Bonus Demografi dan Tantangan Dunia Pendidikan di Flores Timur: Sebuah Prespektif Pedagogi Kritis

Opini
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com- Tulisan ini berupaya membingkai kembali materi pengantar saya dalam diskusi virtual untuk pendidikan di Flores Timur yang berlangsung pada tanggal 31 Juli 2021 mulai 19.00 WIB.

Diskusi virtual tersebut dimaksudkan sebagai brain storming untuk memancing diskusi-diskusi lebih lanjut dan lebih mendalam bagi upaya pembenahan pendidikan di Flores Timur.

Diskusi tersebut diharapankan dapat megingatkan, agar supaya pertumbuhan angkatan kerja di Flores Timur dapat menjadi bonus demografi bagi pertumbuhan pembangunan (baca: pembangunan ekonomi) dan bukan sebaliknya, menjadi defisit demografi yang membebani pembangunan itu sendiri.

Baca juga: Komunitas Flores Timur Dari Berbagai Daerah Selenggarakan Diskusi Tentang Pendidikan Flores Timur

Masalah Hegemoni Ideologi Pembagunan, VUCA, Konteks dan Konten Pembelajaran Abad 21.

1. Membaca Kegelisahan atas Outcome Pendidikan Formal

Jauh sebelum muncul jargon the 21st Century Learning dan introduksi Kurikulum 2013 yang diproyeksikan akan menghasilkan ‘golden generation’ yang siap tempur di abad 21, sudah muncul kegelisahan di berbagai belahan bumi, termasuk di negeri ini, tentang kegagalan dunia pendidikan formal dalam menjawab hal-hal konkret dan berada pada level lokal seperti masalah pengangguran dan daya serap lapangan kerja, dunia pertanian, perikanan, peternakan dan kerajinan di pedesaan tidak lagi diminati anak-anak muda.

Angka partisipasi kasar pada semua jenjang pendidikan semakin membaik tetapi angka putus sekolah pada berbagai jenjang yang berujung pada penumpukan dan peningkatan angka pengangguran juga semakin memprihatinkan.

Mereka yang sadar akan fenomena ini bergerak cepat mengambil inisiatif mengkaji dan mengenalkan konsep serta model pendidikan alternatif dalam berbagai bentuk.

Baca juga: Guru Honor Flores Timur Berharap Nasib Lebih Baik

2. Membaca Persoalan dengan Kacamata Pedagogi Kritis

Pertanyaan kita: seberapa besar peluang yang diberikan oleh kurikulum dan praksis penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di negeri kita hari ini dapat menjawab kegelisahaan di atas?

Konsep bonus demografi itu lahir dan diluncurkan bukan oleh mereka yang kelimpahan tenaga kerja produktif di dunia ketiga, juga bukan oleh para perancang pembangunan sosial ekonomi di belahan selatan bumi kita, tetapi oleh sebuah badan dunia yang berambisi membangun pemerataan kesejahteraan di seluruh dunia melalui pendidikan – sebuah lembaga yang didominasi dan dikuasai oleh negara-negara industri di belahan bumi utara.

Negara-negara industri maju di utara menyadari bahwa ketimpangan sosial ekonomi global (termasuk pendidikan) akan mempengaruhi kinerja industri dan jaringan pasar produksi mereka yang menggurita hingga ke dalam rumah tangga masyarakat pedesaan di negara-negara berkembang. Jika negara-negara dalam OECD bermurah hati memprakarsai dan mendanai penelitian kependidikan di seluruh dunia (IEA, PISA, TIMSS, dll.)

Baca juga: IGI Flores Timur Latih Guru SMPN Bugalima Hadapi Tantangan Era 4.0

dan secara bertahap mulai mengikutsertakan negara-negara berkembang (sebagai sampel?) maka kemurahan hati itu tidak cukup dibaca sebagai pertanggung jawaban etis dalam hubungan sosial ekonomi utara-selatan, tetapi juga – dalam kacamata pedagogi kritis – perlu dibaca sebagai bentuk hegemoni kekuasaan untuk mengamankan kepentingan ekonomi negara-negara maju atas ‘dunia yang sisa’ di luar negara-negara di utara.

