Perang Tanding, Kriminalitas dan Perdamaian di Adonara

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Berangkat dari diskusi epu orin oleh amak orang tua yang terpublikasi, sehingga membuat dorongan hati, pikiran dan tangan untuk menulis sedikit tentang Adonara. Dengan merujuk pada cerita amak orang tua yang menjadi nara sumber dan bahkan pemikiran peserta diskusi epu ori yang luar biasa sangat bermanfaat untuk generasi adonara kedepan yang lebih baik.

Dengan bahasa saya yang sederhana dan mudah dicernah oleh setiap kita orang Adonara di manapun berada, dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang berbeda-beda.

Saya menyajikan tulisan ini untuk mengisi waktu luangmu disaat kita dalam santai misalnya dibaca sambil meneguk kopi, teh atau minuman penyegar tubuh lain. Jikapun ada teman-teman yang tidak mau membaca tulisan panjang, maka harap saya cukup baca pada alinea terakhir.

Agar supaya kita sama dalam berpikir Adonara lebih baik hari ini dan untuk kedepannya. Tulisan inipun jauh dari sempurnah dengan begitu kritik dan saranpun diharapkan.

Konflik di Adonara yakni perang antar suku, antar lewo dan juga antar wilayah. Perang di Adonara hampir disepakati oleh kebanyakan masyarakat Adonara sebagai perang tanding. Mengapa demikian?

Karena perang di Adonara adalah sebuah aktivitas ritual yang sakral untuk menentukan sebuah keputusan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Dengan perkembangan peradaban manusia hingga sampai saat ini, hal semacam ini seharusnya sudah ditinggalkan sebagai sebuah peradaban masa lampau oleh leluhur kita.

Kenyataan yang sering terjadi di masyarakat Adonara sejak lampau hingga sekarang, melakukan ritual perang tanding untuk memperebutkan hak tanah ulayat dan mempertahankan harga diri seorang perempuan.

Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship

Namun demikian masyarakat Lamaholot terkhususnya masyarakat Adonara memahami betul hubungan persaudaraan mereka yang diistilakan dengan bahasa lamaholot yakni dalam ungkapan:

ina tou lake eha, sama telu tou meha na pesa, na tika weka nawot bage, kakan papa arin lola,tite ni kaka ari na’an no’o bine

Sehingga jikaulah terjadi konflik dan perang maka aturan perang tanding pun cukup ketat. Aturan yang lahir secara alami. Melanggar aturan ini bisa dimanfaatkan  sebagai  sumber koda menjatuhkan lawan.

Masyarakat adonara paham betul bahwa ketika berhadapan untuk melakukan aktivitas perang adalah dengan saudaranya sendiri. Sehingga yang akan dibunuhpun adalah saudaranya sendiri di medan perang.

Perang tanding di Adonara memiliki peraturan yang ketat. Misalnya perang haya boleh dimulai dari pukul 06.00 sampai pukul 09.00. Jika dilanggar maka bisa menimbulkan lebih banyak korban dari pihak yang melanggar.

 Istilah yang disebut dalam bahasa Lamaholot yakni Kemeta Tepo yang artinya selesainya waktu peperangan. Perang akan dilanjutkan kembali pada pukul 15.00 sampai pukul 18.00 Wita.

Aturan ini juga menggambarkan  tidak adanya tindakan main hakim sendiri atau pembunuhan yang dilakukan diluar lokasi peperangan.

Aturan itu menjadikan perang tanding di Adonara sebagai sebuah perhelatan oleh para pendekar yang benar-benar berlaga pada satu konteks peradilan yang cukup sakral.

Leluhur telah memikirkan dengan begitu terperinci, sehingga keadaan Adonara pada waktu itu begitu aman, damai dan tentram walaupun ada aktivitas perang tanding dimana-mana.

Tentunya warisan cinta damai itu hingga sampai saat ini sudah melekat disetiap Aata Diken Adonara. Warisan yang sama membuat Ata Diken Adonara mampu beradaptasi di tempat perantauan, dengan selalu membawa etikanya dan sopan santun yang sudah melekat pada dirinya.

Bisa jadi ini membuat Ata Diken Adonara selalu diterima dengan baik oleh lingkungan ia berada. Warisan darah petarung yang sejati dan selalu optimis tetap menang disemua perhelatan kehidupan.

