Eposdigi.com – Cita-cita mewujudkan kerajaan Allah di dunia mendorong Romo Van Lith mendirikan sekolah Katolik di Muntilan.
Pendidikan yang diselenggarakan waktu itu mencita-citakan pemunculan pelaku-pelaku perubahan sosial yang memihak pada kepentingan orang-orang Jawa yang ditindas dan dihisap oleh struktur kolonial waktu itu.
Dengan model pendidikan kontekstual waktu itu, Van Lith menjadikan sekolah bukan hanya mampu melayani kebutuhan rakyat, mengantisipasi perubahan yang terjadi, tetapi juga berpartisipasi mengusahakan perubahan tersebut.
I.J. Kasimo adalah salah satu figur tokoh yang hadir dalam kancah perjuangan sebagai wujud pelayanan kebutuhan rakyat (akan tokoh sekaliber Kasimo), sekaligus pengusaha perubahan yang gigih.
Dengan wawasan yang luas dan sikap kritis yang khas, serta kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi, Kasimo tampil sebagai pejuang yang gigih.
Kasimo bukan hanya memperjuangkan kepentingan golongannya saja, tetapi memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Kasimo adalah figur nasionalis sejati..
Baca juga :
Paus Fransiskus Minta Maaf Atas Kekerasan Di Sekolah Katolik Pada Masa Lalu Di Kanada
Aktualisasi kepribadian itu, dibina melalui sistem pendidikan Katolik waktu itu yang antisipatoris dan kontekstual, di mana informasi dalam pendidikan dan pengajaran disampaikan dalam konteks masyarakat di tengah-tengah situasi nyata.
Sistim pendidikan juga pembinaan pemillikan dasar-dasar kemampuan untuk terus belajar, agar semakin mengerti kehidupan. Romo Bonowiratmo (1991) menyebutnya sebagai learning.
Learning merupakan suatu pendekatan atau suatu gerak menuju pengetahuan maupun kehidupan yang menekankan inisiatif manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi yang selalu baru dalam kehidupan nyata.
Pendidikan model tersebut di atas masih disempurnakan dengan pembinaan bidang humaniora yang intensif serta sistem asrama dengan disiplin yang bertanggung jawab.
Setelah Indonesia merdeka, model pendidikan ini, dengan cita-cita dan nilai-nilai yang dianutnya, distabilkan dalam lembaga pendidikan yang berlabel Katolik yang baru dan lebih banyak lagi.
Cita-cita dan nilai-nilai sempat stabil dalam sekolah-sekolah Katolik tersebut, sehingga sekolah-sekolah Katolik tampil sebagai sekolah dengan identitas yang khas.
Baca juga :
Akar Masalah Kasus Migrasi Guru Swasta Setelah Lolos Seleksi PPPK Ke Sekolah Negeri
Identitas yang khas tersebut dimiliki karena lulusan sekolah Katolik memiliki komitmen pada kaum miskin, lemah, dan tertindas. Komitmen tersebut dilengkapi dengan jiwa merdeka dan nasionalis.
Beberapa dari aktor angkatan 66 adalah jebolan dari sekolah-sekolah Katolik tersebut.
Namun sejak tahun 1980-an, kita sulit mendapatkan sekolah yang meskipun masih berlabel Katolik, mempertahankan idealisme di atas.
Penyelenggaraan sekolah Katolik sekarang bukan lagi untuk membebaskan manusia dan menyiapkan aktor perubahan sosial yang memihak pada kaum lemah, miskin dan tertindas.
Sekolah Katolik semakin memihak pada industri di satu pihak dan kapitalisme di lain pihak. Oleh karena itu, hal-hal yang tidak berguna bagi industri dan tidak cepat menampakkan hasil, tidak lagi menjadi bidang perhatian sekolah.
Baca juga :
Pintar Saja Tidak Cukup, Anak Perlu Memiliki Enam Karakter Ini Untuk Sukses
Misalnya sekarang, kita sulit mendapatkan sekolah Katolik yang pembinaan disiplin humanioranya intensif, baik dalam pembinaan kurikuler, maupun ekstrakurikuler.