Pemahaman masalah dan arah pendidikan abad 21 dari kacamata pedagogi kritis sangat membantu kita untuk dua hal:

(1) mengukur seberapa besar peluang anak-anak di pedesaan, di daerah-daerah 3T dengan berbagai keterbatasan obyektif, mampu naik kelas untuk berkompetisi dan seterusnya masuk jalan tol melalui pendidikan formal untuk menjadi pemain aktif dalam pembangunan abad 21;

(2) merancang pendidikan alternatif bagi anak-anak yang de facto tidak mampu bersaing (karena berbagai alasan) menuju dunia kerja abad 21, dengan modal sumber daya yang dimiliki di pedesaan, agar mereka juga tetap eksis di abad 21 secara bermartabat dalam bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan tanpa perlu meninggalkan desa dan hijrah ke kota besar.

Baca juga: Sosiolog UIN Jakarta Dan Peneliti ITB Tertarik Meneliti Situs Besi Pare Tonu Wujo Di Flores Timur

3. Kurikulum 2013 dan Salah-Kaprah tentang Learning Context & Content

Kurikulum 2013 muncul tanpa laporan kajian atas kelebihan dan kekurangan kurikulum-kurikulum yang berlaku sebelumnya. Publik tak pernah paham dari mana muncul K-13 ini. K-13 muncul di ujung potret suram posisi Indonesia dalam berbagai tes komparasi internasional yang digelar oleh badan dunia UNESCO via negara-negara OECD sejak tahun 1984. Kita dibuat yakin bahwa (proto)type K-13 waktu itu adalah pilihan terbaik untuk Indonesia.

Meminjam frasa cerdas dari Connelly (dalam Arie Levy: National and Schol-based curriculum development. UNESCO 1999), dalam hubungan kolaboratif dengan external developers, sekolah sebagai user developers ibarat pelanggan yang berbelanja di supermarket. External developers sudah menyiapkan segala sesuatu menjadi barang jadi dan hanya perlu memberi label produk pada barang-barang yang dipajang di rak-rak supermarket pendidikan dengan sedikit penjelasan singkat dan padat tentang apa dan untuk apa sebuah produk.

Baca juga: Bangga, IGI Flores Timur Bertemu Putra Terbaik NTT Di DPR RI

Customer yang rasional akan memilih sendiri apa yang ia butuhkan berdasarkan pemahanannya. Yang menjadi persoalan ialah ketika kita tidak bisa membedakan mana yang kita butuhkan (needs) dan mana yang cukup jadi keinginan dulu (wishes) karena kondisi ‘rumah tangga kita’ masih jauh dari memungkinkan untuk memanfaatkan semua tawaran indah itu. Sayang (baca: celakanya), banyak naïve consumer akan berbelanja dengan prinsip: first seen fisrt taken. Soal apakah ‘barang’ yang diangkut ke rumah dalam keranjang belanja kurikulum itu baik dan bermanfaat atau tidak, itu urusan nanti.

Rancang bangun kurikulum, baik National Curruculum (kurikulum nasional, terpusat) maupun School-Based Curikulum Development (SCBD = KTSP) sama-sama memberi ruang bagi local content dan learning context – sebagai dua hal yang berbeda.

Local content atau muatan lokal lahir dari kerangka pikir pengembangan kurikulum berbasis satuan pendidikan dan dianggap sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi penyelengaraan pemerintahan dan pendidikan. Saya kutip ahli kurikulum Arieh Levy: “The narrowest definition of SCBD would stipulate that the central educational authorities delegate some freedom to, or bestow some autonomy upon the local or the school authorities in determining a certain part of the school programme.” (Levy, 1999.p.34).

Baca juga: Kekeringan Ekstrem, Petani Mete Flores Timur Gagal Panen

Dalam pengertian seperti itu pemerintah atau dinas pendidikan di daerah memiliki kewenangan menetapkan muatan lokal yang bersanding dengan muatan nasional dalam kurikulum pendidikan di suatu daerah.

