Ada Bahaya lebih Besar dari Banjir di Jakarta

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Banjir dan Jakarta sudah tidak terpisahkan. Daerah rawa ini diubah oleh Jaan Pieterszoon Coen, menjadi pusat dagang bernama Batavia. Hingga hari ini daerah rawa  itu menjadi kampung. Rawa-rawa itu diabadikan menjadi nama kampung.

Rawa Buaya dan Rawa Belong di Jakarta Barat. Kampung Rawa di Jakarta Pusat, Rawa Barat dan Rawa Jati  di Jakarta Selatan, Rawa Badak di Utara Jakarta, Rawa Sari, Rawa Lumbu dan Rawa Mangun, Rawa Terate , Rawa Bunga, di Jakarta Timur.

Banjir di Jakarta sudah berabad-abad lamanya. Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta mencatat bahwa Jakarta sudah mengalami persoalan banjir sejak 15 abad lalu.

Raja Purnawarman pada masa Kerajaan Tarumanegara memerintahkan penggalian terhadap Kali Chandrabagha (Sekarang Bekasi) dan Kali Gomati ( Sekarang Tangerang) sepanjang 12 Km untuk mengendalikan banjir.

Sejarah mencatat, bebanyak 66 Gubernur Jendral Hindia Belanda, dari Jaan Pieterszoon Coen hingga AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer, tidak pernah berhasil mengatasi persoalan banjir di Batavia waktu itu.

Persoalan banjir di Batavia ini, mendorong pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1895 membangun disain besar penanggulangan banjir. Mulai dari pembenahan di kawasan hulu di Puncak – Bogor hingga daerah hilir di Utara Jakarta. (idntimes.com 17/02/2018)

Baca Juga : Menanam Hujan, Menuai Air

Yang berbeda hari ini hanyalah bahwa daerah rawa bernama Jakarta itu, kian tahun mengalami penurunan permukaan tanah.  Rata-rata penurunan muka tanah di Jakarta sebesar 7,5 cm per tahun (detik.com -16/01/2019). Pada saat yang sama kawasan Puncak Bogor mengalami deforestasi  hutan yang luar biasa.

Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan: sepanjang 2000 – 2016 ada 5.700 hektar hutan alam hilang di Puncak. DAS sungai Ciliwung hanya tersisa 21 persen hutan alamnya. Hutan alam ini beralih fungsi menjadi lahan pemukiman atau kawasan wisata (kompas.com – 08/02/2018)

Secara kebetulan curah hujan di Jakarta 31 Desember 2019 malam hingga 01 Januari 2020 memecahkan rekor curah hujan tertinggi yang bertahan 13 tahun. Curah hujan tertinggi tercatat 340 mm/hari di tahun 2007. Kemarin Jakarta mencatat 377 mm/hari (detik.com 02/01/2020).

Hingga saat tulisan ini kami buat jumlah korban meninggal di Jabodetabek tercatat 30 orang. Penyebabnya beragam.  17 orang karena terseret banjir. 5 orang karena tertimbun longsor. Karena tersengat listrik 5 orang. 3 orang lainnya karena hipotermia (tempo.co 03/01/2020).

Menyebabkan sebanyak 31.232 jiwa mengungsi (detik.com 02/01/2020). Belum terhitung berbagai jenis harta benda yang rusak akibat banjir.

Namun bencana alam ini diikuti oleh potensi bencana sosial yang efek merusaknya tidak kalah mengerikan. Di berbagai laman sosial bertebaran umpatan-umpatan terhadap pemerintahan DKI Jakarta. Meme-meme kreatif bertebaran di berbagai laman media sosial.

Baca Juga: Yang Suka Nyinyir; Tanda Gangguan Jiwa?

Netizen murka. Menganggap Anies tidak becus mengurus Jakarta. Anggaran penanggulangan banjir yang berkurang, naturalisasi sungai yang mandeg, vertikal drainase yang belum efektif, diperparah oleh janji Anies bahwa persoalan banjir Jakarta baru terlihat keberhasilannya di akhir tahun 2019.

Anies kemudian dihadapkan pada sosok Basuki Tjahaja Purnama –Ahok.  Buih politik yang panas mendidih warisan pilkada Jakarta 2017 lalu kembali membara. Dinamika politik Jakarta saat itu, membuat bukan hanya Jakarta yang terbagi atas dua kutub, namun meluas bahkan hingga seluruh Indonesia.

Polarisasi politik saat itu dinilai turut andil meruntuhkan konstruksi sosial yang dibangun atas dasar semangat solidaritas sesama anak bangsa. Kerusakan yang ditimbulkannya terbukti masih sangat sulit untuk dipulihkan kembali saat ini.

Polarisasi politik, ternyata menenggelamkan akal sehat banyak orang. Menghayutkan empati dan belarasa kepada korban yang terdampak. Dampaknya adalah tatanan sosial yang baru mau dibangun dengan semangat rekonsiliasi Jokowi  pasca pilpres 2019 bisa saja akan menemui banyak hambatan.

Polarisasi  yang menyertai politik identitas ini sebenarnya memiliki efek lebih menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Ia lebih merusak daripada banjir yang menggenang Jakarta dan sekitarnya saat ini. (Foto : tribunnews.com)

Sebarkan Artikel Ini:

5
Leave a Reply

avatar
5 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Ada Bahaya lebih Besar dari Banjir di Jakarta […]

trackback

[…] Baca Juga: Ada Bahaya lebih Besar dari Banjir di Jakarta […]

trackback

[…] Baca Juga: Ada Bahaya lebih Besar dari Banjir di Jakarta […]

trackback

[…] Baca Juga: Ada Bahaya lebih Besar dari Banjir di Jakarta […]

trackback

[…] Baca Juga: Ada Bahaya lebih Besar dari Banjir di Jakarta […]