Situs Batu Kembar: Tempat Pasutri Mengharap Berkat

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Sisi lain dari kisah Besi Pare Tonu Wujo

“Yang dilakukannya demi kita dan kelangsungan hidup suku. Dia pahlawan. Dia menyerahkan hidupnya untuk benih-benih ini.”

Epoosdigi.com – Mungkin itu adalah ungakapan hati Paji setelah pengorbanan Besi saudari mereka. Saya menebak, banyak emosi yang bercampur jadi satu di saat-saat paling kelam itu. Didera kelaparan hebat hingga pengorbanan Besi saudari mereka tentu bukan hal mudah untuk diterima. (Tentang Pengorbanan Besi, selengkapnya dapat dibaca pada tulisan  “Besi Pare Tonu Wujo – Dewi Sri Orang Flores Versi Muhan”; tayang pada 27 September 2019 lalu).

Rupanya bukan cuma itu.

Di kampung Besi dan saudara-saudaranya hidup terdapat dua buah batu berukuran raksasa yang oleh masyarakat setempat disebut batu kembar. Letaknya tidak jauh dari tempat Besi mengorbankan diri lewat tangan Paji saudaranya. Selain karena ukurannya yang jauh melebihi ukuran batu biasa, bentuknya yang nyaris sama menegaskan satu hal: batu ini memang kembar. Tidak heran, suku Muhan begitu menghormatinya dan dipercaya memiki sifat gaib.

Pada Sabtu, 7 September 2019, penulis dan narasumber berkesempatan melihat batu itu. Sekitar tengah hari, kami berjalan kaki ke arah utara Desa Palue, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Setelah keluar dari pemukiman penduduk, kami langsung menuruni bukit, melewati punggungnya, dan tiba di kali besar yang airnya akan bermuara di Desa Konga, Kecamatan Titehena. Di sini kami rehat sejenak sembari meluruskan otot-otot yang mulai dilanda kelelahan. Setelah menghabiskan 1,5 jam dengan berjalan kaki.

Penulis bersama narasumber dan rombongan, beristirahat sejenak di pondok.

15 menit berlalu, dan kamipun melanjutkan perjalanan. Kali ini mendaki. Kata pemandu, “sebentar lagi sampai.” Itu sudah cukup untuk membuat semangat kami tetap membara. Setelah satu jam menanjak, menyibak belukar guna membuka jalan bagi tungkai-tungkai kaki, saya baru sadar bahwa kata “sebentar” yang dimaksud pemandu adalah dalam konsep mereka. Itu bisa bermakna satu sampai tiga jam perjalanan lagi.

Benar saja. Butuh waktu dua jam untuk benar-benar beradu pandang dengan -apalagi kalau bukan yang sedang kami cari- batu kembar. Sekali pandang, aura mistis langsung menyerbu. Bulu kuduk otomatis berdiri tanpa diperintah di tengah hari bolong. Menggetarkan.

Batu Kembar tersembunyi di balik lebatnya belukar.

Batu kembar dalam pelukan rimba. Mungkin judul yang tepat untuk tulisan ini. Berukuran raksasa dengan tinggi hampir setengah manusia dewasa. Bentuknya tidak benar-benar bundar sempurna. Berwarna gelap. Jutaan lumut sudah hidup dan mati (lagi) di sekujur permukaannya. Bahkan, akar pohon seukuran betis sudah nyaman melingkupinya.

Batu Kembar dalam pelukan akar rimba

“Batu kembar sudah ada sejak zaman Besi Pare Tonu Wujo.” Kata narasumber memulai percakapan. “Letaknya tidak pernah berubah meski telah melewati ratusan musim. Batu kembar dipercaya memberikan berkah bagi pasutri yang ingin memiliki anak kembar. Caranya mudah, pasutri cukup melompat dari batu yang satu ke yang lainnya. Jika gagal, nyawa adalah gantinya,” tambahnya. Lebih jauh narasumber mengatakan, celah diantara kedua batu itu tidak boleh dilewati. Bisa berakibat fatal bagi yang tidak mematuhi perintah ini.

Momen ini harus diabadikan. Sekedar penanda penulis was here. Kamipun mengambil beberapa gambar sebagai kenangan.

Waktu sudah hampir pukul 15.30 wita. Kami bersepakat untuk melangkah pulang. Beranjak dalam perjalanan pulang saya berharap: semoga suatu hari nanti situs ini boleh menjadi situs wisata.

“Yang dilakukannya demi kita dan kelangsungan hidup suku. Dia pahlawan. Dia menyerahkan hidupnya untuk benih-benih ini.”

Benih-benih jelmaan Besi barangkali dilengkapi oleh kedua batu kembar ini. Melipatgandakan keturunan bagi siapa saja yang mengharap berkah kehidupan, lewat perantaraannya.

Bukan cuma itu, masih banyak kisah-kisah lampau yang perlu dituturkan.  Menyegarkan ingatan. Bahwa ada begitu banyak nilai warisan leluhur. Menunggu untuk digali. Dikumpulkan. Dituturkan kembali. Demi menuntun jalan. Menjadi bekal hidup. Generasi lintas generasi.

Sebarkan Artikel Ini:

4
Leave a Reply

avatar
2 Discussion threads
2 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
3 Comment authors
digi-ersRickardo MaranSipri Peren Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
Sipri Peren
Guest

Tulisan Pak Frans ini bagus. Tidak cuma gaya penulisannya tetapi juga isinya. Mudah mudahan dibaca oleh lebih banyak orang. Ini adalah model dokumentasi yg bagus.

Rickardo Maran
Guest
Rickardo Maran

Terima kasih, ulasan ceritra ini sangat bermanfaat untuk kita semua, sukses selalu untuk penulis dan timnya..