Maka di DIY misalnya, anak-anak juga mendapat pelajaran bahasa jawa, membatik, musik gamelan, dll. Di tempat lain muatan lokal malah diisi dengan muatan internasional: pelajaran bahasa Inggris dengan argumentasi bahwa kemampuan berbahasa inggris dibutuhkan di daerah pariwisata. Di tempat lain lagi orang mencari-cari apa yang kira-kira keren untuk dijadikan muatan lokal

Kurikulum 2013 berbicara tidak mengenai content tetapi context pembelajaran. Konsep sosial learning dari Lev Vygotsky, Bruner dkk mendapat penguatan dari praksis konseling dalam dunia psikiatri yang disponsori antara lain oleh Ruth Cohn membawa kita pada pemahaman yang lebih utuh dan mendasar tentang konsep dan model pendidikan tematik.

Dalam Segi Tiga social learning ada titik sudut (A) SAYA sebagai subyek belajar, (B) KITA sebagai sesama peserta pembelajaran, dan (C) TEMA yang kita pelajari.

Baca juga: Stunting, ‘SoLor’, Dan “Syuting” Di Flores Timur, Redefinisi Poin-Poin Menggempur Stunting. (Bagian Pertama Dari Dua Tulisan)

Ketiga titik segi tiga itu saling berhubungan secara fungsional dan dihubungkan oleh sebuah garis lingkaran besar bernama globe atau dunia dan alam lingkungan di mana kita hidup bersama dalam perspektif sosial, ekologis, ekonomis, ekumenis, dan teknologis

Titik A: Saya. Saya dalam konteks ini adalah subyek belajar, siswa. Disana ada masalah kepribadian dan perilaku setiap subyek anggota komunitas belajar. Saya juga memiliki bumi (globe) atau dunia alam lingkungan pribadi dimana saya ikut bertanggungjawab.

Hubungan A → B: kemungkinan/potensi dan keterbatasan saya (A) yang dapat saya berikan bagi kelompok belajar saya (B).

Hubungan A → C: kemungkinan/potensi dan keterbatasan saya (A) dalam (ikut) mengerjakan tema (C).

Titik B: KITA. Kita dalam konteks ini mencakup interaksi, kultur, dan dinamika kelompok. Kita sebagai kelompok (B) juga memiliki bumi (globe) atau dunia alam lingkungan bersama dimana kita semua ikut bertanggungjawab.

Hubungan B → A: kemungkinan/potensi dan keterbatasan yang dapat diberikan oleh kelompok belajar (B) kepada saya (A).

Hubungan B → C : kemungkinan/potensi dan keterbatasan kita bersama sebagai kelompok (B) dalam mengerjakan tema (C).

Baca juga: Pengukuhan Pengurus Cabang BKMT Kecamatan Adonara Timur Periode 2020 – 2025

Titik C: TEMA. Tema (C) adalah globe atau alam lingkungan dimana pilihan tema pembelajaran benar-benar nyata adanya, tidak dicari-cari, tidak abstrak dan berjarak dengan dunia empiris.

Hubungan C → A: makna dan pengaruh tema C bagi saya (A)

Hubungan C → B: makna dan pengaruh tema (C) terhadap kita (B) sebagai kelompok belajar dan kelmpok masyaraat luas.

Jadi pengertian pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran tematik memiliki makna dan cakupan yang jauh lebih luas, fleksibel, adaptif – dibanding konsep dan model muatan lokal (local content).

Kaum awam yang tidak memiliki portofolio di bidang kurikumum dan perencanaan pendidikan mudah tersesat dan menganggap learning context and local content sebagai dua hal yang sama.