Disiplin humaniora memang –meminjam istilah Soedjatmoko- hanya merupakan kemewahan dan tidak sentral bagi pembangunan, apalagi menjanjikan lapangan kerja bagi lulusannya. Kondisi adaptif juga kita temui dalam hampir semua mata pelajaran.
Pelajaran merupakan pertemuan untuk menyampaikan paket informasi, yang sering tidak kontekstual karena materi pelajaran terus bertambah akibat perkembangan ilmu pengetahuan.
Ada berbagai faktor yamg membuat guru tidak mampu mengadakan reorientasi pengajaran di antaranya sistem EBTANas dengan NEM menentukan opini masyarakat terhadap sekolah.
Di pihak lain, sebagaimana biasanya, sekolah sebagai microsystem terpengaruh pada opini ini, apalagi sekolah swasta.
Aktivitas di sekolah lalu menjadi praktis dan dangkal. Sekolah hanya ssemat-mata menjadi medan pengajaran, tidak menjadi medan pendidikan.
Baca juga :
Menimba Inspirasi dari Cara Finlandia Mengelola Pendidikan Dasarnya
Hubungan yang dijalin antara guru dan murid semata-mata hubungan profesional, bukan hubunga antarpribadi yang kondusif untuk pembentukan kepribadian utuh.
Pendidikan model ini akan mematikan sikap kritis dan solidaritas siswa terhadap situasi di sekitarnya. Kelak setelah lulus dari jenjang terakhir, lulusan memang diserap oleh struktur lapangan kerja, namun ia hanya bekerja untuk mancari uang semata-mata.
Uang lalu diletakkan sebagai tujuan, bukan sebagai efek dari aktualisasi diri melalui kerja. Ini merupakan bagian dari logika yang populer bagi kapitalis. Sekolah Katolik ternyata secara sadar atau tidak sadar ikut memperkuat struktur kesenjangan dan ketidakadilan di sekitarnya.
Baca juga :
Lulusan memasuki struktur ketidakadilan tanpa kehendak untuk mengubah situasi tersebut. Ia bahkan menjadi alat bagi kelangsungan struktur yang korup tersebut.
Sekolah Katolik pada gilirannya hanya mampu menjadi sarana institusionalisasi dosa dan bukan lagi menjadi sarana institusioanalisasi rahmat.
Bukan hanya karena sekolah Katolik tidak lagi mampu membina kepekaan dan sikap solider kepada sesama yang lemah, miskin, dan tertindas.
Sekolah Katolik juga tidak lagi menyediakan tempat bagi orang miskin dan tertindas, untuk menyiapkan diri mematahkan belenggu kemiskinan yang melilitnya, hanya karena mereka tidak mampu secara finansial.
Perubahan sosial, budaya dan politik rupanya terlalu “beringas” sehingga identitas sekolah Katolik sebagi penyalur rahmat pembebas manusia, yang diyakini berpengaruh pada perubahan sosial, ke arah perwujudan kerajaan Allah, hanya tinggal kenangan.
Identitas sekolah Katolik diganti dengan identitas baru sebagai sekolah favorit karena selalu diincar calon siswa dari golongan elite masyarakat dan mampu meluluskan puluhan ribu lulusan setiap tahunnya.
Baca juga :
Lulusannya mampu memasuki sekolah menengah dan perguruan tinggi terbaik negeri ini. Mereka pada umumnya mampu lulus dari perguruan tinggi dan dapat memasuki lapangan kerja meskipun hanya menjadi tukang.
Ini memang identitas baru tetapi umum, tidak khas dan semu. Kondisi ini merupakan kondisi krisis, namun pada kondisi krisis selalu terkandung bahaya dan kesempatan.
Di sana ada pesimisme bahwa sekolah Katolik semakin menjauh dari idealisme awal. Tetapi juga ada kesempatan untuk mendekati idealisme awal, tergantung pada bagaimana para pelaku pendidikan menanggapi krisis ini.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto: sesawi.net
Leave a Reply