Eposdigi.com – Dengan belasan kali wawancara , semoga Ben Bland mampu memotret kehidupan dan perjuangan politik Jokowi. Sehingga peneliti asing ini bisa memahami betul latar belakang kehidupan yang membentuk pemikiran Jokowi.
Ia mengerti perkembangan pemikirannya serta sintesa antara pemikiran ekonomi dan politik Jokowi. Dengan demikian buku ini bisa menjadi sebuah biografi tentang Jokowi yang isinya cukup berimbang.
Buku Biografi yang kontroversial
Buku ini baru akan terbit tanggal 1 September 2020 di Auatralia, tetapi sekarang sudah heboh di media online Indonesia. Para penulis mewartakan isi buku ini hanya sebagai kritikan untuk kepemimpinan Jokowi.
Isinya hanyalah kekurangan dan kelemahan sikap dan kepemimpinan Presiden Jokowi. Isi bukunya diwartakan dalam bentuk point-point kesimpulan penulis tanpa analisis data. Dan itu ditulis berulang-ulang kali dengan isi yang sama persis di beberapa website.
Baca Juga: Antara Fahri Hamzah, Fadli Zon, Corona dan Demokrasi Jokowi
Pertanyaannya, apakah buku ini bersifat kritik negatif saja? Ataukah ada hal positifnya? Kalaupun ada, mengapa tidak ikut diwartakan juga?.
Bukan soal isinya, buku biografi ini justru menjadi kontroversial karna belum terbit tapi sudah heboh.
Cara mewartakan isi bukunya juga kontroversial. Kritikannya berbentuk pernyataan tanpa data sehingga sulit untuk menjawab kritikan-kritikan tersebut.
Masyarakat yang terbatas kemampuan literasinya akan menangkap isi buku ini secara kurang seimbang terhadap kinerja presiden.
Man of contradictions
Saya sepakat dengan judul buku ini, tetapi tidak dalam pengertiannya Rocky Gerung (tribunWow.com).
Di satu pihak, Rocky Gerung mengaku tidak tahu terjemahan kata “contradiction” dalam bahasa Indonesia, tetapi dipihak lain ia mengartikannya sebagai ”orang yang tidak berprinsip, tidak punya pegangan”.
Menjadi seorang tukang parkir saja, harus punya prinsip, apalagi menjadi seorang presiden. Kalau Jokowi tidak punya prinsip, mana mungkin bisa lima kali menjadi kontestan dalam pemilu dan memenangi semuanya?.
Kontradiksi dalam kamus berarti pertentangan dari dua hal yang berbeda. Jokowi adalah orang yang kontradiktif tidak berarti berbeda dalam dirinya sendiri.
Baca Juga : Menjawab Pertanyaan Retno Listyarti Kepada Mendikbud
Apakah Jokowi kontradiktif antara apa yang dibicarakan dengan apa yang dilakukan, apakah antara visi dan misinya? Ia juga tidak dalam rencana dan pelaksanaannya.
Joko Widodo kontradiktif dalam sejarah kehidupannya. Dari gubuk kumuh bisa masuk istana. Dari warga negara out sider bisa menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Jokowi kontradiktif dalam cara kerjanya. Seharusnya ia menikmati kenyamanan kursi istana dan menunggu laporan, tapi justru mau blusukan dengan minim protokoler di tengah masyarakat yang terpinggirkan untuk mendapatkan informasi langsung.
Jokowi adalah sosok kontradiktif dalam cara berpikirnya, jika dibandingkan dengan cara berpikir banyak orang.
Berpikir fungsional
Kebanyakan orang cenderung terjebak dalam pola pemikiran ontologis. Subyek memisahkan diri dari obyek. Subyek menyadari memiliki pengetahuan tentang obyek.
Subyek lebih sering mempersoalkan apanya, sering bertanya tetang mengapa, tentang sebab dan akibat. Lebih melihat segala sesuatu dari segi ilmu atau pengetahuan.
Baca Juga : Menunggu Pembuktian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, Bentukan Din Syamsuddin dkk
Namun demikian, hanya sedikit orang sudah melewati pola pikir ontologis. Mereka tidak melihat segala sesuatu dari apanya, tetapi justru melihat segala sesuatu berdasarkan fungsinya.
Mereka lebih memetakan hubungan fungsional antar manusia, antar subyek dengan obyek, antar obyek dengan obyek.
Pemikir fungsional, cenderung melihat dari aspek bagaimana, melihat jalan keluar, mempersoalkan hubungan dan fungsi. Dalam hal ini Jokowi salah satunya.
Presiden Keadilan
Memahami program programnya, cara kerja dan pelayanannya untuk masyarakat Indonesia, saya percaya Jokowi memiliki rasa keadilan. Cara berpikir yang adil serta sikap dan perbuatan yang mengacu pada keadilan.
Ayobandung.com yang mengutip Alberhiene Endah, dalam bukunya menulis, “adil menurut Jokowi adalah peka melihat persoalan di setiap wilayah, bahkan yang terpencil sekalipun dan berusaha mengantarkan mereka pada keadaan kondusif untuk meraih kehidupan lebih baik”.
Lantas, langkah apa yang diambil Jokowi agar keadilan di negeri ini dapat terwujud? Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan, pembangunan yang merata di seluruh pelosok negeri.
Salah satu cara yang diambil Jokowi agar seluruh masyarakat Indonesia bisa mudah mendapat akses dalam menjalankan roda perekonomian mereka.
Pemindahan Kota
Ben Bland dalam buku biografi tentang Jokowi, berbicara tentang pemindahan ibu kota. Menurutnya, dalam konteks pemindahan ibu kota, Jokowi bersifat aneh dan gaya kepemimpinannya yang tidak terorganisir.
“Tidak ada analisis yang tepat tentang proyek infrastruktur mana yang akan paling meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas”, tulis Bland.
Baca Juga: Besipae dan Gimmick Sang Presiden
Latar belakang pemindahan ibu kota adalah bahwa Jakarta dengan segala permasalahan yang ada, tidak mendukung fungsinya sebagai Ibu kota Negara.
Oleh karena itu dicari solusi, yaitu pindah. Kenapa harus pindah ke Kalimantan? Karena lokasinya sangat memungkinkan bagi pembangunan ibu kota negara yang baru.
Dengan kehadiran ibu kota di sana, diharapkan perekonomian di Kalimantan ikut bergerak maju.
Jadi pembangunan ibu kota di Kalimantan tidak dalam konteks membangun infrastruktur untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan tetapi pembangunan yang berangkat dari cara berpikir fungsional ala Jokowi.
Cara berpikir yang berfokus pada bagaimana mencari jalan keluar dan bertujuan untuk mewujunkan sila kelima Pancasila, yaitu pemerataan dan keadilan. (Foto: radaraktual.com)
Ini tulisan bagus, ayo baca. Banyak wawasan dan inspirasi di dalam tulisan ini. Eposdigi.com beruntung menjadi media yg pertama kali memuatnya. Terimakasih Pak Domi.
[…] Baca Juga: Menjawab Kritik Ben Bland dalam “Man of Contradictions” […]