“…gemohing sebagai benteng atas keserakahan kapitalisme…”
Eposdigi.com – Menulis tentang gemohing adalah sesuatu yang selalu menantang. Sebabnya gemohing bukan hal baru terutama bagi masyarakat Lamaholot. Bagi kita, gemohing sudah seperti kaki untuk melangkah dan tangan untuk memeluk.
Gemohing bagi masyarakat Lamaholot itu seperti kaki dan tangan seseorang. Tanpa gemohing masyarakat Lamaholot tidaklah lengkap. Tanpa gemohing masyarakat Lamaholot cacat.
Gemohing adalah identitas masyarakat Lamaholot yang melekat erat seperti akar pada tanah. Jika masyarakat Lamaholot dipisahkan dari gemohing maka bisa saja ia mengering dan mati. Jasad ragawinya barangkali hanya menjadi hiasan dinding.
Baca Juga: Gemohing Dalam Kepungan Kapitalisme
Gemohing bukan hanya sekedar sebuah gerakan ekonomi, gemohing adalah identitas kultural masyarakat Lamaholot. Lebih dari muatan filosofis, gemohing mengandung unsur magis religius.
Karena itu, sebagai gerakan ekonomi, gemohing juga tidak bisa dilepaskan dari muatan filosofis sekaligus magis religius. Tentu, gemohing bukanlah ‘agama’. Tapi semangat gemohing adalah semangat magis religius.
Ketika globalisasi membawa kapitalisme masuk ke bumi Lamaholot satu-satunya benteng paling kokoh untuk menangkal ekses negatif dari kapitalisme adalah gemohing. Individualisme dan keserakahan yang menjadi efek samping dari kapitalisme hanya bisa ditandingi oleh semangat gemohing.
Baca Juga: Ruh Gemohing dan Sosialisme Marx
Bukan berarti orang per orang di Lamaholot tidak boleh menjadi kaya raya. Namun berkat gemohing kekayaan masyarakat Lamaholot adalah menjadi bagian dari gelekat.
Gemohing bukan hanya soal hasil (Gelekat). Gemohing adalah sebuah sistem. Ia adalah input, proses sekaligus output. Karena itu gemohing adalah kerja kolaboratif dan sinergisitas mulai dari input, dan selama proses untuk menghasilkan output yang dialami dan dinikmati secara berkeadilan.
Asas gemohing adalah keadilan. Bukan sekedar sama rata sama rasa. Dalam gemohing prestasi individual dihargai sesuai kontribusinya. Selebihnya, didasari semangat gelekat, ada bagian dari prestasi yang harus disisihkan (bukan disisakan) untuk kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Baca Juga: Oleh Max Weber, Gelekat itu Jenis Tindakan Apa?
Inspirasi untuk menulis mengenai digitalisasi gemohing, datang dari digitalisasi warung kelontong yang ditulis beberapa hari lalu. Bagaimana ketika warung warung kecil di sudut-sudut kampung bisa menjadi kekuatan besar ekonomi yang ‘mengguncang’ dunia internasional.
Sebab bagaimanapun kita tidak bisa menafikan bahwa dunia yang kita hidupi hari ini sudah diselubungi oleh jaring-jaring lalu lintas arus informasi yang menutupi seluruh permukaan kehidupan setiap orang.
Pertukaran arus informasi yang tidak terhindarkan inilah yang juga mengangkat derajat warung kelontong menjadi begitu memesona hingga membuat para investor kelas dunia tidak bisa memalingkan muka darinya.
Dalam tulisan dimaksud, tantangan terbesar kita adalah bagaimana mengisi rak-rak di setiap warung kelontong di sudut-sudut kampung kita ini dengan produk-produk lokal. Jika tidak, kita hanya akan menjadi pasar.
Baca Juga: KMAY diskusikan “Beratnya Beban Adat di Adonara”
Jika apapun produknya, datang dari luar maka sebagian besar marjin keuntungan itu akan lari keluar atas nama biaya proses. Tentu proses memberi nilai tambah ini menjadi harga yang harus kita bayar. Lalu kita hanya akan menjadi konsumen yang bahkan tidak bisa menawar sedikitpun atas produk-produk tersebut.
Kapitalisme akan memaksa kita sedemikian rupa, dengan cara paling halus hingga yang paling vulgar, menciptakan sekaligus mengisi otak kita untuk menggunakan berbagai produk, bahkan jika produk itu bukan sesuatu yang benar-benar kita butuhkan.
