Eposdigi.com – Menurut pengamatan Dr. Iwan Syahril selama masa pandemi covid-19, di lapangan terdapat dua kelompok guru yang menyikapi pembelajaran di masa pandemi secara berbeda.
Kelompok pertama adalah kelompok guru yang menganggap bahwa pada masa pandemi situasi pendidikan dan pengajaran tidak normal.
Mereka secara mandiri telah berupaya menyederhanakan kurikulum, dan tetap berupaya melaksanakan pengajaran yang bermakna dan menyenangkan.
Kelompok ini adalah kelompok yang mengikuti himbauan pemerintah bahwa tugas guru di masa pandemi covid-19 jangan semata-mata terpaku pada upaya menuntaskan kurikulum. Guru harus membuat pembelajaran daring yang esensial dan menyenangkan.
Baca Juga : Akan Datang Saatnya, Guru Dapat Mengajar Murid Tanpa Menggunakan Suara
Kelompok pertama ini meskipun ada, namun jumlah mereka masih terbatas. Mereka sudah dapat memilih mana kurikulum yang inti dan menjadi prasyarat.
Oleh karena itu, perlu dituntaskan dan mengesampingkan kurikulum yang periferal dan tidak menjadi prasyarat.
Kelompok kedua adalah kelompok yang terpaku pada kurkulum dan berpandangan bahwa kurikulum harus tuntas. Para guru dalam kelompok ini kemudian menjejal murid dengan tugas yang banyak.
Baca Juga : Jangan Mencabut Jalinan Pembelajaran Siswa Dan Gurunya Karena Corona
Di tangan mereka, pengajaran daring di masa pandemi, menjadi pengajaran yang membosankan.
Kelompok ini menurut Iwan Syahril, adalah kelompok yang tidak percay a diri. Oleh karena itu, tidak berpikir untuk memilih mana yang paling utama, untuk selanjutnya melakukan penyesuaian.
Semua yang tertulis pada dokumen kurikulum resmi, tetap jadi target untuk dituntaskan.
Ini terjadi karena mereka takut salah. Mereka takut pengajaran mereka dianggap tidak resmi. Jumlah mereka sangat banyak, sehingga mewarnai praktek pendidikan pada masa pandemi covid-19.
“Menanggapi situasi ini, pemerintah dalam berbagai kesempatan menyampaikan agar di masa pandemi, tugas guru bukan untuk menuntaskan kurikulum. Guru harus membuat pengajaran daring menjadi menyenangkan. Oleh karena itu, guru harus berani menyederhanakan kurikulum”, tutur Iwan Syahril, seperti dilansir pada laman JPNN.com
Namun kenyataan di lapangan, himbauan tersebut seperti tidak berdampak. Melihat kondisi tersebut, Kementerian Pendidikan akhirnya memutuskan untuk menerbitkan kurikulum darurat.
Setelah kurikulum darurat terbit
Kurikulum darurat di zaman pandemi telah diterbitkan oleh pemerintah melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 719/P/2020, tentang pedoman pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus.
Kurikulum darurat tersebut memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran murid.
Kurikulum ini bertujuan memberikan fleksibilitas bagi satuan Pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik.
Baca Juga : Faktor Apakah yang Membuat Pendidikan dan Pengajaran Jadi Rumit?
Dalam SK Menteri tersebut, sekolah diberi opsi untuk menggunakan kurikulum nasional, kurikulum darurat, atau menyederhanakan kurikulum secara mandiri.
Intinya adalah pengajaran pada masa pandemi harus fokus pada kompetensi yang esensial dan menjadi prasyarat bagi pembelajaran di tingkat selanjutnya.
Dengan kurikulum yang fleksibel tersebut, dimaksudkan agar guru merencanakan dan menyelenggarakan pengajaran yang esensial serta menyenangkan.
Aktivitas pengajaran guru dengan demikian tidak terpaku pada upaya untuk menuntaskan kurikulum, sehingga tidak terjebak menjejal murid dengan banyak tugas yang non-esensial dan tidak berguna.
Berdasarkan pengamatan pembelajaran daring pasca launching kurikulum darurat, praktek pengajaran tidak menunjukkan banyak perubahan.
Guru masih terjebak menjejal para murid dengan banyak tugas. Guru masih terpaku pada upaya untuk menuntaskan kurikulum
Dengan demikian upaya penyelesaian dengan mengeluarkan kurikulum darurat bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Nampaknya solusi lain masih harus didorong.
Baca Juga : Menuju Pembelajaran Daring Yang Lebih Bermakna Dan Esensial
Selain memerlukan solusi baru, analisis lebih mendalam juga perlu dilakukan untuk memahami kondisi secara menyeluruh, karena solusi baru akan lahir dari pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh tersebut.
Masalahnya tidak terletak pada ada tidaknya kurikulum khusus dalam situasi darurat, namun terletak pada habit guru yang sudah terlanjur terbentuk.
Sistem ujian nasional kita hampir 4 dasa warsa telah membentuk habit guru menjadi pelaksana kurikulum. Dalam sistem tersebut, pengajaran guru identik dengan upaya menuntaskan kurikulum.
Mengapa? Karena ketuntasan kurikulum adalah satu-satunya cara memastikan murid siap mengikuti ujian. Maka guru menjejali murid dengan pengajaran, penugasan yang padat, dan drilling yang berulang.
Ini mengabaikan kondisi psikis murid untuk menerima pengajaran. Pengajaran yang esensial dan menyenangkan tidak pernah menjadi tujuan yang penting.
Jadi bukan semata-mata guru tidak percaya diri dalam membuat pembelajaran yang sederhana, menyenangkan, dan esensial seperti yang disampaikan oleh Dr Iwan Syahril di atas.
Praktek tersebut juga menunjukkan bahwa guru Indonesia memang sudah terlanjur terbentuk menjadi mesin untuk menuntaskan isi kurikulum.
Ke depan, Kementerian Pendidikan perlu merancang masa transisi untuk mengubah kebiasaan ini.
Baca Juga: Mengapa Sekolah Kita Perlu Kembali ke Fitrahnya?
Mengapa? Karena kebiasaan ini bukan saja tidak menumbuhkan para murid di zaman pandemi covid-19, tetapi juga tidak kompatibel dengan zaman baru yang sudah dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Zaman baru tersebut adalah sekolah tanpa ujian nasional.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu dengan judul “Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Sebut, Banyak Guru Tidak Percaya Diri?” / Foto :chron.com
[…] Ayo Baca Juga: Benarkah Banyak Guru Tidak Percaya Diri? […]