Dark Learning: Distorsi Informasi

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Kita semua yang hidup di tahun 90-an pasti nggak asing kan dengan kuis komunikata. Di kuis itu beberapa peserta diminta berbaris menyampaikan informasi dari peserta barisan terdepan sampai ke yang paling belakang.

Karena ini kuis, ada tantangan tambahan: peserta wajib mengenakan headset sebelum tiba gilirannya. Meskipun ini kuis, tapi acara ini menggambarkan apa yang disebut dengan distorsi informasi. 

Di mana informasi berubah seiring dengan semakin banyak yang menerima dan menyampaikan ulang informasi itu. Sebuah informasi seperti “gajah duduk di hutan melihatnya pesawat terbang” bisa berakhir menjadi “gajah duduk di karpet terbang”.

Distorsi informasi ini sebenarnya wajar terjadi karena manusia mempunyai pemahaman dan memori yang terbatas. Sehingga seringkali informasi yang diterima akan berbeda ketika disampaikan ulang. 

Baca Juga : 

Deep Learning: Tren Pendidikan yang Menghidupkan Esensi Kurikulum Merdeka

Entah karena ada penggalan informasi yang dia lupa atau menambahkannya dengan pemahamannya sendiri. Oleh sebab itu dalam dunia akademik seorang yang hendak menyampaikan ulang pernyataan orang lain wajib mematuhi kaidah mengutip.

Dalam dunia pendidikan kita, sejak era K-13 sampai era Deep Learning, fenomena distorsi informasi terus menghantui kita. Model pelatihan top down, dengan mengundang perwakilan guru untuk menjadi penghubung informasi di pusat sampai ke akar rumput sering mengalami distorsi informasi. 

Pada akhirnya informasi yang diterjemahkan di bawah adalah informasi ampas yang sering kali sudah kehilangan intisari.

Pendekatan saintifik dalam kurikulum K-13 bukanlah pendekatan yang buruk. Sejatinya pendekatan itu berakar dari teori belajar konstruktivisme. Meskipun ketika di akar rumput yang terjadi dan paling diingat adalah proses 5m-nya.

Baca Juga : 

Meragukan Deep Learning Pak Menteri

Informasi tentang filosofi dan mengapa pendekatan saintifik itu harus dilakukan, sudah terdistorsi. Begitu pula dengan pembelajaran terdiferensiasi. Secara konsep, gagasan Tomlinson ini bagus. Memberikan kesempatan semua siswa untuk belajar sesuai preferensi mereka. 

Tapi kemudian dengan begitu banyaknya influencer yang cuma mengejar bagaimana bikin konten menarik, akhirnya pembelajaran terdiferensiasi malah jadi ajang untuk pamer teknologi atau inovasi.

Sayangnya, hal yang sama terjadi dengan deep learning. Sejak dari awal definisi pembelajaran mendalam ini seperti olahan atau karangan yang tidak berdasar pada riset.

Baca Juga : 

VUCA, Disruption, Leadership, And 21’st Century Learning Skills

Obrolan Pak Menteri tentang ful-ful langsung dibungkus dan dijadikan materi pelatihan di mana-mana. Padahal saat itu nasmiknya pun belum ada. Hal ini diperparah dengan nasmik yang menurut saya kurang akademik.

Alih-alih memberi kerangka dasar yang kuat, nasmik ini malah tidak konsisten terhadap isinya sendiri.

Baca saja bagian landasan teori yang membahas tentang pembelajaran menggembirakan dan apa yang tertuang pada prinsip pembelajaran di halaman belakang. Ada inconsistency antara teori dan praktik yang diharapkan dilakukan guru. 

Baca Juga : 

Mengakhiri “Pokoknya” dalam Belajar Matematika

Begitu juga tentang pembelajaran bermakna. Di halaman awal pada landasan teori dijelaskan bermakna maksudnya terkait dengan pengetahuan sebelumnya, tapi di beberapa bagian menjelaskan bermakna sebagai bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh dua hal yang sangat berbeda.

Distorsi informasi ini benar-benar membahayakan. Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai guru? 

Artikel ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tauangkan kembali dengan izin dari redaksi. / Foto:tribunnews.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of