Masa Depan Energi Kita, Fosil atau EBT?

Lingkungan Hidup
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Yasir Arafat dari Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja Kementerian PPN / Bapenas dalam tulisannya di Kompas.com (31/05/2022) mengungkapkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang potensi Energi Baru Terbarukan (EBT)-nya tertinggi didunia.

Potensi EBT Indoensia adalah sebesar kurang lebih 441,7 GW. Di mana lebih dari separoh potensi ini disumbang oleh sumber energi dari tenaga surya.

Setelah sumber energi surya yang menyumbang potensi sebesar lebih dari 200 GW, kemudian EBT yang bersumber dari energi air sebesar 70 GW dan angin sebesar 60 GW.

Dari potensi sebesar itu, hingga saat ini menurut data Kementerian ESDM per Januari 2022 ini, baru tergarap sekitar 11,2 GW saja. Angka ini jika diprosentase maka baru sekitar 2,5 %.

Baca Juga:

Tantangan Kedaulatan Energi, Belajar dari Krisis Rusia – Ukraina

Sementara nilai ekspor sumber energi dari fosil terutama batu bara ke Negara-Negara Eropa juga meningkat di kuartal III tahun ini seiring dengan terhentinya pasokan dari Rusia.

Sementara itu wartatambang.com (07/04/2022) mengutip Kementerian ESDM mengatakan bahwa cadangan batu bara Indoensia per 19 Januari 2022 adalah sebesar 31,7 miliar ton.

Bedanya hanyalah bahwa sumber energi yang datang dari fosil suatu saat nanti akan habis semntara EBT tidak.

Saat ini fokus pengembangan Energi Baru Terbarukan di Indoensia masih hanya sebatas formalitas dalam rangka penurunan karbon. Tujuan ini sah-sah saja. Apalagi target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang.

Seolah-olah pengembangan berbagai sumber bahan baku alternatif di Indonesia hanya untuk mengejar target nol pencemaran. Atas nama Net Zero Emission (NZE) ini pulalah banyak negara di Eropa berharap pemerintah Indonesia menunda dulu pengiriman baru bara ke Uni Eropa.

Baca Juga:

Kopra; antara Minyak Goreng dan Avtur

Bisa jadi ada pihak lain yang tidak mengharapkan ekspor batu bara ke Uni Eropa, sementara kebutuhan akan sumber energi semakin besar sebab Eropa memasuki musim dingin dan Rusia sebagai pemasok utama sumber energi ke Uni Eropa masih terkendala perang.

Pengembangan EBT tidak boleh hanya sekedar mengejar target Net Zero Emission (NZE). Jika hanya demi Net Zero Emission maka setelah tahun 2060, nasib EBT kita akan seperti apa?

Pengembangan EBT seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah lebih pada untuk memerdekakan bangsa ini dari ketergantungan akan impor sumber energi. Pengembangan EBT hanya untuk membawa Indoensia menjadi negara berdaulat atas energi.

Karena itu pengembangan EBT harus menjadi proyek startegis nasional yang prioritas. Karena menjadi proyek startegis nasional yang prioritas maka semua elemen terkait, kementaerian atau BUMN yang berkepentingan, dunia pendidikan, pusat-pusat riset harus urun berkontribusi mendorong kedaulatan bangsa dibidang energi lewat EBT.

Baca Juga:

Setelah Harga BBM Naik, Lalu Apa?

Pusat-pusat riset dan dunia pendidikan dengan anggaran dari pemerintah mendorong  diri sedemikian rupa agar terjun langsung dalam upaya mencari, menemukan, dan mengolah EBT.

Kita harus bisa mendorong tenaga-tenaga kerja professional kita untuk menemukan cara untuk memproduksi EBT sesuai dengan potensi dan kebutuhan local masyarakat setempat.

Arah manufaktur kita harus berubah juga, kita tidak boleh lagi menjadi hanya sebatar ‘negara assembling’ yang hanya merakit hasil produksi negara lain lalu dipasarkan.

Kiblat bisnis manufaktur kita sudah saatnya sebagai produsen yang memegang kendali penuh atas semua potensi EBT. Mulai dari hulu hingga ke pemakai akhir, dalam bisnis EBT, kita sudah seharusnya memiliki 100 % Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Untuk mendekatkan diri pada kiblat tersebut maka kita perlu menyiapkan dengan sangat serius sumber daya manusia kita juga. Jika SDM kita siap maka NZE bisa terwujud lebih cepat sebelum tahun 2060.

Foto dari  shutterstock 

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of