Eposdigi.com – Pantaskah saya menjadi seorang guru? Pertanyaan seperti ini tentu akan menjadi bahan refleksi bagi siapapun yang berprofesi sebagai guru. Guru yang ideal tentu tidak hanya sekadar menjadi guru. Jauh dari makna kata sebagai pendidik yang ada di sekolah, guru juga tentunya akan melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi dalam banyak kasus, menjadi guru hanya seolah-olah sebatas lingkungan sekolah. Setelah keluar dari lingkungan pendidikan, profesi itu pun seketika ditanggalkan. Seakan-akan, status yang disandangnya hanyalah sekadar topeng.
Dalam banyak kasus, guru seakan dijadikan sebagai topeng dalam pemenuhan kebutuhan. Baik itu kebutuhan dihargai, kebutuhan fisiologis, kebutuhan untuk diakui dan bahkan untuk mengangkat derajat seseorang yang berprofesi sebagai guru.
Ayo Baca Juga: Benarkah Banyak Guru Tidak Percaya Diri?
Jika menjadi guru hanya sekadar dihayati sebagai pemenuhan kebutuhan, lantas akan dikemanakan kualitas generasi yang dididik? Apakah generasi yang dididik akan menjadi sungguh terdidik? Jikalau demikian, akan sangat memperihatinkan jika generasi yang dididik tumbuh menjadi generasi stobery.
Seperti yang diungkapkan oleh Rhenald Kasali bahwa murid akan tumbuh menjadi generasi yang cantik dan indah dipandang, akan tetapi gampang untuk remuk.
Tanpa disadari, kualitas generasi saat ini sangat ditentukan juga dari kualitas pendidiknya. Ibarat ular yang sedang merayap. Ke mana kepala itu menuju, ekor pun akan demikian mengikutinya.
Begitupulah dalam proses pembelajaran, pola otoriter seakan menjadi pendekatan yang khas. Murid dipaksa untuk mendengarkan, mengikuti tanpa memiliki kesempatan untuk bertanya. Ini jelas perbudakan dalam dunia pendidikan.
Ayo Baca Juga: Akan Datang Saatnya, Guru Dapat Mengajar Murid Tanpa Menggunakan Suara
Murid dikondisikan untuk tunduk pada yang disampaikan, tanpa memiliki kebebasan untuk mengkritisi apa yang telah diperolehnya. Pertanyaan murid seolah-olah dianggap sebagai bentuk perilaku agresif. Hasilnya, murid-murid akan takut untuk mengutarakan pendapatnya, hingga kemudian hanya bisa mengumpat di belakang layar.
Murid-murid dipuji ketika memeroleh hasil yang sesuai dengan standar yang ditetapkan, dan akan dikucilkan ketika mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Oleh karena itu, janganlah heran ketika murid-murid belajar tanpa memahami.
Belajar memperlebar pengetahuan, tapi tidak benar-benar memperdalam apa yang telah dipelajarinya. Hal ini terjadi karena hanya mengejar tuntutan nilai.
Jika murid mendapatkan nilai yang tidak memuaskan, murid kemudian akan dicap sebagai anak yang bodoh. Sungguh miris pandangan seperti ini jika dilakukan seorang guru.
Ayo Baca Juga: Jangan Mencabut Jalinan Pembelajaran Siswa Dan Gurunya Karena Corona
Pada hal, seperti yang diungkapkan oleh Albert Einstein bahwa semua orang dilahirkan di muka bumi ini pada dasarnya genius. Masalahnya mereka selalu diukur kecerdasannya berdasarkan apa yang tidak mereka miliki, bukan atas apa yang mereka miliki.
Dalam banyak kasus, menjadi guru seolah-olah hanya sekadar memenuhi tuntutan dan prosedural yang ada dalam sekolah. Pergi tepat waktu, mengajar seadanya sesuai jam pelajaran, memberikan ulangan, menilai dan akhirnya mendapatkan upah atas jasa yang telah diberikan.
Ini adalah bentuk pola penjajahan profesi yang terbentuk karena tuntutan, hingga lupa untuk berfokus pada yang dididik.
Ayo Baca Juga: Mutu Guru di Finlandia Dipengaruhi oleh Tiga Faktor Penting Ini
Banyak guru yang mengejar gelar keprofesiannya hingga lupa pada yang didik. Dikejar dengan tuntutan jam mengajar, hingga lupa dengan tujuan utamanya sebagai pendidik. Murid-murid menjadi terpinggirkan dan tidak mendapatkan perhatian yang lebih. Hadir atau tidak dalam pelajaran, paham atau tidak, yang penting materi terasampaikan.
Hal ini terjadi karena fokus guru sudah berali pada silabus, RPL, pemenuhan jam mengajar dan segala tuntutan lain yang berkaitan dengan syarat penemuhan keprofesian. Sungguh tidaklah adil jika seorang guru hanya berfokus pada diri sendiri.
Memang betul segala yang eksis atau yang tampak belum tentu menunjukkan esensinya. Begitupula dengan guru. Gelar saja tidak cukup untuk menjadi indikator seseorang telah berhasil menjadi guru. Butuh penghayatan dalam menekuni keprofesian tersebut. Semua orang bisa menjadi pengajar, tapi tidak semua pengajar bisa menjadi guru.
Penulis adalah guru pada SMP Kolese Kanisius Jakarta – Artikel ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto: ccercatholic.org.au
[…] Baca Juga: Pantaskah Saya Menjadi Seorang Guru? […]