Eposdigi.com – Tulisan ini merupakan hasil elaborasi lebih lanjut dari materi pengantar (tanggapan) saya dalam diskusi online pada tanggal 3 September 2021 dengan tema “Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Konservasi Lingkungan”.
Dalam tema besar itu, saya memilih membatasi diri pada pembahasan mengenai aspek penggerak perubahan.
Pertanyaan umum: siapa yang harus menggerakkan siapa? Apakah para ‘penggerak’ itu memiliki legitimasi sosial, kharisma, otoritas dan wibawa untuk menggerakkan orang lain?
Baca Juga: Soal Pendidikan, Mengapa Harus Kontekstual?
Apakah upaya konservasi lingkungan dapat meningkatkan kesadaran dan keprihatian perorangan atau kelompok kecil, lepas dan sporadis, menjadi gerakan kolektif massal yang terorganisasi dengan baik agar bisa menghasilan efek pembentukan dan penguatan kesadaran tindakan transformatif yang efektif?
Sumber Air, Aktor Perubahan dan Pergeseran Paradigma
Mari kita lihat mengeringnya sumber mata air minum sebagai pintu masuk dalam upaya memetakan sebaran aktor yang seharusnya bertanggungjawab.
Pada masalah kelestarian sumber air minum yang terbatas di pulau-pulau kecil dengan curah hujan yang terbatas sepanjang tahun seperti Flores Timur Daratan, Adonara, Solor dan Lembata.
Baca Juga: Bambu untuk Revitalisasi Mata Air
Secara keseluruhan masyarakat dan kesadaran konservasi sumber air dapat dibagi ke dalam dua kategori besar: (a) kelompok masyarakat yang tidak tahu dan tidak peduli pada keringnya sumber air sebagai sebuah persoalan;
(b) kelompok masyarakat yang sadar bahwa di sana ada masalah serius dengan sumber air kita – dengan tingkat kesadaran paradigmatis yang berbeda-beda. Kelompok kedua ini akan dibagi lagi ke dalam tiga kategori.
Kita membayangkan adanya pengelompokan dalam bentuk proporsi atau persentase untuk memudahkan kita memetakan potensi penggerak perubahan untuk konservasi sumber air di tengah masyarakat.
Berapa besar persentase masyarakat kita yang tidak/belum sadar dan karena itu tidak peduli pada masalah keringnya sumber air minum kita?
Kita tidak memiliki data empiris yang bisa kita jadikan rujukan untuk menunjukkan proporsi tinggi-rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat kita terhadap kecenderungan degradasi kualitas sumber daya alam lingkungan di wilayah kita yang berujung pada mengeringnya sumber-sumber air yang menjadi kebutuhan dasar setiap keluarga.
Baca Juga: Memagari Bambu Untuk Konservasi Mata Air dengan Perda
Mereka yang potensial dimasukkan dalam kategori ini mulai dari warga kampung kita yang sama sekali tidak sekolah hingga mereka yang sudah sekolah sangat tinggi dan memiliki pengalaman merantau kemana-mana.
Namun demikian, pengamatan terhadap perilaku masyaralat kita dapat kita jadikan starting point dan pintu masuk untuk menyoroti tingkat kesadaran ini.
Berkurang hingga berhentinya pasokan air dari sumber mata air ke kampung melalui pipa transimisi tidak diantisipasi mulai dengan memeriksa daya dukung alam di daerah sumber air dan mendorong inisiatip tindakan konservasi sumber air (juga memeriksa teknik instalasi pipa transmisi yang benar).
Orang malah lebih memilih bergegas mencari sumber air baru di wilayah baru dengan menghabiskan anggaran baru; atau orang sudah merasa tidak perlu memikirkan dan mengurus sumber air minum lagi karena sudah ada pengganti penyedia air mimun: pedagang air minum keliling dengan mobil pick-up dan tangki air masuk sampai ke lorong-lorong kampung.
Baca Juga: Vero Lamahoda: Konservasi Mata Air Kita Belum Berkeadilan
Mata air yang lama ditinggalkan begitu saja. Tidak ada wacana tentang, misalnya, bagaimana nasib sumber air yang lama?; bagaimana menyelamatkan pipa transmisi yang sudah dipasang (agar tidak dipreteli orang)?
Apakah ada survey dari ahli yang memiliki kompetensi keilmuan (bukan pendapat pedagang pipa dan penyedia jasa pemasangan pipa) termasuk kompetensi keilmuan (bukan kompetensi tengkulak) untuk mengkaji kemungkinan penggunaan alternatif teknologi tepat guna lain semisal penggunaan pompa hydram.
Pola pikir meninggalkan sumber air yang lama (karena sudah kering) dan mencari sumber air yang baru (berapa pun biayanya) hanyalah refleksi contoh kecil dari pola pikir primitif masyaraat peramu yang hidup dari berburu dan berladang secara pindah-pindah tempat.
Kalau kebun lama sudah tidak lagi menghasilkan padi, jagung dan kacang-kacang yang memadai, mari kita tinggalkan dan buka hutan baru untuk berkebun.
Baca Juga: Menanam Hujan, Menuai Air
Nanti kalau kebun yang baru itu juga tidak produktif lagi kita tinggalkan lalu buka hutan lagi untuk buat kebun baru.
Nasib pengelolaan sumber air (dan pemasangan jaringan transmisi pipa air minum ke kampung-kampung) tidak berbeda dengan mentalitas perladangan berpindah.
Maaf, saya harus menggunakan kosa kata primitif untuk menohok kesadaran kita untuk berpikir ulang.
Berapa besar persentase masyarakat kita yang sadar dan peduli pada masalah keringnya sumber air minum kita?
