Eposdigi.com – Bank Sampah didefinisikan sebagai suatu tempat untuk mengumpulkan sampah yang sudah dipilah-pilah. Tempat pengumpulan sampah ini memiliki manajemen layaknya perbankan. Ada nasabah yang mengumpulkan atau menabung sampah di Bank Sampah.
Sampah-sampah yang disetor ke Bank Sampah sudah dipilah-pilah. Pemilahan berdasarkan jenis sampah adalah untuk memudahkan pencatatan dan penentuan harga.
Di banyak tempat, Bank Sampah menampung segala jenis sampah padatan anorganik yang bisa didaur ulang. Sampah-sampah anorganik yang bisa didaur ulang ini kemudian dijual kembali kepada industri yang mengolah sampah-sampah tersebut.
Selisih antara harga beli sampah dari nasabah dengan harga jual ke industri pengolahan inilah yang merupakan keuntungan bagi Bank Sampah.
Sampah sebagai komoditi bisnis yang patut diperhitungkan karena masih belum banyak orang yang terlibat dalam bisnis ini. Pada saat yang sama sampah adalah komoditas yang tak terbatas. Selama manusia masih beraktifitas, dan selama alam masih bergerak maka ada potensi sampah yang dihasilkan.
Undang-Undang No 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat dimana mengakibatkan semakin meningkatnya volume, jenis dan karakteristik sampah menjadi salah satu dasar pertimbangan lahirnya undang-undang ini.
Undang-undang inipula mengamanatkan pemerintah untuk memberi insentif bahkan diwajibkan pemerintah termasuk pemerintah daerah untuk membiayai pengelolaan sampah.
Maka pengelolaan sampah dalam bentuk Bank Sampah adalah amanat undang-undang. Karena itu masyarakat perkotaan yang volume sampah yang dihasilkannya besar dan beragam bisa menjadikan Bank Sampah sebagai pilihan mengolah sampah.
Apalagi Bank Sampah adalah entitas ekonomi yang menjanjikan. Selain sampah yang terus diproduksi, belum banyak pesaing dalam usaha ini.
Dalam tulisan sebelumnya mengenai sampah di Kota Larantuka, telah diuraikan alternatif membebaskan Larantuka dari sampah melalui Bank Sampah.
Namun ini juga bukan persoalan mudah. Selain bahwa membentuk kebiasaan masyarakat untuk mengolah sampah mulai dari rumah, pasti bukan persoalan yang mudah.
Akan tetapi ini bukan perkara yang mustahil untuk dilakukan. Hal lainnya adalah di Larantuka belum ada industri khusus yang mengolah sampah anorganik. Mendaur ulang sampah untuk menghasilkan produk-produk baru.
Pilihan yang mungkin dari Bank Sampah dalam konteks Kota Larantuka yang belum memiliki industri pengolahan adalah menjualnya ke perusahaan-perusahaan pengelolaan sampah melalui kota Surabaya.
Namun ini juga terkendala biaya transport yang mahal yang membebani margin keuntungan Bank Sampah. Jika biaya transportasi ditekan dengan skala ekonomis tertentu maka jalannya adalah meningkatkan volume sampah yang dikirim.
Tentu ini membutuhkan waktu pengumpulan yang lama. Semakin lama pengumpulan sampah hingga mencapai skala ekonomi berarti ada biaya operasional yang tidak berputar. Ada aliran kas yang tidak lancar.
Namun ketiadaan industri pengelolaan sampah di Larantuka merupakan peluang bisnis bagi Bank Sampah. Bank Sampah di Larantuka memiliki peluang untuk menjalankan usaha daur ulang sampah.
Dari Bank Sampah, BUMDes pengelolanya sekaligus bisa memiliki usaha daur ulang sampah. Tentu harus didasari oleh studi kelayakan bisnis yang memadai.
Hasil studi kelayakan inilah yang menentukan jenis usaha daur ulang dan produk daur ulang atas sampah anorganik apa yang paling cocok untuk BUMDes penyelenggara Bank Sampah di Kota Larantuka.
Larantuka telah memiliki komunitas yang jika diajak bermitra dengan BUMDes pengelola Bank Sampah, selain Pemerintah Daerah melalui dinas terkait yang mengurusi sampah.
Simbiosis mutualisme bisa dibangun dalam ekosistem pengelolaan sampah di Kota Larantuka. Salah satunya adalah Komunitas Trash Hero. Menjadi nasabah Bank Sampah berarti komunitas ini memperoleh manfaat secara langsung dari kepedulian terhadap lingkungan yang selama ini digiatkan oleh komunitas ini.
Bank Sampah mendapatkan pasokan sampah secara rutin sementara Komunitas Trash Hero mendapatkan dana dari hasil tabungan sampahnya.
Tapi dalam skala Flores Timur sampah anorganik bukan menjadi produk utama Bank Sampah. Seharusnya yang diolah adalah sampah-sampah rumah tangga organik. Sampah-sampah organik dari rumah tangga-rumah tangga dan dari pasar didaur ulang untuk dijual kembali.
Pupuk Kompos adalah komoditi yang layak jual. Tinggal bagaimana BUMDes pengelola Bank Sampah membentuk atau menciptakan pasar untuk pupuk kompos yang dihasilkannya.
Salah satunya adalah menjadikan komunitas-komunitas pecinta tanaman sebagai mitra untuk menyalurkan produk-produk mereka. Komunitas Pecinta Bonsai misalnya, pasti membutuhkan nutrisi bagi tanamannya, baik yang berbentuk padatan maupun cairan.
Apalagi jika BUMDes juga memiliki komunitas penyuka tanaman sayur mayur, apotek hidup di halaman-halaman rumah warga. Ada usaha yang terintegrasi yang dimiliki oleh BUMDes.
Karena terintegrasi inilah maka margin keuntungannya tidak bocor keluar sehingga bisa diputar kembali dalam komunitas yang terintegrasi tersebut.
Apakah ide mengenai BUMDes yang menyelenggarakan Bank Sampah sekaligus Industri pengelolaan sampah ini adalah sesuatu yang gampang direalisasikan di Larantuka atau di Flores Timur secara lebih luas?
Belum tentu. Namun yang pasti adalah ide ini dengan kajian yang mendalam, dan direncanakan dengan baik, dapat merubah wajah Flores Timur khususnya Kota Larantuka. Atau setidaknya membuat masyarakat Larantuka melihat sampah dengan kaca mata yang berbeda.
Foto salahsatu BUMDes penyelenggara Bank Sampah dari merdekapos.net
Leave a Reply