Eposdigi.com – Bulan lalu, Presiden Joko Widodo, baru menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Pada pasal 103 dalam PP tersebut di antaranya diatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja.
Pasal mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja tersebut, kemudian menuai pro-kontra dari berbagai kalangan. Pada Pasal 103 tersebut mengatur tentang kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja. Ayat 2 pada pasal 103 tersebut mengatur tentang pemberian komunikasi dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi.
Termasuk di dalamnya perilaku seksual beresiko dan menjaga kesehatan reproduksi. Sedangkan pada ayat 3 pasal 103 tersebut menyebut pemberian pendidikan ini melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah dan di luar sekolah.
Sedangkan pada ayat 4 pasal 103 tersebut lebih lanjut mengenai sejumlah pelayanan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah dan remaja yang mencakup; (a) deteksi dini penyakit, (b) pengobatan, (c) konseling, dan (d) penyediaan alat kontrasepsi. Butir d ini tidak diikuti dengan penjelasan lebih lanjut.
Baca juga :
Membaca Kasus Remaja Hamil di Luar Nikah, Apa yang Perlu Kita Lakukan?
Kondisi ini kemudian ditanggapi oleh anggota komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat RI Netty Prasetiyani yang membidangi kesehatan dan kependudukan. Dalam pernyataannya seperti dikutip oleh BBC mengatakan, PP tersebut dapat menimbulkan anggapan bahwa dibolehkan hubungan seksual bebas pada anak usia sekolah dan remaja.
“Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” kata anggota DPR dari PKS tersebut. Sedangkan Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI juga dari PKS menyatakan menolak dengan tegas aturan tersebut.
Fikri menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan pendidikan nasional serta ajaran agama. “Aturan ini tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan tidak menjunjung tinggi norma agama,” kata Fikri pada CNN Indonesia.
Menurutnya penerbitan aturan seperti ini sama seperti mengizinkan budaya seks bebas di kalangan pelajar dan remaja pada umumnya. Menurut dia, harusnya bukan penyediaan alat kontrasepsi, melainkan pemerintah aktif melakukan sosialisasi soal bahaya seks bebas.
Baca juga :
Tanggapan Pemerintah
Menanggapi kritik tersebut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan pelayanan kontrasepsi bukan untuk semua siswa dan remaja, melainkan remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan, karena hamil dan melahirkan di usia sangat muda sangat beresiko.
Penjelasan lebih detail tentang butir (d) penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja, akan diatur lebih lanjut, dalam peraturan Menteri Kesehatan yang akan terbit. Menurut Nadia, tidak sedikit anak usia 15 tahun atau remaja yang sudah mengalami menstruasi, sudah dikawinkan oleh keluarganya.
“Aturan itu berlaku untuk remaja yang sudah menikah, tetapi akan menunda kehamilan sampai umurnya siap untuk hamil. Akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Menteri Kesehatan,” jelas Nadia.
Nadia menghimbau agar PP tersebut tidak disalah-artikan masyarakat sebagai pendorong siswa dan remaja untuk menggunakan kontrasepsi dalam hubungan seks bebas sebelum menikah.
Baca juga :
Tanggapan aktivis gender
Sedangkan aktivis dan konsultan gender Tunggal Pawestri dalam tanggapannya kepada BBC mengatakan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan mengenai pelaksanaan PP tersebut. Tanggapan seperti ini biasa di Indonesia.
“Siapa sih yang enggak tahu kalau di Indonesia, hampir semua hal selalu dikaitkan dengan agama. Tapi jangan sampai kita menutup mata dan tidak peduli dengan fakta dan data di lapangan bahwa banyak remaja sudah aktif secara seksual,” kata aktivis gender ini.
Kata Pawestri, ini bukan pertama kalinya pemerintah menuai kritik karena kebijakan mengenai pelayanan alat kontrasepsi. Pada zaman menteri kesehatan dijabat oleh Nafsiah Mboi, ketika melakukan terobosan untuk menekan pertumbuhan kasus HIV, melalui kampanye penggunaan kondom, ia juga dituduh hendak melegalkan hubungan seks bebas.
Ketika itu kata Pawestri, Nafsiah tetap melakukan kampanye penggunaan kondom yang memang direncanakan untuk melakukan kampanye di tempat-tempat lokalisasi, tempat berlangsungnya hubungan seks beresiko tinggi.
Pro-kontra mengenai PP nomor 28 tahun 2024 terutama terkait pasal 103 ayat 4 poin d tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja, tetap harus dianggap sebagai hal yang positif dalam kehidupan bernegara.
Baca juga :
Yang paling penting adalah bagaimana kesehatan reproduksi para remaja kita dapat dilindungi. Seks bebas memang perlu dicegah, namun realitas pergaulan remaja kita juga perlu dicermati. Dan yang sangat diperlukan adalah bagaimana mengambil tindakan untuk memungkinkan semua warga negara dapat bertumbuh.
Kita menunggu pengaturan detail dari PP nomor 28 tahun 2024, pasal 103 ayat 4 poin d tersebut. Namun yang paling penting adalah bagaimana implementasi semua peraturan tersebut, karena dampaknya pada pertumbuhan warga negara adalah merupakan hasil dari implementasi bukan pada rumusan pasal-pasalnya.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: prolkn.id
Leave a Reply