Boleng misalnya, di sana ada istilah Witi Riuke. Dan itu diberikan kepada opu bailake dan hanya satu itu saja.
Satu lagi Soal Istilah. Menurut saya bailake itu kalau yang meninggal laki laki. Kalau perempuan itu naan aman. Sekarang kadang kita menyebutnya seragam. Entah yang meninggal laki laki atau pun perempuan semuanya bailake.
Saat Sekarang ini, pemberian hewan ternak ke opu bailake kalau hanya tiga ekor, katanya tidak elo / tidak etis, malah ada bahasa “tabe tuma opu bailake”, dan seribu satu alasan. Karena itu sekarang ini kalau bukan lima, maka tujuh, atau sembilan, atau 11, atau 13, atau 15 dan seterusnya.
Malah yang biasanya pemberian itu berupa kambing dan/atau babi, sekarang ini ada yang di tambah dengan kuda atau sapi atau bahkan kerbau. Kalau sudah seperti itu, semua hewan ternak ini apakah memiliki makna seperti yang dilakukan pada zaman dahulu?
Baca Juga: Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Penutup)
Menurut saya, kebiasaan ini mulai dirubah generasi bapak atau kakek kita. Karena saya mendapatkan cerita ini dari kakek saya. Dengan demikian apakah adat itu sudah final ? Kalau itu Final artinya kita warisi dari yang lebih awal. Soal GENGSI? Justru ini yang merubah ADAT!!
Adat menyangkut spiritual? Setuju!! Justru kalau menyangkut spiritual maka tidak bisa dirubah seturut gengsi. Lalu di mana letak kesakralan spiritualnya? Jangan sampai ada anggapan semakin kita menjaga gengsi maka semakin sakral. Apakah dengan mungkin semakin banyak memberi hewan ke opu bailake semakin meningkatkan gengsi?
Yang terjadi hari ini sudah beranjak jauh dari kearifan adat. Sekarang tinggal memilih, kembali ke kemurnian adat atau terus menjaga gengsi? Kalau terus menjaga gengsi maka kita dengan sadar dan mau sedang menghianati adat kita!
Walaupun bernilai spiritual, adat tidak bisa tergantung dari masing-masing pribadi. Karena sesungguhnya adat itu adalah seperangkat peraturan yang tidak tertuluis yang mengatur tata nilai pada suatu komunitas tertentu.
Baca Juga: Benarkah Masyarakat Adonara Murni Patrilineal?
Kalau adat kembali kepada pribadi masing-masing maka kacaulah komunitas tersebut. Bagaimana bisa adat dikembalikan kepada masing masing pribadi?
Dan dalam diskusi kemarin (30/10/2021) juga saya sempat mendengar ada ungkapan bahwa orang dulu banyak memiliki hewan peliharaan, entah apa hubungan dengan “pembelokan adat” hari ini.
Saya hanya mau tanggapi bahwa orang dulu yang memiliki banyak hewan piaraan saja membatasi urusan adat nein opu bailake, kenapa kita sekarang yang tidak memelihara binatang sebanyak mereka mau memberi yang jauh lebih banyak dari apa yang mereka warisi?
Berikutnya gelekat/kelekat. Soal gelekat itu suatu nilai yang perlu dipertahankan. Ketika satu keluarga mendapatkan kesusahan hari ini, yang lain dengan sendirinya datang dan membantu.
Ini adalah gemohing. Hari ini Anda beri ketika saya dalam kesusahan, besok lusa ketika Anda susah, saya pun pasti akan datang dan membantu.
Baca Juga: Agama Koda : Pilar Utama Pembentuk Jatidiri Anak Adonara (Penutup)
Hanya saja, ketika kita ingin membantu saudara kita yang lagi kesusahan, kita terlebih dahulu membuka “buku catatan”. Saya waktu itu di kasih apa, sudah tercatat dengan rapih dan jelas. Maka waktu itu saya di beri kain lipa Wadimor, maka saya juga akan mencari lipa Wadimor dan seterusnya.
(Penulis adalah Alumni KMAY – Saat ini mengajar di SMA Negeri Kelubagolit – Adonara)
Leave a Reply