Sedikit pemahaman dasar tentang pergeseran paradigma berpikir (Jerman: Paradigmenwechsel) mungkin bisa membantu kita memetakan sebaran kelompok masyarakat dan tingkat kesadaran masing-masing kelompok bahwa keringnya sumber air minum itu adalah masalah.
Bahkan masalah amat serius dengan dampak jangka panjang atas kualitas sumberdaya manusia di daerah kita.
Kelompok yang pertama adalah mereka yang ketika pergi ke mata air untuk mandi, di sana mereka menemukan fakta bahwa sumber air sudah kering atau volume air yang keluar hanya cukup untuk siram badan pertama lalu gosok sabun.
Untuk menyiram badan lagi agar busa sabun di badan bisa pergi ternyata air sudah tidak cukup lagi.
Baca Juga: Bahaya Besar Menanti di balik Sumur Bor
Kelompok ini mulai bertanya, misalnya: kenapa volume air yang biasanya cukup untuk mandi bahkan sampai puas, tetapi kali ini air yang keluar sudah tidak cukup untuk mandi?
Ini merupakan kesadaran awal yang bagus, sebuah kesadaran ontologis, bahwa ada masalah dengan air dan lingkungan di seputar sumber air minum kita.
Mereka berbeda dari kelompok sebelumnya yang begitu menemukan sumber air sudah kering langsung balik kanan pergi mencari (sumber) air di kampung lain.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak sekadar menyadari ada masalah tetapi sudah mengambil masalah itu menjadi masalah mereka (paradigma mentalistis).
Bagi kelompok ini, fakta keringnya sumber air adalah masalah serius dan karena itu harus dicarikan penyebabnya. Mereka merasa terganggu jika belum menemukan akar masalah dan mendapat penjelasan yang memuaskan mengapa sumber air mereka kini sudah kering.
Baca Juga: Soal Pendidikan, Mengapa Harus Kontekstual?
Mereka adalah kelompok yang gelisah karena ada masalah (walau belum tahu bagaimana mengatasi masalah).
Kelompok ketiga adalah mereka yang tidak saja sadar ada masalah, mempertanyakan alasan mengeringnya sumber air.
Akan tetapi mulai mempertanyakan dampak yang bisa ditimbulkan jika masalah kekeringan sumber air ini terus dibiarkan dan akan meluas di seluruh pulau, sementara belum ada solusi yang memadai dan berkelanjutan.
Mereka tidak saja gelisah karena menyadari ada masalah tetapi lebih gelisah lagi karena mereka tidak melihat adanya inisiatif atau tindakan konkret untuk menghentikan laju deforestasi, pembakaran hutan.
Dan juga berbagai aktivitas masyarakat yang menjadi sumber menurunnya daya dukung alam terhadap ketersediaan air minum yang bersih dan layak untuk manusia di daerah ini. Mereka bergeser dari paradigma mentalistis ke paradigma linguistis.
Baca juga: Komunitas Flores Timur Dari Berbagai Daerah Selenggarakan Diskusi Tentang Pendidikan Flores Timur
Kesadaran akan adanya sumber air minum sebagai bagian dari persoalan daya dukung lingkungan hidup kita harus bisa dibahasakan secara baik, benar dan sederhana dalam bahasa semua pemangku kepentingan untuk menerjemahkan kesadaran awal menjadi kesadaran masalah dan kesadaran kolektif untuk betinda.
Identifikasi Key Actors of Change
Upaya konservasi lingkungan sebagai gerakan bersama membutuhkan penggerak. Pengerak potensial ada pada berbagai level kesadaran dengan kompetensi dan pemahaman yang beragam.
Diperlukan upaya kolaborasi yang sehat, dinamis, menjaga mutual respect dan menyenangkan di antara multi key actors.
Baca Juga: “Perhatikan Semua hal, Abaikan Sebagian Besar, Benahi Sedikit”
Karena perubahan dan gerakan untuk menyelamatkan sumber air minum tidak terjadi dengan sendirinya karena telah diseminarkan atau diskusikan secara online “pake zoom”.
Mereka yang sadar dan paham masalah lingkungan hidup, mereka yang memiliki konsep bagus tentang konservasi.
Semua mereka perlu berkolaborasi dengan mereka yang mungkin hanya paham sedikit masalah konservasi tetapi punya otoritas dan legitimasi sosial untuk menggerakan tindakan perubahan di tengah masyarakat.
Untuk itu perlu ada upaya mengidentifikasi siapa saja key actors of change di tingkat lokal dan peran apa yang dapat mereka kontribusikan dalam suatu kolaborasi kolektif untuk menggerakkan perubahan.
Baca Juga: Bonus Demografi dan Tantangan Dunia Pendidikan di Flores Timur: Sebuah Prespektif Pedagogi Kritis
Kita perlu mengidentifikasi siapa saja tokoh adat, tuan tanah, kepala desa dan tokoh pemerintah lain, tokoh agama, guru-guru dan kepala sekolah, tokoh pemuda, penggerak perempuan, dll.
Mereka masing-masing memiliki “zona kekuasaan”, massa, kharisma, relasi kepatuhan dan kewajiban saling menjaga.
Dengan memberi peran sosial kepada mereka, sesungguhnya mereka sedang mendapatkan panggung (kembali) untuk penguatan legitimasi peran sosial dan kekuasaan tradisional mereka.
Syarat untuk berkolaborasi lintas key actors sebagai pemangku kepentingan pada tingkat lokal adalah sikap rendah hati. Selamat mencoba!
Yogyakarta, 5 September 2021.
Foto dari koleksi penulis di laman facebook miliknya.
[…] Baca Juga: Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Konservasi Lingkungan: Mencari Penggerak Perubahan Kolektif untuk… […]