Eposdigi.com – Di tengah musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan pada beberapa wilayah saat ini, masyarakat Waidang Desa Tenawahang, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur menggelar ritual adat.
Upacara adat yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu, merupakan bentuk ungkapan syukur atas adanya sumber air yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mereka memiliki sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering sepanjang musim. Lokasinya tidak jauh dari pemukiman warga sehingga mudah dijangkau.
Ekspresi warga itu dituangkan dalam rangkaian ritual adat yang berlangsung selama lima hari.
Baca Juga: Bahaya Besar Menanti di balik Sumur Bor
Acara seremonial pembukaan terjadi pada hari Jumat, 21 Agustus 2020. Usai acara tersebut, aktivitas warga setempat berupa pemotongan pohon bambu yang akan digunakan sebagai media dalam tarian tradisional.
Kegiatan lainnya adalah pembersihan lokasi di sekitar mata air. Di tempat ini pula, tarian adat dengan musik tradisional dibawakan setiap malam sejak hari pertama. Tarian yang sesungguhnya penuh dengan makna.
Puncak ritual terjadi pada hari Selasa, 25 Agustus 2020. Rangkaian acara diawali dengan penjemputan Ema Bapa oleh Ari Ana. Berdasarkan silsilah keturunan, Suku Watun Singoraing dari Waidang memperistri Suku Lewo Hayong dari Tenawahang.
Dengan demikian, dalam ritual ini kehadiran saudara dari istri menjadi hal yang istimewa. Ada penghargaan khusus dari Ari Ana untuk Ema Bapa. Pihak Ema Bapa disuguhkan makanan adat di rumah Ari Ana .
Nasi dengan lauk daging kambing menjadi tanda hormat bakti kepada Ema Bapa.
Selanjutnya pihak Ema Bapa dikawal menuju lokasi mata air (namang). Mereka diantar dengan tarian hedung. Bunyi gong gendang senantiasa mengiringi rombongan Ema Bapa beserta para tamu yang hadir untuk menyaksikan jalannya ritual ini.
Baca Juga: Bambu untuk Revitalisasi Mata Air
Memasuki lokasi mata air, bariasan penari perempuan dewasa dan anak-anak turut ambil bagian dalam tarian penyambutan. Suasana semakin meriah.
Ketika tiba di namang, rombongan Ema Bapa dipersilakan untuk mengambil tempat yang sudah disiapkan. Kemudian semuah khusuk mendengarkan penuturan asal usul munculnya mata air.
Penuturan kisah asal usul mata air dalam acara yang sakral ini, adalah bagian dari pewarisan nilai dan kearifan lokal kepada generasi muda.
Acara dilanjutkan dengan soka alo yang dibawakan oleh mama-mama dan anak-anak perempuan dari Waidang. Adapun isian acara yang disuguhkan oleh sekelompok perempuan dewasa dari Bokang Wolomatang yakni tarian soka roja.
Selanjutnya acara puncak yaitu ritual membunuh hewan kurban untuk arwah para leluhur (sorong tilung puna’ang) dan hewan untuk makan bersama bagi semua yang hadir (bu’a ahik).
Baca Juga: Menanam Hujan, Menuai Air
Warga Waidang termasuk kelompok masyarakat adat. Pada bulan Juni tahun 1983, para pendahulu telah bersumpah untuk menjaga dan melestarikan sumber mata air ini.
Konsekuensinya, harus digelar upacara adat meski tidak rutin setiap tahun. Semuanya tergantung dari situasi alam.
“Apabila kondisi debit air menurun dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama maka perlu dilaksanakan upacara adat”, tutur Bapak Atanasius Amang Werang.
Ritual adat ini dihadiri keluarga besar Ema Bapa Lewo Hayong dari Tenawahang, keluarga besar Ari Ana Watun Singoraing dari Waidang, Camat Titehena, Kapolsek Titehena, Danramil Boru.
Tampak hadir juga Kepala Desa Tenawahang, Kepala Desa Bokang Wolomatang, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat bersama warga Desa Tenawahang dan Desa Bokang Wolomatang.
Tokoh Adat Waidang, Bapak Pele Watun mengatakan bahwa ritual adat di lokasi mata air merupakan kegiatan sarat makna.
Ritual ini memiliki banyak tujuan, diantaranya menjaga keseletarian lingkungan mata air agar air terus mengalir demi kelangsungan hidup warga serta menghormati para leluhur nenek moyang yang diyakini bisa menjaga sumber air agar tetap ada.
Baca Juga: Surat dari Adonara – Januari 2020 “Setelah Penghijauan Serentak; Lantas Apa?
“Ritual adat yang dilakukan ini sesungguhnya sebagai bentuk pelestarian budaya yang telah diwariskan nenek moyang. Oleh karena itu sebagai generasi penerus yang hidup di zaman ini, kita harus tetap menjaga budaya tersebut agar tidak punah”, tegasnya.
Anggota Kepolisian Sektor Titehena bersama Koordinator dan anggota Satuan Perlindungan Masyarakat (LINMAS) setempat, turut membantu masyarakat demi kelancaran rangkaian ritual adat ini.
Masyarakat sangat senang dan bangga atas digelarnya ritual adat yang begitu sakral. Hingga kini, air Waidang telah memberi hidup bagi masyarakat Waidang, masyarakat Bokang Wolomatang dan masyarakat Ile Gerong.
Mereka hidup dari sumber mata air yang sama. Kiranya dimaknai bahwa air Waidang menjadi sarana menjalin kebersamaan dan pemersatu khusunya bagi ketiga kelompok masyarakat yang menikmatinya.
Ada nilai persaudaraan, kekeluargaan dan kekerabatan yang yang selalu menjadi bagian dalam keseharian mereka.
Leave a Reply