Pendahuluan
Eposdigi.com – Adonara, sebuah pulau kecil di timur Indonesia, kerap disebut dalam tulisan kolonial sebagai tempat yang diliputi kekerasan dan pertumpahan darah. Ernst Vatter, dalam karyanya Ata Kiwan (1932), bahkan menyematkan julukan “pulau pembunuh” kepada Adonara.
Sebutan ini mengakar dalam cara pandang luar terhadap masyarakat adat yang memiliki dinamika konflik-komunal sebagai bagian dari siklus sosial mereka. Namun, bagi seorang anak Adonara, konflik bukanlah tanda primitivisme atau kekejaman, melainkan ekspresi eksistensial atas gangguan terhadap nilai-nilai paling sakral: ibu dan tanah.
Baca Juga:
Tulisan ini mengusung pendekatan hermeneutik fenomenologi untuk menafsirkan makna terdalam dari konflik dalam budaya Adonara. Pendekatan ini memungkinkan kita menyelami simbol dan pengalaman, serta memahami konflik bukan sebagai tindakan destruktif semata, melainkan sebagai bahasa simbolik dalam mempertahankan martabat dan identitas kolektif.
Dengan menempatkan figur ibu dan tanah sebagai pusat makna, tulisan ini akan mengeksplorasi bagaimana konflik di Adonara lahir dari relasi eksistensial manusia dengan dunia tempat ia berada (Heidegger), dan bagaimana simbol seperti koda dan ritus adat menstrukturkan pengalaman itu dalam narasi budaya (Ricoeur).
Penulis menempatkan diri bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai subjek yang tumbuh dari rahim budaya Adonara. Dengan demikian, tulisan ini adalah bentuk penafsiran atas pengalaman hidup kolektif yang dibentuk oleh sejarah, tanah, tubuh ibu, dan sabda adat.
Baca Juga:
Konflik Adat dalam Narasi Lama: Telaah atas Vatter
Ernst Vatter, dalam pengamatannya terhadap masyarakat Flores Timur dan kepulauan sekitarnya pada awal abad ke-20, menuliskan deskripsi yang intens tentang kekerasan dan perang antar klan di Adonara.
Ia menggambarkan bagaimana masyarakat di pulau ini hidup dalam siklus dendam, pertikaian, dan pembalasan darah. Vatter menilai bahwa kekerasan merupakan bagian melekat dari struktur sosial Adonara, dan menyimpulkan bahwa pulau ini adalah tempat di mana pembunuhan adalah norma sosial.
Namun, narasi Vatter—meskipun berdasarkan observasi empiris—perlu dibaca dengan kesadaran akan latar kolonial dan cara pandang orientalis yang membentuknya. Vatter menulis dalam kerangka pemikiran Eropa awal abad ke-20, yang cenderung menganggap masyarakat non-Barat sebagai “primitif” dan “eksotis”.
Baca Juga:
Rambut Rebonding, Celana Umpan dan Martabat Perempuan Adonara
Sebutan “pulau pembunuh” tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga mengandung penghakiman moral yang tidak kontekstual.
Konflik dalam budaya Adonara tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial dan nilai-nilai spiritual masyarakatnya. Ia bukan hasil kekacauan, melainkan bagian dari tatanan yang memiliki etika tersendiri.
Dalam konteks ini, pendekatan hermeneutik fenomenologi menjadi penting untuk menafsirkan ulang makna konflik, bukan sebagai kekerasan liar, melainkan sebagai ekspresi eksistensial atas gangguan terhadap tatanan simbolik.
Baca Juga:
Makna Konflik dalam Pengalaman Adonara
Dalam pandangan masyarakat Adonara, konflik bukan sekadar respons atas penghinaan atau perebutan sumber daya. Konflik adalah bentuk tanggapan terhadap pelanggaran nilai tertinggi: penghinaan terhadap ibu dan perampasan tanah.
Dalam budaya Adonara, ibu tidak hanya sosok biologis, tetapi simbol kehidupan, martabat, dan keberlanjutan marga. Tanah, pada gilirannya, bukan hanya ruang fisik, melainkan tubuh leluhur itu sendiri.
Ketika ibu—kaum perempuan—dihina, dilecehkan, atau dilukai, masyarakat Adonara merasakan penghinaan kolektif. Karena itu, mereka tergerak bukan atas dasar kebencian pribadi, melainkan atas dorongan untuk menebus martabat yang tercemar.