Namun sebagai anak muda, saya melihat bahwa ada  kemerosotan nilai dalam melakukan aktivitas perang tanding. Perang tanding sudah tidak sesuai lagi dengan yang diwariskan oleh  leluhur dari masa lampau.

Hari ini, perang di Adonara lebih merupakan tindakan murni kriminalitas. Bukan lagi sebagai perang tanding yang sarat nilai seperti diwariuskan leluhur Adonara masa lampau. Bisa jadi tindakan criminal pembunuhan di Adonara dianggap sebagai  perang tanding. Bahkan tindakan kriminal ini diakui seolah-olah sebagai bentuk mengakuan diri sebagai Ata Diken Deket.

Baik oleh hukum formal di Indonesia, maupun di belahan dunia manapun, melarang seseorang membunuh sesama manusia. Begitu pula dengan agama-agama di dunia yang melarang saling membunuh.

Masyarakat Adonara pun tidak dibenarkan untuk melakukan pembunuhan antar sesamanya. Ada ungkapan yang merupakan warisan leluhur yang  landasan nilai yakni “kaka keru, ari baki, ake puno ake geni, ake tupa ti akene datako”.

Pertanyaannya kenapa sampai sekarang masih ada perang di Adonara? Mengapa? Apakah masyarakat Adonara kebal hukum terkait peperangan? Apakah masyarakat Adonara sendiri tidak mampu mengehentikan perang?

Apakah perang di Adonara menjadi tradisi yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakatnya? Apakah kesakralan perang membuat masyarakat Adonara sendiri juga takut untuk mendiskusikan perdamaian?

Baca Juga: Menuju Adonara Baru (Penutup tiga tulisan)

Berbagai macam usaha daya kaum intelektual Adonara yang berjuang untuk kedamaian, namun hingga sampai saat ini masih terjadinya perang di Adonara.

Penyelesaian konflik dengan menggunakan hukum adat, sebut saja dengan istilah nayu baya. Ini merujuk pada sumpah dan janji secara adat untuk tidak melakukan aktivitas perang diantara kedua belah pihak.

Namun dalam perjalanan waktu nayu geto, baya di bolak artinya ada pelanggaran sumpah dan janji sehingga terjadinya perang.

Walaupun dengan berbagai pendekatan termasuk pendekatan hukum formal pun kenyataan masyarakat Adonara sampai hari ini tidak bisa menghentikan persoalan konflik di Adonara.

Maka pertanyaan berikutnya adalah dengan cara apa lagi masyarakat Adonara menyelesaikan konflik di Adonara?

Tentu dapat dipastikan bahwa masyarakat Adonara mampu menghentikan perang di Adonara. Salah satu contohnya yakni perang tanding antara Paji dan Demo. Perang antara Demon Lewo Pulo dengan Paji Watan Lema sudah terselesiakan.

Dengan begitu maka apakah kita bisa mengambil contoh dari proses penyelesaian perang antara Demo dan Paji ? Contoh penyelesaian persoalan antara Demo dan Paji yakni dengan menggunakan hukum adat dengan istilah nayu baya.

Nayu Baya ini pun sudah dipraktekkan oleh banyak lewo di Adonara dan efektif meredam berbagai potensi konflik.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa dibanyak tempat lain Nayu Baya seolah tidak mempan? Sebagai anak muda Adonara saya sangat tertantang untuk berpikir mengenai Adonara tanpa perang tanding dimasa mendatang.

Saya mencoba menelaah lebih jauh tentang kesepakatan -Nayu Baya- yang mengakhiri konflik atau perang tanding di Adonara.

Sumpah dan janji atau yang disebut dengan istilah Nayu Baya biasa digunakan untuk membangun kesepakatan dua suku atau lebih atau antara dua lewo atau lebih untuk membangun ikatan yang sakral demi menjaga kedamaian dan solidaritas diantara mereka.

Nayu baya ini juga dilakukan oleh pelaku konflik dari kedua belah pihak dengan ritual bau lolon.  Kesepakatan sakral untuk menghentikan konflik dan agar tidak lagi melakukan aktivitas perang tanding dimasa yang akan datang.

Masyarakat Adonara meyakini bahwa kesepakatan Nayu Baya yang dimaterai dengan ritual bau lolon sangat sakral. Ini mendorong masyarakat Adonara mentaati perjanjian itu.

