Mengukur Seberapa Kita Terdidik Dengan Sampah

Lingkungan Hidup
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah penduduk berbanding searah dengan jumlah sampah yang dihasilkan. Ya. Tentang sampah kita bahkan tidak lagi menggunakan istilah “membuang”.

Sampah lebih dari “dibuang”. Kata “membuang” lebih banyak kita maknai sebagai sesuatu yang tidak penting. Karena tidak penting maka harus disingkirkan. Barangkali pemaknaan seperti inilah yang membuat kita memperlakukan sampah secara berbeda.

Sampah adalah sesuatu yang kita hasilkan. Sampah adalah hasil dari sebuah upaya sadar dengan menggunakan berbagai hal, yang direncanakan maupun tidak direncanakan, untuk menjadikannya ada.

Spiderman dari Parepare

Sampah secara sengaja kita produksi. Tapi ini adalah anomali yang menggelikan. Sebuah paradoks akut yang jika direfleksikan lebih dalam tidak dapat diterima akal sehat.

Sampah kita buang karena tidak lagi dibutuhkan. Tidak lagi berguna. Namun disaat yang sama sampah kita produksi, kita hasilkan dengan sengaja, lagi dan lagi, lebih banyak hari demi hari.

Tempo.co (13/03/2022) mengutip Wakil Gubernur DKI, Riza Patria, mengungkapkan bahwa setiap hari Kota Jakarta menghasilkan 7.800 ton sampah. Dataindonesia.id (08.02.2022) mencatat 21.88 juta ton sampah diproduksi oleh Orang Indonesia selama tahun 2021.

Impor Sampah dan Masa Depan Kita

Tingkat produksi sampah sebanyak ini rupanya turun signifikan dibandingkan pada tahun sebelumnya (2020) yaitu sebanyak 32,82 juta ton. Kita mesti berterima kasih pada Covid-19, jika turunnya produksi sampah kita karena berbagai protokol kesehatan selama pandemi.

Itu baru paradokos pertama.  Paradoks lainnya adalah ternyata sampah yang dihasilkan yag terbesar berasal dari rumah tangga-rumah tangga. Dan jenis sampah yang dihasilkan adalah sisa makanan.

Sebuah studi yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama sejumlah lembaga pada tahun 2021 lalu mengenai food loss & waste mendapatkan hasil yang mencengangkan.

Dampak Rendahnya Kesadaran Masyarakat dalam Mengelolah Sampah Plastik

Kajian tersebut menghasilkan data bahwa selama tahu 2000 hingga 2019, orang Indonesia membuang makanan mencapai 23 – 48 juta ton setiap tahun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk maka angka itu setara dengan 115 – 184 kilogram perkapita per tahun (beritasatu.com/20.01.2022).

Mari kita renungkan bersama. Apa yang terjadi jika harga kedele naik? Harga beras naik? Apa yang terjadi jika harga sembako naik? Satu Indonesia heboh. Pasti. Pada saat yang sama, data ini menunjukan bahwa kita membuang begitu banyak makanan.

Data-data mengenai sampah yang kita hasilkan sedikit banyak memberi gambaran bahwa hingga saat ini pendidikan kita entah itu melalui sekolah formal maupun melalui dogma keagamaan tidak membawa kita menjadi lebih baik dalam memperlakukan sampah.

Bagaimana dengan Sampah (dan) Kita?

Pendidikan kita ternyata dalam tingkatan tertentu “gagal” membuat kita meyelaraskan diri sedemikian rupa dengan lingkungan tempat tinggal kita. Padahal konon katanya, tingkat pendidikan ternyata berpengaruh signifikan terhadap bagaimana seseorang memperlakukan sampah dengan lebih baik.

Digiers bisa mengkonfirmasi hal ini dari penelitian yang dilakukan oleh Kadek Rini Jayanti dan kawan-kawannya pada tahun 2017 lalu dari Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Bali. (ejournal.undiksha.ac.id).

Walaupun lokus penelitian ini hanya pada salah satu desa di Singaraja Bali, namun gambaran ini boleh kita jadikan sebagai harapan sekaligus mempertanyakan sejauhmana peran dunia pendidikan kita memberi solusi soal sampah.

Merawat Kasih Sayang Bersama Alam

Sebagai harapan karena kita percaya bahwa melalui dunia pendidikan masih bisa memungkinkan kita untuk meperlakukan sampah dengan lebih baik. Namun kita juga harus berani jujur mempertanyakan sekolah-sekolah kita jika hari ini persoalan sampah di negeri ini masih belum terurai.

Pada akhirnya sampah adalah mengenai kesadaran masing-masing pribadi. Kesadaran yang diperoleh melalui berbagai instrumen. Dan salah satu instrumen yang paling mungkin digunakan untuk mencapai taraf sadar tertentu dari setiap kita adalah pendidikan.

Karena itu Komunitas Sekolah baik formal maupun informal, menjadi sebuah lembaga yang paling bertanggungjawab tentang masa depan sampah di satu bumi kita ini.

Terinspirasi Melalui Pengajaran Guru di Sekolah, Greta Thunberg Menjadi Pejuang Belia Lingkungan

Walaupun agak keterlaluan membebankan tanggung jawab sebesar itu dengan mengarakhan satu jari telunjuk kita hanya kepada lembaga pendidikan, sampai kita lupa bahwa empat jari lainnya terlipat mengarah pada diri kita masing-masing.

Jadi bagaimana menurut Digiers? Seberapa besar tanggungjawab saya dan Anda tentang sampah di sekitar kita? Bukankah sampah bisa jadi alat ukur yang akurat mengenai pendidikan kita masing-masing?

Foto dari kumparan.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of