Kapitalisme yang mengisi rak-rak warung kita dengan prosuk dari luar, kemudian “memaksa” kita untuk menggunakan produk tersebut sekaligus mengikat kita untuk menggunakannya seumur hidup tanpa bisa melepaskan diri dari ketergantungan kita untuk mengkonsumsi berbagai macam produk itu.
Baca Juga: Ekonomi Neoliberal dan Lumpuhnya “System Saraf” Ketahanan dan Kedaulatan Pangan
Hal paling kecil bisa kita lihat dari bibit-bibit tanaman pangan yang didrop hingga ke kebun-kebun kita atas nama proyek yang konon adalah hasil lobi konglomerasi perusahaan benih kelas dunia kepada pemerintah kita.
Atau semua herbisida pengendali gulma yang hari ini mencukur gundul unsur hara tanah-tanah pertanian kita. Apakah kita membutuhkannya? Belum tentu.
Tapi kemudahan yang ditawarkan oleh herbisida itu membuat kita lupa akan dampak negatif dari pemakaian secara berlebihan, lagi sembarangan.
Menjadikan gemohing sebagai benteng atas keserakahan kapitalisme adalah dengan menyadari betul apa yang sungguh-sungguh kita butuhkan, kemudian mengerahkan segala daya upaya untuk memberi nilai tambah dalam proses untuk mencukupi kebutuhan itu.
Baca Juga: Warung yang Kian Memesona, Investor Kelas Dunia Pun Kepincut
Kita tidak bisa menolak digitalisasi warung. Yang masih ada dikendali tangan kita adalah mengisi rak-rak warung kita dengan berbagai macam produk lokal dengan kualitas mutu yang tidak boleh kalah dari produk dari luar.
Mungkin kita membutuhkan investor asing dari manapun ia datang, tapi kebutuhan itu hanya sebatas “asesoris” sistem pemasaran. Katakanlah kita butuh berbagai aplikasi untuk mendekatkan rantai pasok hingga ke end user berbagai produk.
Hanya sebatas itu. Soal produk kita tidak boleh memberi kesempatan kepada apapun yang datang dari luar. Apalagi jika ada ‘hiden desigen’ untuk memaksa kita tergantung atas berbagi produk dari luar tersebut.
Digitalisasi gemohing berarti memberi sentuhan teknologi informasi dalam sistem ekonomi, mulai dari input, proses hingga output.
Baca juga: Melepas diri dari Jerat “Penjajah” di Pasar Mirek
Mulai dari bahan baku, proses produksi, semua teknik dan proses pemasaran, yang pada gilirannya memberi kita kepercayaan diri untuk memproduksi apa yang kita butuhkan dan hanya mengkonsumsi apapun yang kita produksi sendiri.
Gemohing adalah kerja kolaboratif dan sinergis mulai dari membangun skala ekonomis bahan baku, sekaligus produksi bersama untuk mencukupi berbagai kebutuhan berapapun besarnya kebutuhan itu.
Sekaligus untuk memastikan margin keuntungan dari sistem ekonomi kita terdistribusi secara berkeadilan untuk kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Mulai dari mengidentifikasi kebutuhan, mendesain produk, proses produksi, hingga menghadirkan produk-produk tersebut ke dalam piring-piring konsumsi kita, dengan sebanyak mungkin intervensi teknologi terbaru.
Baca Juga: Dana Desa, BUM Desa dan Gemohing
Intervensi teknologi ini untuk memastikan semua produk yang kita hasilkan memiliki kualitas yang minimal setara dengan kualitas berbagai produk dari luar. Kualitas yang didasarkan pada semua hal yang dapat diukur.
Integrasi teknologi ke dalam gemohing (digitalisasi gemohing) adalah bagian dari penyesuaian diri dengan berbagai perubahan yang tidak dapat lagi kita tolak hari ini.
Ketika gemohing telah terintegrasi dengan teknologi maka ekonomi kita yang berlandaskan gemohing menjadi kekuatan yang tidak dapat terkalahkan oleh kekuatan apapun dari luar. Dan saya 100 persen meyakini hal ini.
Foto ilustrasi dari rdk.fidkom.uinjkt.ac.id
Leave a Reply