Eposdigi.com – Hari-hari ini (terutama!) wajah publik kita semakin jauh dari ramah dan penuh prasangka. Pola segregasi sosial tetap memprihatinkan. Terasa ada defisit respek kemanusiaan yang otentik terhadap orang lain. Preferensi pertemanan semakin mengental mengambil basis kesamaan identitas agama dan etnis.
Hampir semua orang sepakat bahwa preferensi dan pola afiliasi identitas agama dan suku saat ini semuanya demi tujuan politik praktis. Dalam cara pandang tersebut, dosa intoleransi lalu sepenuhnya dibebankan pada praksis eksploitasi politik identitas hari ini untuk tujuan (mobilisasi) politik di masa depan.
Arab Saudi Mengembangkan Kurikulum Baru untuk Menumbuhkan Toleransi
Persepsi kita tentang apa yang kita lihat sebagai merah atau putih, baik atau buruk (menurut kita) tidak terbentuk secara tiba-tiba dan terjadi dalam ruang hampa.
Cara pandang kita terhadap segala sesuatu hari ini sesungguhnya telah “contaminated” oleh “filter and frame” persepsi yang membentuk kita atau kita (sengaja) bangun sejak mengawali “social encounter” di usia dini mulai dari dalam keluarga dan kemudian di dalam ruang publik.
Tak banyak yang menyadari bahwa potret intoleransi dan radikalisme hari ini adalah buah dari apa yang kita tanam (atau kita biarkan bertumbuh) di hari kemarin, terutama dari dalam dunia pendidikan, bahkan dunia pendidikan yang sangat dasar: pendidikan di rumah dan pendidikan dasar di sekolah.
Pola pendidikan dasar (di rumah dan sekolah) kita sudah lama bermasalah, terkontaminasi virus-virus prasangka dan intoleransi, glorifikasi kekerasan terhadap “the others”, yaitu mereka yang berbeda dengan kita.
Judul buku “How to Raise Kids Who Aren’t Assholes” karya Melinda Wenner Moyer (2021) nampak sarkastis, namun mendapat ulasan sangat luas di media arus utama Amerika Serikat karena menelanjangi realitas multikulturalisme Amerika yang terkontaminasi virus rasisme dan amat mudah terpotret dalam cara berpikir, bersikap dan bertindak anak-anak.
Dan ini adalah sebuah hasil riset mendalam. Anda tak perlu menjadi psikolog untuk bisa menangkap simptom ini dalam tutur kata dan sikap anak-anak anda.
Di bawah ini saya tampilkan sebagian kutipan dari bagian pengantar buku tersebut. Semoga bermanfaat, tidak saja untuk kegiatan parenting.
“My friend Millie still remembers, in cringing, Technicolor detail, the time her then five-year-old son said something blatantly racist. It was three years ago, and she and her husband, who are both white, were on vacation with their kids in Florida. After a week of intense together time, they’d hired a babysitter so they could enjoy a night out. The babysitter happened to be Black.
The next day, Millie asked her son whether he had fun with his babysitter. “No, I didn’t like her,” he replied. When Millie pressed for more info, her son said matter-of-factly, “I didn’t like her because she had dark skin.”
Millie was mortified and had no idea how to respond. She and her husband thought they were raising their kids to be respectful and, you know, not racist, but now? Now they weren’t so sure. And they had no idea what to do about it.”
Excerpt From: Melinda Wenner Moyer. “How to Raise Kids Who Aren’t Assholes.” iBooks.
Tulisan ini diposting pertama kali di laman Facebook penulis pada 20 April 2022. Foto diambil dari postingan dimaksud.
Leave a Reply