Kehilangan Sebab

Opini
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com- Beberapa waktu yang lalu, rangkaian ingatan yang tersimpan rapi dalam long term memory menjadikan sistem saraf otak melakukan recall atau pemanggilan kembali terhadap ingatan-ingatan.

Ingatan itu membuncah ketika berselancar dalam laman FB, ditemukan sebuah artikel pendek yang tulis oleh seorang Doktor (Dr.). Judul tulisan tersebut adalah “Kehilangan Sebab”.

Seketika mem-flashback, membongkar ingatan akan pengalaman kehilangan sebab, nyatanya pernah menuliskan sebuah artikel ilmiah populer yang berjudul “Seni Mencintai Diri Di Tengah Pandemi Covid-19”.

Tulisan tersebut sangat beririsan, bahkan mungkin sangat erat kaitannya dengan tulisan “Kehilangan Sebab” yang telah dipaparkan oleh Dr. tersebut.

Mencintai diri tentu tidak terlepas dari pengalaman masing-masing orang dalam mengelola perasaannya dan bagaimana menyalurkan perasaan tersebut. 

Baca juga: Keterjajahan Fisik Sudah Ada Sejak Dalam Pikiran Bahkan Lintas Generasi (Bagian Pertama)

Ada begitu banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyalurkan sebuah perasaan, akan tetapi jauh sebelum sampai pada tahap itu, tiap-tiap orang perlu mengelola perasaan yang dimilikinya.

Salah satu sebab mengapa orang terus mengalami perasaan negatif atau tidak dapat mengelola perasaannya dengan baik karena  orang telah “kehilangan sebab”.

Ketika mengalami permasalahan tertentu atau mengalami perasaan negatif, banyak orang cenderung fokus terhadap perilaku yang menjadikannya mengalami perasaan tertentu. Kemudian mempertanyakan perilaku tersebut.

Kita mengambil contoh seorang anak remaja. Ia terus menerus mempertanyakan mengapa ibunya begitu tega memperlakukan ia seperti itu. Ibunya bahkan tega mengurung ia di dalam kamar.

Ia hanya bisa keluar ketika sudah selesai mengerjakan tugas-tugasnya. Bahkan HP-nya pun disita. Anak remaja ini begitu sedih dan bahkan stress serta memiliki pikiran bahwa ibunya sangat jahat kepadanya.

Baca juga: Keterjajahan Fisik Sudah Ada Sejak Dalam Pikiran Bahkan Lintas Generasi (Bagian Akhir)

Anak remaja ini terus bertanya-tanya, mengapa ibunya begitu tega melakukan hal tersebut? Apakah ibunya benar-benar tidak menyayanginya lagi?

Pertanyaan yang dilakukan anak ini sudah benar, akan tetapi kalau hanya berhenti di pertanyaan dan tidak berusaha untuk mencari tahu, anak kecil ini akan terus dihantui oleh perilaku ibunya.

Bayangkan, betapa melekatnya perilaku ibunya di ingatan anak remaja tersebut. Ibunya hanya sekali melakukan perilaku tega, akan tetapi anak ini memikirkannya berkali-kali. Dalam kondisi ini, siapakah yang akan lebih dirugikan?

Tentu anak ini yang akan dirugikan atau bahkan merugikan dirinya sendiri. Anak remaja ini membiarkan dirinya berkali-kali memikirnya perilaku ibunya. Mempertanyakan mengapa ibunya tega terhadapnya.

Anak remaja ini membiarkan perilaku ibunya terus menjamur di ingatannya, sedangkan, mungkin saja ibunya sudah melupakan apa yang pernah dilakukan terhadap diri si anak.

Anak remaja tersebut dengan sadar, secara tau dan mau memikirkannya berulang-ulang kali,  dan hanya bisa berhenti di persimpangan pertanyaan “Mengapa”, sedangkan ibunya hanya melakukannya sekali.

Baca juga: Humanis Di Tengah Wabah COVID-19

Ketika mengalami permasalahan tertentu, banyak orang hanya berhenti di pertanyaan mengapa, mengapa dan mengapa.

Akan tetapi tidak benar-benar mencari tahu penyebab mengapa orang lain memperlakukan kita sedemikian rupa, hingga membuat masing-masing kita secara terus menerus mengalami perasaan negatif.

Untuk bisa mengurangi perasaan negatif yang dialami, masing-masing perlu mencari tahu penyebab atau bahkan menciptakan sendiri alasan-alasan (berpikir positif) mengapa orang orang lain melakukan hal demikian yang membuat kita merasa tidak nyaman.

Terkait kasus anak remaja tersebut, nyatanya ia memiliki potensi untuk mencari tahu alasan atau  bahkan menciptakan sendiri alasan-alasan mengapa ibunya memperlakukannya demikian. Katakanlah seperti berikut ini:

“Oww, mungkin ibu sedang stress karena urusan pekerjaan”, “Oww mungkin ibu mengharapkan agar saya memiliki nilai yang baik, sehingga perilakunya menjadi seperti itu”,

“Oww, mungkin ibu sedang mengalami masalah tertentu, sehingga ia tidak bisa mengontrolnya dan melimpahkannya kepadaku”, “Oww mungkin saja ibu sedang capek, sehingga perilakunya menjadi seperti itu”

Pengalaman mengurangi perasaan negatif bisa dilakukan oleh siapa saja dengan mencari sebab, dan pikiran adalah senjata yang paling utama dalam mewujudkannya. Hati-hati dengan pikiran, karena ia bisa membangkitkanmu dan seketika bisa menjtuhkanmu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Carilah sebab, karena ketika kehilangan sebab, orang akan terus menerus menghukum dirinya dengan pertanyaan mengapa, mengapa dan mengapa.

Membiarkan dirinya memikirkan berkali-kali, padahal orang lain mungkin saja sudah melupakan apa yang mereka lakukan kepada kita. Ia melakukan sekali, tapi kita berkali-kali memikirkannya.

Sayangi dirimu, kenali perasaanmu, galilah sebab mengapa perasaan tersebut itu muncul, dan buatlah keputusan yang baik berdasarkan pertimbangan yang logis.

Sumber foto: dream.co.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of