Eposdigi.com– Beberapa hari terakhir ini, di sebuah grup aplikasi WhatsApp yang kami ikuti, sedang ramai perbincangan mengenai bakal calon bupati untuk Kabupaten Flores Timur.
Padahal hajatan politik masih di tahun 2024 mendatang. Saya yang pragmatis menganggap bahwa hajatan politik itu masih lama. Belum saatnya terlalu serius diperbincangkan.
Bagi mereka yang lain, barangkali sudah siap menyongsong pesta demokrasi itu. Para bakal calon sudah mulai bermunculan. Memperkenalkan diri, mencari simpati. Hendak jadi bupati, katanya.
Di grup WhatsApp yang saya maksud, yang kebetulan isinya dari salah satu daerah di Flores Timur, mulai ramai tentang siapa yang jadi bupati Flores Timur kelak. Tak tanggung-tanggung, baru di group ini saja, sudah ada empat nama naik kepermukaan.
Keempatnya dari satu daerah ini. Keempatnya pun anggota grup WhatsApp tersebut. Ada politisi, ada pensiunan birokrat, ada juga profesional. Sah-sah saja. Toh semua punya hak dipilih pun memilih. Lalu diskusi mulai rame.
Sayangnya Flores Timur hanya memilih satu bupati dan satu wakil bupati. Karena itu yang empat inipun nantinya hanya satu yang akan jadi bupati. Tapi serunya diskusi bukan mengenai siapa yang paling pantas menjadi bupati.
Yang hangat jadi diskusi adalah mengapa harus empat? Mengapa tidak mendukung satu saja? Jika memilih dari empat ini, siapa yang paling pantas?
Mereka yang gelisah kemudian bilang, jika kita satu suara niscaya peluang memenangkan bupati dari daerah kita lebih besar. Jika terpecah jadi empat peluang itupun terbagi menjadi lebih kecil. Bisa-bisa bupati Flores Timur mendatang bukan dari daerah kita.
Kira-kira demikian. Persoalannya dari keempat ini siapa yang mau mengalah untuk satu orang saja? Jika hanya memaksa satu, dan tiga lainnya mundur maka itu melanggar hak. Hak untuk dipilih.
Tidak ada yang salah. Yang salah adalah memaksakan kehendak berdasarkan latar primordial. Karena calonnya adalah orang sedaerahku maka tentu apapun itu, siapapun dia, harus didukung.
“Saya tidak mendukung orang yang berlatar belakang berbeda dengan saya!” Kira-kira begitu suasana batinnya. Identitas calon bupati lah yang penting.
Sebagian yang lain menganggap siapa bupatinya, itu bukan prioritas. Yang harus jadi prioritas adalah mengidentifikasi persoalan-persoalan besar yang dihadapi Flores Timur hari ini dan nanti.
Hasil identifikasi inilah yang nantinya disodorkan kepada masyarakat. Masyarakat yang memahami persoalan yang dihadapinya tentu tahu siapa yang paling pas menjadi pemimpin yang membantu mereka keluar dari persoalan-persoalan tersebut.
Gaya Gubernur NTT Memimpin dan Tantangan Kepemimpinan era Industri 4.0
Identifikasi atas masalah-masalah besar di Flores Timur adalah proses menggali akar masalahnya, kemudian menyiapkan berbagai macam perangkat untuk mengukur seberapa besar masalah itu telah diselesaikan.
Bukan hanya soal masalahnya, namun bagaimana mengintegrasikan semua kesempatan-kesempatan yang dimiliki Flores Timur agar dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, Flores Timur bisa melompat lebih jauh dalam solusi.
Gagasan-gagasan besar seperti inilah yang seharusnya menjadi prioritas para cerdik cendekia, bukan hanya semata-mata mendebatkan siapa yang paling mumpuni jadi bupati.
Jika kita percaya bahwa demokrasi yang sehat berasal dari para pemilih yang cerdas, terdidik secara politik, maka prioritas seharusnya adalah mendidik masyarakat agar cerdas menentukan pilihan politik.
Penerapan Governance: Mengelola Pemerintahan Asli Melalui Badu dan Leba Ne’e
Kecerdasan berpolitik bisa secara gamblang diukur ketika pemilih mulai meninggalkan politik identitas menuju politik berdasarkan gagasan-gagasan.
Yang dibutuhkan dari pemimpin hari ini adalah dia yang berangkat dengan sejumlah gagasan yang digenggamnya dari hasil mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi mereka yang dipimpinnya, kemudian bersama-sama mengatasi masalah-masalah tersebut.
Ia tidak hanya datang dengan gagasan ditangan, tapi membawa serta pula alat ukur yang dikomunikasikan secara terang benderang kepada siapa saja agar mereka punya kesempatan untuk bergerak maju dengan irama dan kecepatan yang sama.
Gagasan dan alat ukurnya dimaterai menjadi sebuah kontrak politik, yang sama-sama dipegang dengan integritas moral antara pemimpin dengan yang dipimpin. Integritas moral yang sama-sama dijaga oleh mereka yang dewasa dan cerdas berpolitik.
Seperangkat gagasan dan alat ukur pencapaiannya inilah yang memungkinkan sebuah kepemimpinan dijaga keseimbangannya, dirawat harmoninya.
Foto ilustrasi dari dutadamaisumaterabarat.id
Leave a Reply