Eposdigi.com – Pasar Mirek adalah pusat perputaran ekonomi masyarakat Witihama. Setiap pagi, masayarakat Witihama dan sekitarnya melakukan transaksi jual beli, mencukupi berbagai kebutuhan hariannya.
Berbagai kebutuhan pokok, berbagai jenis sayuran, singkong dan hasil kebun lainnya, ikan laut, ayam, sirih pinang, tenun ikat, aneka kue dan jajanan pasar dijajakan oleh penjualnya untuk memenuhi kebutuhan para pengunjung pasar.
Tidak hanya bagi masyarakat Witihama, setiap hari Selasa, Jumat dan Minggu, para pedagang dari luar Witihama, tumpah ruah, memenuhi lapangan sepak bola,yang juga diperuntukan sebagai pasar tersebut.
Para pedagang dari luar Witihama ini, berasal dari berbagai daerah. Bahkan ada yang datang dari luar pulau Adonara. Mereka menjual aneka pakaian, sandal dan sepatu, perlengkapan rumah tangga. Juga bahan kebutuhan pokok lain dalam jumlah besar.
Ayo Baca Juga: Warna Warni di Pasar Mirek
Pasar Mirek memiliki daya tawar yang tiada duanya di Pulau Adonara, atau bahkan sekabupaten Flores Timur. Ini bisa dipahami. Masyarakat Kecamatan Witihama yang terdiri dari 16 Desa, boleh dibagi dalam 2 bagian. Kompleks wilayah dalam yang terdiri dari 5 desa, selebihnya dikenal sebagai kompleks wilayah luar.
Lima desa yang dimaksud sebagai kompleks dalam adalah Desa Lamabelawa, Desa Oring Bele, Desa Pledo, Desa Weranggere dan Desa Watoone.
Konsentrasi manusia dalam jumlah banyak dari lima desa kompleks wilayah dalam inilah adalah pasar yang sangat potensial. Tentu saja ini menarik para penjual untuk datang ke Witihama untuk menawarkan berbagai macam dagangannya.
Saya punya pengalaman menarik saat di Witihama akhir tahun kemarin. Pasar Mirek berubah sangat drastis. Terutama pada hari Selasa, Jumat dan Minggu, untuk orang yang telah begitu lama tidak ke Witihama, seperti saya.
Pada hari-hari ini, lapangan sepak bola di Desa Oring Bele tempat Pasar Mirek berada dipenuhi oleh berbagai macam barang dagangan. Dibandingkan dengan hari lain di mana Pasar Mirek hanya memanfaatkan satu sudut kecil dari area lapangan tersebut.
Dan pada hari-hari tersebut jumlah pengunjung selalu membeludak memenuhi lapangan sepak bola Oring Bele. Tentu tidak hanya masyarakat lima desa di kompleks wilayah dalam, atau masyarakat 11 desa lainnya sekecamatan Witihama.
Pasar Mirek juga menjadi destinasi masyarakat sepulau Adonara lainnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka, yang tentu saja tersedia di Pasar Mirek.
Soal Penjajah di Pasar Mirek, sebagai judul tulisan ini, saya anggap sebagai judul yang provokatif. Agar siapa saja yang membaca tulisan ini terpanggil untuk berpikir. Ia, saya sengaja mengajak kita semua untuk berpikir.
Ayo Baca Juga: Benih Subsidi dan Kemandirian Petani
Jika penjajah boleh didefenisikan sebagai segala sesuatu yang membuat seseorang atau sekelompok orang kehilangan kedaulatannya, maka di Pasar Mirek jelas ada penjajah. Pertanyaannya, kehilangan kedaulatan atas apa?
Selasa, 22 Desember 2020, saat itu sangat ramai di Pasar Mirek. Bahkan untuk berjalan saja mesti hati-hati agar tidak bersenggolan dengan para pengunjung pasar. Terutama agar tidak menginjak berbagai barang dagangan yang digelar seadanya di tanah lapang itu.
Ketika melewati lapak seorang pedagang sayur, ada sesuatu yang begitu mengganggu saya. Lapak itu sudah saya lewati sekitar 2 atau 3 langkah. Tapi karena “gangguan” itu, saya memutuskan untuk kembali ke lapak sayur tersebut.
Kepada penjual saya sengaja menyapanya dalam bahasa daerah. Dari raut wajahnya saya bisa mengenali bahwa ia bukan asli orang Witihama kebanyakan. Setidaknya saya menyimpulkannya demikian.
