Masa Depan Listrik Indonesia Ada Pada Nuklir Atau EBT?

Lingkungan Hidup
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Perang Rusia – Ukraina, memiliki dampak langsung terhadap kebutuhan energi bagi banyak negara di Eropa. Sebabnya adalah karena Rusia selama ini merupakan pemasok utama energi ke banyak negara di Eropa.

Jerman misalnya, sudah lama memikirkan sumber energinya sendiri untuk melepaskan diri dari pasokan energi Rusia. Demi kemandirian itu, Jerman sudah menginvestasikan sejumlah besar dana untuk mendorong EBT dari tenaga angin dan matahari.

Namun pada Konferensi Iklim di Uni Emirat Arab tahun 2023 lalu, banyak negara kemudian memasukan Nuklir sebagai alternatif sumber energi mereka. Momentum perang Rusia – Ukraina, membuat tetangga Jerman, Prancis dan Inggris kemudian mengumumkan secara terbuka inisiatif memanfaatkan nuklir sebagai sumber energi mereka.

Baca Juga:

Tantangan Kedaulatan Energi, Belajar dari Krisis Rusia – Ukraina

Tidak hanya karena perang, inisiatif menggunakan nuklir sebagai pembangkit energi juga muncul dari Asia. Korea Selatan sudah mengungkapkan keinginannya untuk meningkatkan penggunaan nuklir sebagai sumber energi.

Bahkan Jepang, yang mengalami bencana nuklir di Fukushima pada 2011 silam pun mengungkapkan inisiatifnya untuk menambah reaktor nuklir di sejumlah daerah lain sebagai sumber energi negeri itu.

Bagaimana Dengan Pemanfaatan Nuklir Sebagai Sumber Energi di Indonesia?

Nuklir sebagai sumber energi bukan barang baru di Indonesia. Sejak tahun 1965, Indonesia telah meresmikan penggunaan nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik.

Sejak diresmikan oleh Presiden Soekarno tahun 1965, walaupun dimaksudkan sebagai laboratorium penelitian tentang penggunaan nuklir sebagai sumber energi listrik, Triga MARK II di Bandung merupakan reaktor nuklir pertama di Indonesia yang menghasilkan listrik.

Baca Juga:

Sorgum, Alternatif Baru Swasembada Pangan sekaligus Energi

Tidak hanya di Bandung. Indonesia juga sudah puluhan tahun memiliki reaktor nuklir di Yogyakarta. Sama seperti Triga MARK II di Bandung, reaktor nuklir ‘Karya Teknisi Indonesia” – Kartini – juga merupakan reaktor riset , yang menghasilkan listrik sebesar 100 kWh.

Reaktor Kartini di bangun pada tahun 1974, kemudian diresmikan oleh Presiden Suharto pada tahun 1979. Reaktor Kartini maupun Triga MARK II merupakan reactor penelitian dan pengembangan milik BRIN.

Saat ini pun pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sudah dimulai di Pangkal Pinang, Kepulauan Riau. Diperkirakan instalasi reaktor nuklir ini sudah bisa dilakukan pada tahun 2028 nanti.

Tidak hanya di Indonesia, Asosiasi Nuklir Dunia (WNA) melaporkan bahwa saat ini saat ini sudah dibangun sekitar 60 reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang tersebar di seluruh dunia.

Baca Juga:

Green Hydrogen Menjadi Masa Depan Energi Baru Terbarukan di Indonesia?

Tidak hanya itu, masih ada sekitar 110 reaktor lainnya direncanakan akan segera dibangun. Sebagian besar reactor itu akan di bangun di ASIA. China, Bangladesh, India, Cina, Korea dan Iran melaporkan inisiatif kuat untuk mengembangkan nuklir sebagai sumber energi di negara mereka.

Antara EBT dan Nuklir, manakah yang akan dipilih Indonesia?

Sejarah panjang menggunakan nuklir sebagai sumber tenaga listrik ini, membuat Indonesia cukup PD untuk meningkatkan skala produksi nuklir sebagai pembangkit listrik. Badan Tenaga Nuklir Nasional – BATAN percaya bahwa Indonesia mampu mengembangkan nuklir sebagai sumber tenaga listrik secara aman.

Sejak tahun 2010 sejumlah penelitian terutama mengenai kesiapan masyarakat menerima nuklir sebagai sumber tenaga sudah dilakukan oleh BATAN.

“Dari hasil riset 2014, ada 72 persen masyarakat yang mendukung pembangunan PLTN. Angka ini terus mengalami kenaikan signifikan dari tahun 2012,” ungkap Kepala BATAN Jarot Sulistio seperti dikutip oleh cnnindonesia.com (10.11.2022).

Baca Juga:

Masa Depan Energi Kita, Fosil atau EBT?

Namun masih banyak kalangan yang mengkhawatirkan Nuklir. Limbah Radioaktif yang dihasilkan oleh PLTN, belum ditemukan teknologi untuk mengurai secara aman. Radioaktif dari limbah nuklir ini bertahan ribuan tahun lamanya. Pada saat yang sama paparan radiasi nuklir sangat berbahaya bagi manusia.

Tidak hanya itu, selain teknologinya tinggi, teknologi nuklir mengharuskan sejumlah syarat ketat dalam instalasi. Karena itu pembangunan PLTN memerlukan biaya yang sangat tinggi. Apalagi fasilitas nuklir  merupakan objek vital dengan tingkat kerentanan terhadap serangan militer dan terorisme tinggi.

Sejumlah alasan ini yang menjadi kendala kenapa PLTN belum menemukan jalan mulus untuk mencapai tujuan menjadi pemasok sumber energi di Indonesia.

Baca Juga:

Tantangan mewujudkan Energi Baru Terbarukan

Karena itu pilihan berikutnya adalah Energi Baru Terbarukan (EBT). Sebagai negara tropis Indonesia memiliki potensi yang begitu besar dari sinar matahari. Selain ramah lingkungan EBT dari sinar matahari juga tidak memerlukan investasi yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan nuklir.

Jika pembangkit nuklir membutuhkan instalasi kabel untuk mengalirkan energi yang dihasilkan oleh PLTN, sementara panel surya bisa diinstal secara mandiri di atap-atap rumah warga untuk mendorong kemandirian akan sumber energi.

Harganya relatif terjangkau bahkan oleh rumah tangga – rumah tangga dan tentu saja ramah terhadap lingkungan dan aman bagi manusia. Namun baik tenaga Nuklir maupun EBT membutuhkan niatan politik dari pemerintah untuk merealisasikannya.

Harapannya adalah, pemerintah dapat mengambil keputusan dengan mempertimbangkan manfaat daripada mudaratnya, bagi masyarakat Indonesia.

Foto ilustrasi dari detik.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of