Menggali Akar Masalah “Komix dan Softex” Yang Membuat Mabuk

Opini
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Keprihatinan Pater Tuan Kopong MSF tentang remaja di kampung halaman di Adonara yang sengaja merebus pembalut dan mengkonsumsi obat batuk sasetan untuk mendapatkan efek memabukan dan fly mendapat tanggapan serius.

Tulisan Pater Tuan Kopong MSF yang tayang di media ini beberapa hari lalu sepertinya membuka mata hari banyak banyak kalangan bahwa ada praktek-praktek seperti ini yang sedang menimpa anak-anak sekolah kita.

Dalam pencarian daring untuk melengkapi tulisan ini, saya sedikit kaget sebab praktek mengkonsumsi obat batuk sasetan dan minum air rebusan pembalut untuk mendapatkan efek mabuk marak terjadi di tanah air.

Kandungan dextromethorphane pada obat batuk sasetan diyakini sebagai biang kerok efek fly itu. Sebenarnya dosis dalam kemasan obat batuk sasetan yang beredar dipasaran tidak masalah jika dikonsumsi sesuai takaran atau dosis.

Baca Juga:

PBB Legalkan Ganja untuk Kesehatan, Indonesia Kapan?

Yang menjadi masalah adalah konsumsi berlebihan obat batuk sasetan inilah yang menyebabkan efek fly tersebut.

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Cimahi Ivan Eka Satya kepada jabarekspres.com (11.10.2018) mengungkapkan bahwa dextromethorphane merupakan zat rurunan dari opium atau heroin yang dinetralisir.

Dipasaran obat yang mengandung dextromethorphane sediaan tunggal sudah ditarik dari peredaran sejak 2014 lalu. Sementara obat batuk yang mengandung dextromethorphane yang beredar dipasaraan saat ini adalah sediaan campuran.

Sementara itu, efek mabuk dari air rebusan pembalut diyakini disebabkan oleh adanya jejak zat Klorin dalam pembalut.

“Bisa jadi keracunan zat kimia yang ada di dalam pembalut, misalnya klorin yang jika dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan,” kata Hari Nugroho dari BNN seperti diwartakan oleh bbc.com (9.11.2018).

Baca Juga:

Mencari Alternatif Penawar Racun Masculinity dan Femininity

Hari Nugroho menjelaskan bahwa gejala keracunan tersebut seperti mabuk dan klorin mempengaruhi kerja otak yang menimbulkan penundaan dalam proses berpikir dan akhirnya merasa fly seperti mengkonsumsi narkoba.

Seperti digambarkan oleh Pater Tuan Kopong bahwa obat batuk sasetan dan rebusan pembalut hanyalah cara yang dilakukan oleh anak-anak itu untuk “keluar dari masalah mereka”.

Efek mabuk dan fly adalah bentuk ‘pelarian’ anak-anak remaja ini. Dipahami bahwa di usia mereka kebutuhan akan penerimaan dari teman sebaya, menunjukan keunggulan, kekuatan bahkan ‘kedewasaan’ sedang dialami oleh para anak remaja.

Kebutuhan-kebutuhan seperti ini diidentifikasi oleh keterbatasan pengalaman anak-anak remaja kita, bahwa itu bisa tercukupi melalui ‘mabuk dan fly’.

Baca Juga:

Hebat; Anak Remaja sudah Merokok

Konon merokok dan mabuk adalah tanda seorang anak telah mencapai usia remaja, atau dewasa. Kalua belum bisa merokok dan mabuk maka masih anak-anak, katanya.

Anggapan inilah yang kemudian oleh Sebagian remaja kita diterjemahkan menjadi sesuatu yang berbeda.

Katakanlah “kalau mabuk arak dan tuak itu biasa, kalua mabuk rebusan pembalut dan obat batuk sasetan, itu bartu luar biasa.”

Ada kebutuhan anak-anak remaja kita yang tidak terjawab secara pas. Kebutuhan anak penerimaan, kebutuhan akan pengakuan, kebutuhaan akan aktualisasi diri mereka belum bisa dijawab oleh masyarakat kita.

Anak-anak remaja kita kemudian mencari alternatif sendiri untuk menjawab kebutuhan itu. Sayangnya alternatif yang mereka temukan ada pada “mabuk dan fly”. Seolah itu yang mebuat mereka diterima, dihargai, dan dianggap ‘ada’.

Baca Juga:

Mencegah Stunting Sekaligus Pewarisan Nilai Lewat Posyandu Remaja

Menurut saya, akar masalah ini yang harus dipecahkan segera. Bagaimana menciptakan jawaban agar ketika anak-anak mencari, mereka menemukan hanya hal-hal positif yang menjawab kebutuhan mereka.

Ciptakan ekosistem agar mereka berprestasi, segala bidang, kemudian siapkan system untuk mensupport sekaligus mengapresiasi pencapaian mereka, sekecil apapun pencapaian itu.

Ronda malam, membatasi pembelian obat batuk sasetan dan/atau pembalut tentu baik tapi tidak mengatasi akar persoalan.

Yang paling baik menurut saya adalah menciptakan ekosistem yang mengambil alih kesempatan mereka untuk mabuk dan ngefly. Bukan menghentikan melainkan memberi mereka alasan baru bahwa mereka bisa menjadi pribadi yang hebat tanpa mabuk dan ngefly.

Baca Juga:

Toxic Masculinity Tumbuh Subur Pada Lingkungan Keluarga Seperti Ini

Menyibukan mereka untuk berprestasi, memberi mereka kesempatan untuk itu kemudian kita sibuk mengapresiasi pencapaian mereka.

Jika ekosistem prestasi ini : wadah untuk menyalurkan minat dan bakat, kemudian mengapresiasi pencapaian mereka adalah cara paling tepat untuk mengalihkan mereka dari anggapan bahwa “hanya mabuk yang membuat mereka merasa hebat.”

Tentang ekosistem ini kita bisa belajar banyak dari Komunitas Baca Masdewa di Desa Watololong – Witihama. Slogan mereka “mabuk arak – jangan, mabuk aksara – boleh” bukan hanya sekedar slogan.

Komunitas Baca Masdewa telah menciptakan ekosistem yang memungkinkan anak-anak remaja di sana hanya berpikir bahwa ‘aksara’ lah yang mebuat mereka hebat. Bukan yang lain.

Baca Buku :

Mengapa “Komunitas Baca Masdewa” Harus Dimiliki Oleh Semua Desa di Flores Timur?

Karena itu aktivitas para remaja disana adalah aktivitas-aktivitas berada pada ‘dunia aksara’ dan memungkinkan semua anak-anak tumbuh dalam ‘dunia’ itu saja.

Support system yang terbangun dalam komunitas mereka memberi kesempatan kepada semua anak remaja untuk mengambil peran dalam komunitas. Ini adalah cara mereka membangun kepercayaan diri sekaligus memberi appresiasi atas pencapaian mereka masing-masing.

Prinsipnya adalah menciptakan lingkungan atau ekosistem yang membuat mereka berprestasi. Ekosistem yang mengalihkan merak dari mabuk rebusan pembalut dan obat batuk sasetan.

Foto ilustrasi dari metropolitan.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of