Baca Juga:
Agama Koda : Pilar Utama Pembentuk Jatidiri Anak Adonara (Penutup)
Demikian pula, konflik atas tanah bukan soal kepemilikan semata, melainkan soal menjaga integritas relasi manusia dan kosmos. Tanah adalah saksi bisu atas sumpah, kelahiran, kematian, dan seluruh jejak sejarah marga.
Dengan demikian, konflik menjadi mekanisme sakral untuk memulihkan keseimbangan. Ia diatur oleh koda (sabda adat) dan dijalankan dalam batas ritus tertentu. Tidak semua konflik bisa dijustifikasi.
Hanya ketika terjadi pelanggaran terhadap simbol harga diri, masyarakat menganggap konflik sebagai tindakan yang sah secara moral dan spiritual.
Baca Juga:
Ibu dan Tanah sebagai Simbol Harga Diri
Dalam budaya Adonara, harga diri tidak diukur oleh kekayaan atau kuasa, tetapi oleh sejauh mana seseorang atau satu marga menjaga dan menghormati ibu dan tanahnya. Ibu adalah asal kehidupan.
Ia melahirkan, membesarkan, dan menjadi pengikat relasi antar marga melalui perkawinan. Maka, penghinaan terhadap perempuan seringkali memicu konflik antar-marga yang panjang.
Tanah adalah ruang keberadaan. Dalam terminologi Heidegger, manusia Adonara “menjadi” dalam tanahnya. Di situlah ia hidup, mati, dikuburkan, dan dikenang. Tanah adalah tubuh kolektif, bukan benda yang bisa dipindahkan atau diperjualbelikan secara bebas. Oleh sebab itu, kehilangan tanah berarti kehilangan eksistensi.
Baca Juga:
Dalam pandangan Ricoeur, simbol seperti ibu dan tanah adalah bentuk “mediasi simbolik” atas realitas terdalam manusia. Ketika simbol ini dilukai, manusia mencari cara untuk menebusnya—dan salah satu bentuknya adalah konflik. Maka konflik, dalam hal ini, bukan destruksi, tetapi sebuah ritus pemulihan makna dan martabat.
Koda, Mei Nawa, dan Ritus sebagai Mediasi Konflik
Masyarakat Adonara tidak menjalankan konflik secara sembarangan. Ada struktur sabda adat (koda) yang mengatur kapan konflik boleh terjadi, kepada siapa, dan bagaimana ia diselesaikan. Koda tidak hanya berisi larangan dan perintah, tetapi juga memuat memori kolektif, etika, dan kerangka penyembuhan.
Dalam kepercayaan adat Adonara, ketika darah telah tertumpah akibat pembunuhan atau pelanggaran berat, ada yang disebut dengan “mei nawa”—yakni keyakinan bahwa darah yang belum diurus secara adat akan menuntut tumbal berikutnya.
Baca Juga:
Inilah yang menjadi dasar dari pentingnya penanganan konflik secara adat, bukan hanya secara hukum formal. Hukum negara mungkin mencatat pelaku sebagai terdakwa, tetapi hukum adat mencatat luka kolektif yang harus ditebus dengan cara-cara spiritual dan simbolik.
Karena itu, penyelesaian konflik harus melibatkan ritus-ritus penebusan seperti pengorbanan hewan, pengembalian martabat, dan pengikatan ulang hubungan sosial antar marga.
Ritus ini bukan hanya menyelesaikan perkara, tetapi merestorasi keseimbangan kosmis. Ini adalah bentuk “refigurasi” dalam istilah Ricoeur—pengolahan kembali luka menjadi narasi bersama yang bisa diterima dan dipelajari generasi berikutnya.
Baca Juga:
Mencegah Konflik Antar Warga di Adonara Sebelum Terjadi (Lagi)
Penutup
Narasi tentang Adonara sebagai “pulau pembunuh” adalah potret searah dari lensa kolonial yang gagal membaca kedalaman simbolik masyarakat adat. Konflik dalam budaya Adonara adalah manifestasi eksistensial atas gangguan terhadap nilai tertinggi: ibu dan tanah.
Dengan pendekatan hermeneutik fenomenologi, kita memahami bahwa konflik adalah bahasa simbolik dari luka, martabat, dan usaha pemulihan.
Baca Juga:
Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship
Sebagai anak Adonara, penulis menyaksikan bagaimana tubuh ibu dan tubuh tanah menjadi medan sakral yang dijaga dengan sabda, darah, dan doa. Konflik bukan tujuan, tetapi jalan menuju keseimbangan baru. Maka Adonara bukanlah pulau pembunuh, melainkan pulau penjaga martabat.
Foto Ilustrasi Perempuan Adonara diambil dari Laman Facebook Eman Ola Masan Lamabelawa
Leave a Reply