Akan tetapi dalam perjalanan waktu ritual itu kadang dilanggar oleh generasi saat ini. Konsekuensi dan ganjaran akibat melanggar kesepakatan -Nayu Baya – ini tidak lagi diperhitungkan.

GENGSI ingin menunjukan jati dirinya sebagai ata diken deket –pemberani- kadang menjadi sebab Nayu Baya tidak kagi ditaati. Hal sepele yakni GENGSI dipundak yang tidak ada gunanya dan tidak memberikan kontribusi apapun dengan peradaban manusia moderen saat ini.

GENGSI satu dua orang yang kemudian diprovokasi –beadoke- bisa membuat konflik yang seharusnya antar oknum itu bisa menjadi antar Lewo (kampung) dengan Lewo, bahkan bisa hingga meluas sampai perang antar wilayah.

Keyakinan saya “nayu baya” menjadi efektif karena juga didorong tuntutan kebutuhan antara kedua bela pihak yang selama ini merasa kesulitan dalam menapaki kehidupan sebagai manusia yang bebas dan merdeka oleh karena akibat konflik atau perang.

Contoh konflik Demon – Paji  bahwa sesungguhnya peradaban manusia pada masa itu belum tersentuh oleh perkembangan dari luar. Bisa juga karena masyarakat Lamaholot pada umumnya belum banyak yang mengena pendidikan formal.

Baca Juga: Agama Koda : Pilar Utama Pembentuk Jatidiri Anak Adonara (Penutup)

Mungkin juga oleh karena Indonesia belum merdeka sehingga kehadiran negara belum dirasakan seperti saat ini. Atau Barangkali oleh karena system kerajaan yang cakupan teritori kekuasaannya terbatas.

Perang Paji – Demon yang berkepanjangan membatasi ruang gerak banyak orang.  Kejenuhan karena ruang gerak sebagai mana manusia yang memerlukan kebebasan inilah yang saya duga mendorong kesadaran masyarakat adonara menginisiasi ritual adat sumpah dan janji Nayu Baya.

Kesadaran yang sama ini juga semoga mendorong masyarakat penghuni Nusa Tadon Adonara – tanah ihiken selaka, lewo lapiten belaon – untuk menghentikan perang tanding.

 Perang tanding tentu menghabat banyak dimensi kehidupan manusia. Sekolah ditutup, arus perputaran ekonomi terhambat. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi Lewo Tanah Adonara. Jika lewo data, ata dike pun rusak; tite tupa ta’an lewo tanah data,  maka lewo tanah tidak akan memberikan kita kehidupan yang layak  dan yang semestinya kita butuhkan.

Dengan begitu menjadi sangat penting diberikan pemahaman bahwa, untuk menghadapi berbagai tantangan zaman sekarang setiap orang membutuhkan ruang gerak yang luas dan akselerasi yang cepat, untuk bersosialisasi dan terhubung dengan belahan dunia manapun.

Jika terus dilanda konflik atau perang maka kebebasan itu tidak dapat terwujud.

Maka salah satu alternatif  yang paling pas adalah  mempertahankan dan memurnikan Bayu Baya, ti naya ake geto, baya di ake bolak.

Inisiasi niat baik dan kesepakatan untuk  membawakan perdamaian harus terus digalakan. Sambil terus memegang teguh nilai-nilai positif yang sejatinya sudah diwariskan oleh leluhur kita yang beradapatasi di alam Lamaholot; Lewo Lama Nusa Bunga, Tanah Holot Bunga Wutun.

Akhir kata, salam saya dari Denpasar – Bali -Pulau Seribu Pura, untuk Lewotanah Lamaholot terkhususnya Tanah Tadon Adonara – Pulau Seribu Gading.

Sebarkan Artikel Ini:

4
Leave a Reply

avatar
4 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Perang Tanding, Kriminalitas dan Perdamaian di Adonara […]

trackback

[…] Baca Juga: Perang Tanding, Kriminalitas dan Perdamaian di Adonara […]

trackback

[…] Baca Juga: Perang Tanding, Kriminalitas dan Perdamaian di Adonara […]

trackback

[…] Baca Juga: Perang Tanding, Kriminalitas dan Perdamaian di Adonara […]