Eposdigi.com – Kasus intoleransi masih saja terjadi di negara kita tercinta Republik Indonesia. Suara NKRI harga mati selalu berhadapan dengan tabuh intoleransi atas nama agama dan kelompok.
Kasus intoleransi di Indonesia semakin parah dan memprihatinkan karena bukan saja antara satu agama dengan agama lain namun mulai kelihatan yaitu antara satu kelompok tertentu dalam agama yang sama dengan kelompok yang lain.
Setiap terjadinya peristiwa intoleransi yang seringkali muncul adalah kesalehan yang selalu dibungkus dengan ketidakjujuran.
Kita malu atau tidak mau mengakui bahwa peristiwa intoleransi itu ada namun kita lebih kerap membungkusnya dalam bahasa yang saleh; “mereka yang melakukan intoleransi adalah tidak beragama, mengatasnamakan agama dan yang lebih parah seringkali mengambil jalan pragmatis atas sebuah berita intoleransi yang sudah viral dengan pernyataan bahwa tidak pernah terjadi persekusi, situasi aman dan kondusif.”
Dari dua perilaku “saleh” yang kerap menjadi tameng untuk tindakan intoleran secara sadar kita memberi mereka ruang untuk terus melakukan tindakan intoleran dan seakan menyetujui tindakan intoleran sebagai tindakan yang benar.
Baca Juga:
Tidak masalah melakukan tindakan intoleran, toh pada akhirnya hanya dihakimi tidak beragama dan jika tidak, maka jalan damai yang pragmatis menjadi jalur yang paling aman untuk ditempuh.
Kita tidak pernah jujur untuk mengakui tindakan intoleran itu dilakukan oleh yang beragama dan tidak mau mengakui bahwa tindakan intoleran itu memang ada.
Kita selalu berdalih bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran serta penghargaan terhadap perbedaan.
Namun dalam kenyataannya selalu yang menjadi alasan tindakan intoleran adalah atas nama agama dan katanya semua agama mengajarkan kebaikan, kebenaran dan penghargaan terhadap perbedaan justru yang terjadi sebaliknya dimana ada oknum kelompok agama tertentu yang justru selalu melakukan tindakan intoleran bahkan pada tidak segan-segan melakukan persekusi terhadap sesama penganut agama mereka.
Rasa “hormat” yang begitu besar kepada kaum intoleran melalui dua perilaku saleh di atas pada gilirannya membungkam suara-suara kebenaran mayoritas yang dengan sendirinya mencederai nilai toleransi.
Toleransi
Toleransi bukan sekedar menghormati perbedaan namun lebih dari itu adalah memberi ruang pada suara-suara kebenaran mayoritas untuk berbicara tanpa tekanan dan paksaan dari dan oleh siapapun.
Baca Juga:
Toleransi tidak hanya dimaknai sebatas ruang-ruang gereja, vihara, klenteng maupun masjid melainkan harus mampu keluar dari area-area privatisasi untuk menerangi dan memberikan kedamaian bagi siapapun.
Kenyataan yang seringkali terjadi di tanah air dengan semakin maraknya intoleransi dikarenakan oleh banyak oknum yang mereduksi privatisasi agama ke wilayah-wilayah tertutup rumah-rumah ibadah.
Bahkan yang seringkali terjadi adalah privatisasi agama lebih sering direduksi ke dalam klaim mayoritas dan minoritas yang dengan sendirinya memframing ketakutan bagi sebagian kaum minoritas untuk menerima begitu saja tindakan intoleran (bdk. Evangelii Gaudium, no. 255).
Framing ini sangat nampak ketika ada tindakan intoleran dari oknum kelompok yang mengatasnamakan agama mayoritas maka yang muncul adalah sebuah kesalehan semu; “maklum minoritas, lebih baik diam daripada tambah kacau, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, tidak akan mengurangi imanku dan biar Tuhan yang membalasnya.”
Ungkapan yang sedemikian saleh, namun tanpa sadar ungkapan ini juga ikut memberikan ruang bagi tindakan intoleran terus terjadi dan bertumbuh subur.
Nampaknya saleh dengan ungkapan ini namun justru membungkam kebenaran mayoritas yang memperjuangkan toleransi.
Toleransi beragama adalah menerjemahkan privatisasi agama dalam ruang-ruang publik dan dalam relasi dengan siapapun tanpa pernah mempersoalkan cara menghayati agama masing-masing dengan segala simbol dan atributnya.
Baca Juga:
Arab Saudi Mengembangkan Kurikulum Baru untuk Menumbuhkan Toleransi
Toleransi yang tulus adalah tidak membungkus kebohongan dengan kesalehan; sepintas dari luar tampaknya baik namun hanya untuk memenuhi harapan sebagian oknum kelompok secara pragmatis.
Toleransi yang tulus adalah yang berbicara tentang kemanusiaan, hidup berdampingan dan berjalan bersama sebagai satu saudara dan tidak lagi mempersoalkan rumah ibadah, simbol dan atribut agama.
Ketika suara kutukan dan kritik atas tindakan intoleran demi perdamaian bersama sejatinya itu adalah Toleransi yang melampaui ruang-ruang privatisasi agama.
Ungkapan saleh tanpa menyuarakan kebenaran sejati atas tindakan intoleran adalah bentuk ketakutan dan kebohongan. Manila: 25-Maret, 2023
Foto dari geotimes.id
Leave a Reply