Eposdigi.com – “Gengsi”, satu kata singkat, padat, lugas dan apa adanya disampaikan oleh Azam Putra Lewokeda, Alumni KMAY dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Keluarga Mahasiswa Adonara Yogyakarta (IA-KMAY) secara virtual (30/10/2021).
Diskusi yang diselenggarakan malam ini berangkat dari kegeilsahan bahwa beban ritual adat terutama terkait kematian menjadi semakin “memberatkan” oleh banyak orang.
Berawal dari obrolan ringan di salah satu WA group alumni, yang kemudian direncanakan untuk dibawa menjadi diskusi yang lebih luas oleh Almuni KMAY di mana saja berada, baik di Lewotanah Adonara maupun di luar.
Dalam testimoni awalnya, Kamilus Inguliman, alumni KMAY yang tinggal dan bekerja di Tangerang Selatan mengungkapkan bahwa tradisi-tradisi masyarakat terkait kematian, entah tradisi agama maupun adat dinilai memberatkan.
“Mulai dari saat kematian, malam pertama hingga malam keempat doa arwah, kemudian ritual-ritual adat dengan berbagai macam pernak-perniknya pasti menghabiskan banyak sekali anggaran,” kata Kamil Inglan.
Kamil kemudian membandingkannya dengan bagaimana masyarakat Sunda tetangganya di Tangerang Selatan menghadapi peristiwa kematian. Bahwa keluarga yang meninggal terlihat tidak begitu terbebani untuk urusan terkait kematian.
Baca Juga: Dari Kenotan; IA KMAY gagas Mubes
Menanggapi apa yang disampaikan oleh Kamil Inglan, Azam Putra Lewokeda mengungkapkan bahwa benar dorongan gengsi membuat banyak hal menjadi lebih besar, lebih berat.
“Memang ini terkait gengsi. Tapi ada hikmanya juga. Bahwa berat tapi itu dinikmati. Karena bukan kita sendiri. Semua orang juga mengalaminya. Berat baru terasa setelah habis malam keempat. Setelah itu baru kita hitung utang,” terang Azam.
“Tapi ini biasa. Orang luar pasti mengatakan bahwa kami pasti memiliki banyak uang untuk menghadapi tanggung jawab adat ini. Tidak. Apalagi saat ini kewatek dan nowin sudah semakin mahal. Ini menjadi biasa. Karena pada gilirannya semua orang saling membalas budi. Kita datang ke orang, nanti orang lain juga datang ke kita. Untuk hajatan apapun, bukan hanya kematian,” lanjut Azam.
Di tengah diskusi, Alfons Rianghepat mengingatkan bahwa, bukan soal gelekatnya yang dibicarakan melainkan kembali melihat “jumlah” atau banyaknya pemberian itu.
Baca Juga: LDK dan Makrab KMAY; Ajang Merekatkan Semangat Kekeluargaan
“Katakanlah bailake diberi 3 ekor hewan. Mengapa harus tiga ekor? Sarung harus berapa? Jadi yang harus kita angkat dan diskusikan adalah mengapa harus jumlah tertentu? Jadi yang kita cari adalah filosofi di balik pemberian itu. Itu yang harus kita gali,” terang Alfons Rianghepat.
Tidak hanya alumni, diskusi dengan perserta yang sangat terbatas ini juga dihadiri oleh anggota KMAY. Ahmad Kiki Keli Ehan, Ketua KMAY mengungkapkan bahwa diskusi tentang adat tidak akan bisa didekati dengan penalaran intelektual.
“Sebenarnya adat tidak memberatkan. Yang memberatkan adalah pikiran kita. Konsep dalam adat sebenarnya mudah. Yang membuatnya berat hanya karena gengsi. Persoalan adat tidak bisa ditelaah dengan intelektualitas. Karena adat sifatnya spiritual.”
