“kami sementara usaha kios…”
Eposdigi.com – Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) idealnya adalah jantung yang menggerakkan ekonomi di desa. Lewat BUMDes semua potensi ekonomi di desa, baik jasa maupun produksi dapat dioptimalkan untuk menciptakan dan meningkatkan pendapatan asli desa.
Sehingga pada gilirannya, semua entitas usaha di desa yang digerakkan oleh BUMDes dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.
Mengingat besarnya peran BUMDes bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, maka dukungan pemerintah pusatpun telah banyak diberikan. Berbagai peraturan ditelurkan untuk mendorong BUMDes mengambil peran optimal dalam upaya mensejahterakan masyarakat di desa.
Baca Juga: BUMDes Sebagai Ekosistem Ekonomi Produktif
Pada tahun 2021 ini saja, sudah ada dua kebijakan yang ditempuh oleh Kemendesa PDTT untuk mendorong BUDes dapat berfungsi optimal menggerakkan ekonomi di desa.
Lewat PP No 11/2021 tentang Badan Usaha Milik Desa. Bahwa BUMDes diberi kemudahan untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain. Peraturan ini juga sejalan dengan peraturan lain yang menjadi turunan UU Cipta Kerja.
Berikutnya adalah Permendesa No 3/0201, Kemdesa PDTT menyiapkan Bumdes.kemendesa.go.id sebagai pintu masuk bagi BUMDes untuk mendaftarkan BUMDes sebagai badan hukum.
Hingga 14 September 2021, sudah ada 17.069 BUMDes dan 1.050 BUMdes Bersama telah terdaftar sebagai badan hukum (kontan.co.id/15-09-2021).
Baca Juga: Tidak hanya Lumbung Pangan, Lumbung Ini Juga Sangat Penting. Apa Itu?
Namun hingga kini belum semua desa memiliki BUMDes yang benar-benar berfungsi sebagai motor penggerak ekonomi di desa. Dari 83.820 desa di Indonesi (menurut data BPS tahun 2019), hingga September 2021 baru ada 57.273 BUMdes yang berdiri.
Dari BUMdes sejumlah ini yang aktif hanyalah sebesar 45.233 BUMDes sementara 12.040 BUMDes lainnya tidak aktif (kontan.co.id/15-09-2021).
Di Flores Timur dari sekitar 250 desa, baru ada sekitar 49 BUMDes yang saat ini aktif. Data ini disampaikan oleh Wakil Bupati Flores Timur dalam sebuah kesempatan dikusi virtual belum lama ini.
Kami mencoba mengkros cek data ini namun hingga tulisan ini dibuat kami belum mendapatkan data pendukung mengenai ini.
Sementara dalam Dokumen RKPD Flores Timur tahun 2021, lewat Program Pengembangan Lembaga Ekonomi Pedesaan menyebut angka 26 BUMDes dan BUMDes Bersama sebagai terget.
Baca Juga: Ketahanan Pangan dan Mitigasi Bencana
Dalam dokumen yang sama menyebutkan, dari tahun 2013 hingga 2019 jumlah BUMDes di Flores Timur tercatat sebanyak 71 BUMdes, 31 % dari keseluruhan desa di Flores Timur (http://florestimurkab.go.id/beranda/wp-content/uploads/2020/10/RKPD-Kab-Flores-Timur-2021_c.pdf).
Tentu yang menjadi ‘konsen’ kita bersama bukan pada soal jumlah. Ialah bagaimana agar BUMDes-BUMDes kita menggali potensi ekonomi yang ada di desa-desa, kemudian mendorong berbagai upaya agar potensi ekonomi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.
Untuk menggali potensi-potensi ekonomi yang ada di desa-desa kita, kita bisa mulai dengan mengidentifikasi semua produk yang kita konsumsi yang berasal dari luar desa. Kemudian dari semua produk tersebut manakah yang bisa kita produksi sendiri?
Jika tidak bisa kita produksi sendiri, produk apa saja yang bisa kita ganti dengan produk yang bisa kita produksi sendiri?
Baca Juga: Strategi Membumikan Kapasitas Ekonomi dan Politik Desa melalui BUMDes
Intinya adalah sebanyak mungkin kita memproduksi barang yang kita konsumsi. Semakin banyak barang dan jasa yang kita produksi sendiri, semakin besar perputaran ekonomi (uang) yang ada di desa.
Misalnya, jika hari ini diwarung-warung atau di kios kios di desa ada minyak goreng dari sawit maka bisakah kita memproduksi minyak kelapa agar dan dijual di kios-kios atau di warung-warung di desa kita?
Dengan membeli minyak goreng yang kita produksi kita tidak hanrus membuang uang keluar desa untuk membeli minyak goreng yang diproduksi orang lain.
Mengapa kita tidak memproduksi garam meja beriodium sendiri padahal kita hidup di muka laut, sementara kita membeli garam dari luar?
Baca Juga : Dana Desa, BUM Desa dan Gemohing
Atau misalnya apakah kita bisa menggantikan tepung terigu yang dijual di kios-kios dengan tepung dari singkong? Atau apa yang kita bisa produksi untuk menggantikan gula pasir yang kita beli dari luar?
Apakah “kewatek” dan “nowin” yang kita pakai dalam semua urusan adat kita beli dari penduduk di desa kita atau dari desa lain? Itu belum termasuk sayur mayur atau berbagai bumbu dapur.
Jika saat ini kita masih membeli di pasar yang dijual oleh orang lain, kenapa kita tidak tanam sendiri untuk konsumsi dan lebihnya di jual di pasar-pasar? Bagaimana dengan produk lain? Sabun misalnya.
Itu baru mensubtitusi produk-produk dari luar. Belum lagi memberi nilai tambah terhadap semua komoditi kita. Kenapa kita tidak mengolah pisang dan singkong menjadi kerupuk? Mengolah ikan untuk ikan kering dan atau abon ikan?
Salah satu pengurus BUMDes di Flores Timur ketika kami hubungi untuk menanyakan BUMDes di desanya, ia mengungkapkan bahwa saat ini BUMDes mereka menjalakan usaha kios.
Mereka membeli berbagai barang kebutuhan kemudiannya menjualnya lagi. Sasaran pasar mereka selain warga masyarakat secara keseluruhan, adalah kios atau warung-warung di desa mereka. Usaha ini pun tentu baik.
Baca Juga: Surat dari Adonara
Alangkah lebih baik lagi jika kios BUMDes, bukan hanya terisi oleh produk-produk dari luar akan tetapi diisi terbanyak oleh berbagai barang yang diproduksi oleh masyarakat desa, kelompok maupun perorangan.
Namun yang paling penting adalah integrasi hulu hingga hilir semua gerak ekonomi di desa, dengan BUMDes sebagai motor penggerak. Mulai dari produksi di hulu hingga piring-piring konsumsi kita di hilir.
Unit-unit produksi ini tentu membutuhkan tenaga kerja. Artinya BUMDes juga dapat menyerap tenaga-tenaga kerja di desa. Pada kondisi ini, BUMDes kita sedang mengurai pengangguran, sekaligus meningkatkan pendapatan para karyawan yang adalah warga desa tersebut.
Jika semua mata rantai ekonomi kita terintegrasi di desa, maka perputaran ekonomi kita pun hanya terjadi di dalam desa kita. Ini berarti bahwa perputaran ekonomi kita tidak ‘bocor’ keluar, pertanda bahwa akumulasi kapital sedang berlangsung di desa, semakin sejahtera desa kita.
Foto ilustrasi dari kompasiana.com
Leave a Reply