Eposdigi.com – Direktris Yayasan Tanah Ile Boleng Veronika Lamahoda mengatakan bahwa program-program konservasi mata air di Flores Timur belum benar-benar memperhatikan asas keadilan.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh depoedu.com dan eposdigi.com, pada Jumat (03.09.2021) malam.
Dalam pemaparannya, Vero Lamahoda mengungkapkan bahwa selama ini program-program konservasi mata air belum bisa memuaskan dahaga konsumen sekaligus menjawab kebutuhan pemilik tanah di sumber-sumber mata air.
“Kita harus mendorong secara serius program konservasi berkeadilan. Menjaga kelestarian hutan di mata air sekaligus memastikan pemilik (tanah di area) mata air mendapat manfaat ekonomi dari program konservasi itu” kata Vero Lamahoda.
Baca Juga: Bambu untuk Revitalisasi Mata Air
Ia melanjutkan, “Jika tidak, maka hutan di mata air akan beralih menjadi lahan pertanian”.
Selain itu penggiat LSM yang konsen pada upaya konservasi lingkungan hidup, baik mata air maupun lingkungan laut dan pesisir di Flores Timur dan Lembata ini juga mengungkapkan bahwa kesadaran para pihak untuk menjaga kelestarian lingkungan di dua kabupaten itu masih sangat minim.
Selain program-program konservasi mata air yang masih belum memenuhi asas keadilan, Vero juga mengungkapkan banyak praktek lain yang jauh dari upaya untuk meningkatkan daya dukung alam guna menjaga kelangsungan sumber daya air di Flores Timur.
Pola pertanian tebang bakar, dimana para petani menebang hutan kemudian membakarnya untuk dijadikan lahan pertanian. Atau praktek perburuan dengan cara membakar hutan.
“Pola-pola seperti ini justru meniadakan hutan yang merupakan area resapan air” terang Vero.
Baca Juga: Memagari Bambu Untuk Konservasi Mata Air dengan Perda
Vero Lamahoda menambahkan; banyak pegiat lingkungan hidup bahkan belum bisa membedakan jenis tanaman yang menyimpan air tanah dengan tanaman yang justru menguras air di mata air – mata air. Ini terlihat dari banyaknya tanaman yang salah ditanam atas nama penghijauan mata air.
“Banyak sekali dijumpai tanaman Jambu Mente dan Jati Putih di sekitar mata air. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan kita soal konservasi mata air masih sangat minim. Belum lagi banyak mata air justru sekarang ini penuh dengan pipa dan bak penampung air” kata Vero Lamahoda lebih lanjut.
Kita ketahui bahwa perakaran tanaman Jambu Mete dan Jati Putih memiliki sifat sangat rakus menyedot air, bukan menyimpan air seperti bambu.
Sementara itu Damianus Dai Koban, seorang doktor Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang turut hadir dalam diskusi virtual ini, menyoroti tentang maraknya praktik eksploitasi air tanah dalam, lewat sumur-sumur bor yang ada di Flores Timur dan Lembata.
Dami Koban mengungkapkan bahwa praktek sumur bor dapat menyebabkan banyak rongga di dalam tanah. “Ini tentu sangat berbahaya bagi daerah kita yang rawan gempa. Jika ada gempa besar, sangat rawan dan berpotensi menyebabkan longsor dan tanah amblas.”
Baca Juga: Bahaya Besar Menanti di balik Sumur Bor
Menanggapi hal ini Direktur Yaspensel Keuskupan Larantuka Romo Benyamin Daud Apelaby, Pr menyerukan pertobatan ekologis atas semua praktek yang tidak selaras dengan daya dukung alam bagi kelestarian kehidupan manusia.
Lewat suara kenabian yang diserukannya, Romo Benya mengajak semua kita untuk “Menyelamatkan Ibu Bumi”.
Diskusi virtual pada Jumat (03.09.2021) merupakan diskusi kali ke tiga yang diselenggarakan oleh depoedu.com dan eposdigi.com. Masih dalam tema besar Pendidikan Kontekstual, diskusi kali ke tiga ini mengangkat tema “Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Konservasi Lingkungan”.
Sebagai media yang konsen pada pendidikan (depoedu.com) dan juga lingkungan hidup (eposdigi.com), tema besar Pendidikan Kontekstual coba didorong menjadi gerakan yang menyasar para guru baik di Flores Timur maupun Lembata.
Baca Juga: Menanam Hujan, Menuai Air
Mengapa harus para guru? Founder depoedu.com dan eposdigi.com Sipri Peren mengungkapkan kepercayaannya bahwa perubahan paling bisa di dorong lewat pendidikan. Dan para gurulah yang dianggap sebagai masyarakat intelektual menjadi ujung tombak bagi perubahan itu.
Para guru harus diajak untuk peka melihat semua persoalan yang terjadi di masyarakat sebagai bahan mengajar.
Dan berangkat dari ruang-ruang kelas kita bisa mendorong pola pikir baru untuk lebih peka terhadap persoalan-persoalan sekaligus mencari alternatif solusi atas masalah yang terjadi di sekolah besar kehidupan.
[…] Baca Juga: Vero Lamahoda: Konservasi Mata Air Kita Belum Berkeadilan […]
[…] Baca Juga: Vero Lamahoda: Konservasi Mata Air Kita Belum Berkeadilan […]