Eposdigi.com – Setelah lepas dari pandemi, muncul tren baru di pasar tenaga kerja. Para recruiting manager dalam seleksi kandidat pekerja atau rekrutmen karyawan baru, tidak lagi terlalu memperhatikan faktor seperti Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), asal universitas, dan lama waktu studi.
Hal ini disimpulkan dari penelitian terbaru yang dilakukan oleh ZipRecruiter pada tahun 2022 pada 2.000 perusahaan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut bahkan menyimpulkan bahwa 45 persen perusahaan menghilangkan persyaratan gelar akademik untuk banyak posisi.
Di sisi lain, penelitian tersebut menyimpulkan 42 persen perusahaan pemberi kerja secara eksplisit, menggunakan matriks keterampilan untuk mencari kandidat yang memiliki soft skill ketimbang faktor seperti lama studi, IPK, dan asal universitas.
Tren tersebut juga disimpulkan dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Harvard Business Review dan Burning Glass Institute pada tahun 2022 seperti dilansir pada laman Kompas.com. Pada umumnya perusahaan pemberi kerja lebih mencari kandidat yang memiliki soft skill.
Baca juga :
Kandidat pekerja yang memiliki soft skill dalam hal manajemen waktu, profesionalisme, kreativitas, kemampuan kerja dalam tim, kemampuan berpikir kritis, bertanggung jawab, dan dapat berkomunikasi secara efektif dengan klien sangat diprioritaskan.
Meskipun demikian ditemukan kesenjangan antara tren kebutuhan perusahaan pemberi kerja dan ketersediaan kandidat pekerja yang memiliki soft skill yang dibutuhkan. Oleh karena itu, sejak tahun 2021 dan 2022 terpaksa perusahaan menurunkan standar dalam perekrutan karyawan.
Dampaknya, terjadi kesenjangan kompetensi dan penguasaan skill antara pekerja generasi baby boomer, Gen X, dan Generasi milenial. Akibatnya terjadi benturan mengenai norma-norma profesional, perbedaan persepsi, yang berdampak pada penurunan produktivitas.
Oleh karena itu, saat ini, banyak perusahaan kemudian mengadakan koreksi melalui pelatihan-pelatihan pengembangan soft skill dengan investasi yang tidak murah, untuk memperbaiki kinerja tim dalam rangka meningkatkan produktivitas perusahaan.
Kondisi perubahan tren ini dan dampaknya yang menimbulkan kesenjangan, serta menurunnya produktivitas perusahaan, harusnya ditangkap oleh dunia pendidikan sebagai sinyal keharusan untuk mengubah orientasi pendidikan kita.
Baca juga :
Selama ini, orientasi lembaga pendidikan kita, lebih pada penguasaan pengetahuan, bukan pada penguasaan soft skill, hal yang diperlukan oleh lulusan lembaga pendidikan untuk bekerja. Bukan hanya orientasi lembaga pendidikan tinggi tetapi juga orientasi pendidikan dasar dan menengah.
Kenapa perubahan orientasi sejak pendidikan dasar? Karena pembentukan soft skill membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Misalnya agar lulusan perguruan tinggi menguasai skill untuk bekerja dalam tim, kebiasaan bekerja dalam tim sudah harus dikembangkan dari Sekolah Dasar (SD).
Agar lulusan perguruan tinggi memiliki kreativitas, kreativitas secara berjenjang harus terus dilatih sejak dari SD. Agar lulusan perguruan tinggi dapat me-manage waktu dengan baik, maka sejak dari SD kemampuan me-manage waktu harus terus dilatih.
Agar lulusan perguruan tinggi dapat berpikir kritis, kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan secara berkesinambungan sejak dari SD. Agar lulusan perguruan tinggi memiliki kemampuan komunikasi efektif, maka keterampilan komunikasi efektif harus dilatih secara berkesinambungan sejak dari SD.
Baca juga :
Diantara Distopia dan Utopia: Menanti Respon Gen Z di Dunia Kerja
Format pengembangannya melalui pembelajaran dengan pendekatan konstruktif yang mulai dikembangkan melalui Kurikulum 2013 dan sangat intensif dikembangkan sejak Kurikulum Merdeka, apalagi sejak ujian nasional di hentikan.
Oleh karena itu, kita berharap pemerintah dapat menggunakan segala cara, menggunakan semua jaringannya untuk memastikan Kurikulum Merdeka diimplementasikan dengan baik sehingga orientasinya mengembangkan soft skill sungguh-sungguh terwujud.
Kita juga berharap setelah 2024, pada saat pemerintah hasil pemilu 2024 sudah terpilih, pemerintah baru tidak mengubah orientasi pendidikan kita sehingga terjadi bongkar pasang orientasi pendidikan, yang menyebabkan kekacauan di lembaga pendidikan kita.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto : icscareergps.com
Leave a Reply