Saya sengaja menyapanya dalam bahasa daerah untuk memastikan logat bicaranya. Dari daerah mana ia datang. Tapi bukan perempuan muda penjual sayur itu. Salah satu jenis sayur dagangannya-lah yang mengganggu.
Ia menjawab pertanyaan saya dengan bahasa daerah namun dengan logat yang bukan dipakai kebanyakan orang Witihama. Darinya saya tahu bahwa ia dari luar Witihama. Namun bukan itu tujuan saya.
Salah satu jenis sayuran yang ia jual cukup langka. Seingat saya bahwa sayur itu tidak dapat tumbuh di Witihama, atau bahkan barangkali tidak cocok tumbuh di kebanyakan tempat di Adonara. Saya lantas meminta izin untuk mengambil foto sayur tersebut.

Perempuan muda itu menjelaskan bahwa, sayuran itu datang dari luar. Bahkan dari luar Flores Timur, jawabnya, ketika rasa penasaranku menghujaninya dengan pertanyaan beruntun, memastikan dari mana datangnya sayur jenis itu.
Pertama, benar dugaan saya, pasti sayur itu datang dari luar. Karena datang dari luar tentu masyarakat Flores Timur apalagi orang Witihama, tentu lidak biasa dengan rasa sayur tersebut. Ini soal selera.
Rasa penasaran, membawa saya jauh menelusuri, apa sebab sayur ini sampai di Witihama. Dari nilai gizinya tentu kalah jauh dari nutrisi pada kelor. Sementara kenapa kelor tidak dijual di Pasar Mirek?
Seorang dekat saya menanggapi sambil guyon, kelor di musim hujan pasti bosan mengisi perut manusia. Pun perut babi. Tapi bukan begitu sudut pandangnya. Harusnya akal sehat mana saja akan memilih kelor karena nutrisinya, bukan sayur jenis itu.
Bagaimana jika ada orang Witihama atau Adonara yang sedang mencari sayur di Pasar Mirek, tapi hanya mendapati sayur jenis itu, bukankah ia akan menyisihkan kelor dari menu makannya? Ia membeli sayur jenis itu karena tersedia di pasar saat ia butuh sayur.
Daripada sayur jenis itu, jika ada kelor, daun papaya atau daun singkong dijual, tentu ia akan memilih yang familiar dengan rasa lidahnya.
Kita kehilangan kedaulatan atas apa yang kita makan. Bahkan untuk jenis sayurpun, pasar kini telah mendikte kita dengan pilihan lain, alih-alih membujuk nalar kita untuk memilih yang familiar dengan lidah, apalagi dengan kandungan nutrisinya.
Dengan masuknya jenis sayur itu, kita kehilangan kedaulatan atas sayur. Mungkin ini sedikit berlebihan. Bahwa itu sejenis “penjajah” di Pasar Mirek. Hanya karena ia, sayuran jenis lain yang datang dari luar.
Bukan soal ia datang dari mana. Ini soal pasar yang mendikte kita. Jenis sayur pakis ini bukan kebutuhan masyarakat kita. Dulu kita tidak mengenalnya. Mengapa sekarang ia jadi kebutuhan?
Barangkali kita juga bisa berpikir dari sisi lain, menimbang baik buruknya. Seperti yang ditawarkan herbisida roudup dan gramason pada lahan-lahan pertanian kita.
Ayo Baca Juga: Bahaya Herbisida Bagi Tanah dan Manusia
Bukankah dulu, 20-an tahun lalu kita tidak membutuhkan itu? Hanya karena pasar menyediakannya. Pasar menciptakan kebutuhan. Lalu herbisida itu kini menggersangkan tanah-tanah pertanian kita perlahan-lahan, musim berganti musim.
Ya, jika nalar tak mebawa kita maju berpikir lebih luas, maka bisa saja, sayur jenis itu, akan “menjajah”tepat di atas piring nasi kita.
Foto pelapak dan pengunjung Pasar Mirek – Oring Bele – Witihama / eposdigi.com
[…] Ayo Baca Juga: Ada “Penjajah” di Pasar Mirek […]
[…] Baca Juga: Ada “Penjajah” di Pasar Mirek […]
[…] Baca Juga: Ada “Penjajah” di Pasar Mirek […]