Kiki mengingatkan bahwa berbicara mengenai adat harus hati-hati. Karena ranahnya adalah spiritualitas. Sehingga dikembalikan kepada masing-masing pribadi.
“Yang paling penting adalah soal kita kembali ke nilai-nilai yang ada di masyarakat Adonara,” terang Kiki.
Yonas Langowuyo, anggota KMAY lainnya juga mengungkapkan bahwa kewajiban adat harus dijalankan oleh semua anak Adonara. Terutama adat kematian. Yang harus disederhanakan adalah acara-acara lain yang bukan acara adat.
Baca Juga: Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Penutup)
“Orang tua dulu mengungkapkan bahwa tujuan hidup mereka adalah untuk membesarkan anak-anak mereka dan untuk menjalankan kewajiban adat” kata Yonas.
Prespektif yang sama juga datang dari Simon Lamanepa, alumni yang kini mengabdi sebagai guru di SMP Kanisius Menteng – Jakarta Pusat.
“Sebagai nilai, adat sudah finis. Sudah selesai. Yang kita bicarakan adalah materi. Materi yang digunakan dalam ritual adat. Jika gengsi yang membuat mareial adat ini menjadi berat maka harus kita diskusikan kemudian,” kata Simon.
Dalam penjelasannya Simon mengungkapkan bahwa ada daya tarik luar biasa terkait adat dari generasi ke generasi.
“Seperti halnya generasi sandwich saat ini. Kita berada di tengah-tengah. Dihimpit dan ditarik oleh dua hal. Pertama tarikan dari kewajiban-kewajiban adat di masyarakat, dan secara bersamaan ditarik juga oleh kewajiban-kewajiban kita di rumah” terang Simon.
Baca Juga: Menguji Agama Koda Dengan Alienasi Feuerbach
Simon menambahkan, “urusan adat dalam hal ini material adat jangan sampai membuat anak-anak kita kehilangan kesempatan untuk mengakses pendidikan yang lebih baik. Jangan sampai banyak biaya hanya kita habiskan untuk urusan adat, dengan mengabaikan urusan pendidikan yang juga sama pentingnya”.
Walaupun dihadiri oleh hanya 10 orang, namun peserta yang antusias membuat diskusi ini sangat menarik.
Piter Tokan di sela kegiatan lain yang sedang diikutinya bersama dengan Azam Putra Lewokeda, namun tetap membagi fokus dan terus mengikuti jalannya diskusi.
Piter mengungkapkan bahwa tanggung jawab adat memiliki nilai spiritual yang mau tidak mau harus diterima dalam konteks masyarakat Adonara.
“Ketika tite tai gute gelekat ata, ewan menawun ta, pasin pao di hala, naku karena na budhin naku nae maka mian ata beto hipa leduk ko, hide danek ko, ra’aro na kuat kemuha naen ne nabe tawan,” kata Piter.
Piter kemudia menambahkan “zaman sekarang mungkin tite percaya de hala. Kame murine pia lewo, ketika ada maten muruke, kame tao doi. Mian ra kedan kenerene, ra roma lapita dai, mian ra gere dai di marin main ra mete rian, pae ban kenatuka. main tite ni noon umen pe lau nai helon take”.
Baca Juga: Puisi-Puisi Piter Tokan
Menurut alumni Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta ini, spiritualitas masyarakat Adonara seperti ini tidak mudah dipahami dengan pendekatan ilmu pengetahuan moderen saat ini, namun kenyataannya dirasakan dan dialami oleh kebanyakan orang Adonara.
Diskusi barusan ini ditutup dengan tidak menyimpulkan apapun. Sebagai host Kamil Inglan diakhir diskusi mengatakan:
“Memang sengaja kita tidak mengyimpukan apapun. Hanya sebagai saling mengeksplorasi gagasan. Akan kita agendakan lagi dengan melibatkan lebih banyak anggota KMAY maupun alumni. Juga berusaha menghadirkan narasumber-narasumber yang paham betul mengenai ini”.
Leave a Reply