Rakyat Mesti Cerdas Memilih Calon Pemimpin

Sospol
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Negara Indonesia menganut  sistem  pemerintahan  demokrasi dan pemilu sebagai suatu hal yang niscaya. Sebab dalam negara demokrasi, pemilu  merupakan salah satu instrumen   demokrasi  yang diyakini paling efektif  melakukan proses pergantian elit politik di semua level.

Melalui pemilu rakyat diberi  kesempatan dan kebebasan seluas-luasnya secara periodik untuk menilai pemimpin sebelumya dan memilih calon penguasa  sebagai pemimpin baru  yang dikehendakinya.

Baca juga:

Politik Identitas vs Politik Gagasan

Memasuki tahun politik (pileg, pilpres dan pilkada)  serentak pada  tahun 2024, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi diharapkan memiliki kecerdasan tinggi  menentukan pilihan politiknya secara tepat kepada calon eksekutif (caleks)  dan calon legislatif (caleg)  yang  berintegritas dan dipercaya mampu membawa perubahan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya.

Dalam pasal 2 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,  disebutkan Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

UU ini setidaknya telah  memberikan jaminan dan kepastian politik dan hukum kepada para penyelenggara dan pemilih  menjalankan  pemilu secara demokratis, jujur dan adil.

Sejarah mencatat bahwa pemilu yang fair dalam arti demokratis, jujur dan adil  hanya pernah terjadi sekali di Indonesia pada pemilu tahun 1955.

Karena dalam pemilu tersebut para kontestan sungguh-sungguh mempertaruhkan gagasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an dan bukan sekedar merebut kekuasaan semata seperti yang terjadi pada kontestasi politik  dewasa  ini.

Baca juga:

Kearifan Lamaholot (Demi Perkembangan Budaya Politik)

Dalam kompetisi politik ada kecenderungan  sejumlah kontestan  menjual sentimen suku, agama, ras dan golongan serta praktik politik uang dari pada menawarkan ide-ide bernas untuk merebut simpati publik.

Bahkan ada indikasi saling melapor dugaan tindak pidana korupsi ke institusi penegak hukum tanpa membawa bukti pendukung yang kuat melainkan hanya sekedar  menghancurkan atau membunuh  citra dan karakter terhadap lawan politik semata.

Akibatnya pelaksanaan pemilu  pada setiap periode berubah menjadi medan tempur politik saling menghancurkan integritas lawan politik dan   transaksi politik jual beli suara serta ajang mengais rezeki bagi para tim sukses dan pendukung.

Pemilu sebagai penguatan jantung demokrasi kemudian kehilangan substansi dan jauh dari orientasi untuk menemukan calon pemimpin terbaik  guna mewujudkan masyarakat  yang adil dan makmur.

Lebih celakanya lagi masyarakat sebagai pemilih pun telah melihat  uang sebagai bagian dari  praktik demokrasi yang lumrah sehingga bagi-bagi uang atau pemberian barang lain  menjelang pemilu dianggap hal biasa.

Baca Juga:

Apa Hubungan Korupsi Dana Desa Dengan Pendidikan Politik Warga Desa?

Menurut Steven Covey, (2004) watak organisasi yang berkarakter seperti partai politik mesti  menjadi partai pembelajar, berorientasi pada pelayanan, memancarkan energi positif, mempercayai pihak lain, mengedepankan prinsip keseimbangan dan sinergitas.

Sedangkan menurut Sulaksono & Djojosoekarto, (2008) partai politik belum memiliki sense terhadap bagaimana menuju sebuah sistem kepartaian yang ideal dan terlembaga. Lebih bahayanya lagi para elit partai politik yang kalah berkompetisi lebih senang  pindah partai atau memilih membentuk partai baru, ketimbang membenahi dan membesarkan partai politik yang sebelumnya ikut membesarkan namanya.

Oleh karena itu rakyat sebagai pemilik kedaulatan mesti menggunakan hak pilihnya secara cerdas, bebas dan bertanggung jawab memilih caleks dan caleg terbaik yang lebih  merakyat dan berbela rasa, tak diragukan rekam jejaknya serta rela berkorban tapi bukan pencitraan.

Itu berarti seorang pemilih harus menggunakan akal sehat dan nuraninya ketika hendak menjatuhkan pilihan politiknya kepada  caleks dan caleg tertentu dan bukan karena pertimbangan pragmatis dan iming-iming materi dari kontestan atau tim sukses.

Bila ada kontestan yang mengusung isu SARA dan menawarkan barang tertentu, maka  terima saja barangnya tetapi abaikan namanya ketika berada di bilik suara.

Baca Juga:

Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Ketangguhan Peradaban

Calon pemimpin seperti ini tak layak dipilih karena kehadirannya tidak membawa solusi melainkan hanya akan menambah masalah dan memberi beban baru bagi Negara dan rakyatnya.

Dengan demikian untuk menciptakan pemilu yang demokratis maka semua elemen penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, partai politik  dan institusi terkait termasuk pemilih harus ikut aktif mengambil tanggungjawab yang sama dan bersinergi menjaga proses pemilu agar tetap berjalan sesuai prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang dianut, terutama dalam menghadapi perhelatan pemilu serentak pada awal tahun  2024.

Foto: suaradewata.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of