4. Kurikulum dan Ideologi Hegemonik

Pedagogi kritis amat sensitif dan ‘aware’ membaca dan mencurigai kenakalan ideologis dalam setiap konsep dan model pendidikan termasuk kurikulum. Dan untuk konteks ini kita bisa bertanya:

Baca juga: IGI Flotim Dan SMAN 1 Lewolema Bangun Sinergi Tingkatkan Kompetensi Guru

– Benarkan reformasi pendidikan dan kurikulum di negara-negara berkembang dengan konsultan dari negara-negara maju adalah untuk kesejahteraan masyaraklat di dunia ketiga? Model dan arah perubahan apa yang mereka bawa?
– Apa kepentingan negara-negara maju yang tergabung dalam OECD mau membiaya penelitian pendidikan di negara-negara berkembang?
– Akankah model kurikulum dan praksis pembelajaran di sekolah saat ini akan terus memperkuat cengkeraman model ekonomi neoliberal yang masih dan akan terus melahirkan fenomena streaming up economy dimana negara-negara miskin akan jadi kuda tunggangan bagi negara-negara kaya dan adidaya, dan negara-negara miskin itu akan terus mensubsidi kesejahteraan dan kenyamanan hidup negara-negara kaya?

Ada empat tema kunci yang diharapkan membentuk pemahaman kita tentang the 21st century skills adalah (1) Financial and Economic Literacy (paham masalah keuangan dan ekonomi); (2) global awareness (memiliki kesadaran sebagai warga dunia global); (3) civic literacy (paham hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat); dan (4) health literacy (paham masalah kesehatan).

Empat tema besar itu harus bisa digiring turun ke level lokal – menjadi local context – pendidikan di pedesaan dan daerah-daerah 3T, agar anak-anak di sana tidak bertumbuh di daerah bayang-bayang pembangunan, hanya bisa mengagumi keindahan lampu mercusuar kenikmatan masyarakat modern dan makmur di perkotaan.

Baca juga: Wabup Agus Boli Pembeli Perdana Minyak Kelapa Pintu Air Di Flotim

Mereka harus bisa memiliki rasa percaya diri dan kebanggaan sebagai manusia merdeka dan berdaulat dari mengolah alam lingkungan di mana mereka berada. Mereka harus bisa belajar di dan dalam konteks sosial ekonomi dan budaya mereka untuk menguasai dunia di sekitar mereka. BUKAN DENGAN MUATAN LOKAL!

5. Pandemi Covid-9 dan Kedaruratan Pendidikan

Masa pandemi adalah masa yang ditandai oleh volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCÅ). Tak ada negara di dunia ini yang siap. Semua orang panik dalam menjawab tuntutan dan tantangan penyelenggaran pendidikan dalam situasi darurat. Jika upaya yang sudah dilakukan ternyata belum optimal, ada baiknya kita memeriksa nasihat Peter Drucker dalam tesis disrupsinya ini: “The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence.

It is to act with yesterday’s logic.“ Demikian, banyak salah kaprah dalam praksis online learning (termasuk pemahaman konsep learnig context) justru bersumber dari sini: bertindak dalam situasi darurat dengan logika situasi normal. Padahal pandemi memiliki kompleksitas dan logika tersendiri. Demikian pula halnya konteks pembelajaran!

Baca juga: Dinas PKO Gandeng IGI Flotim, Bangun Pembelajaran Virtual

Closing Question:

Jadi alternatif pendidikan kontekstual seperti apa yang relevan dan feasible bisa dikembangkan di Flores Timur agar kita tidak terperangkap dalam skenario global mempersiapkan generasi berikut hanya untuk menjadi kuli melayani industri negara-negara maju dan kemudian bonus demografi kita juga terus menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri dari negara-negara kapitalis dan berbagai perpanjamgan tangan mereka di negara-negara berkembang?

Critical pedagogy membangkitkan pertanyaan, bukan menyuap jawaban!

Foto: id.wikipedia.ord

Sebarkan Artikel Ini:

3
Leave a Reply

avatar
3 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Bonus Demografi dan Tantangan Dunia Pendidikan di Flores Timur: Sebuah Prespektif Pedagogi Kritis […]

trackback

[…] Baca Juga: Bonus Demografi dan Tantangan Dunia Pendidikan di Flores Timur: Sebuah Prespektif Pedagogi Kritis […]

trackback

[…] Baca Juga: Bonus Demografi dan Tantangan Dunia Pendidikan di Flores Timur: Sebuah Prespektif Pedagogi Kritis […]