Eposdigi.com – Anggapan dan bahkan tuntutan masyarakat terhadap setiap laki-laki maupun perempuan agar mereka dapat berperan di dalam masyarakat dapat berubah menjadi racun yang tidak hanya membunuh seorang individu melainkan juga orang orang lain di sekitarnya.
Seorang laki-laki dituntut oleh masyarakatnya agar berperan sesuai standar masyarakat. Menjadi racun apabila standar itu memaksa seseorang untuk mengambil tindakan yang salah.
Melihat Celana Umpan dan Rambut Rebonding dari Kacamata Toxic Femininity
Misalnya, sifat cengeng dikatakan bukan sifat laki-laki. Cengeng diangap sebagai sifat yang dimiliki perempuan. Karenanya laki-laki tidak boleh meluapkan kesedihannya atau emosi negatif lainnya dengan dengan menangis.
Karena tidak boleh menangis sementara ada desakan dari dalam diri untuk segera mengeluarkan emosi negatif dalam diri seeorang. Menjadi masalah jika penyaluran emosi negatif ini dengan perilaku yang juga negatif / merusak.
Pun demikian halnya femininity yang beracun. Perempuan dituntut untuk selalu tampil cantik memesona, bisa memasak; dan semua pekerjaan di rumah lainnya. Tuntutan ini bisa menjebak perempuan agar tidak boleh bahkan mencoba melakukan sesuatu di luar tuntutan masyarakat itu.
Baca juga: Toxic Masculinity, Bias Gender Dan Konstruksi Sosial Masayarakat Patriarkis
Ini baru satu atau dua contoh kecil mengenai maskulinitas dan femininitas yang beracun. Dalam tulisan tulisan terdahulu melalui kedua topik ini, saya sudah berkali-kali menekannkan bahwa femininitas maupun maskulinitas adalah hasil konstruksi dialektis sosial masyarakat.
Sifat dan kecendrungan individu dalam masyarakat bisa menjadi sifat dan kecendrungan masyarakat secara lebih luas. Artinya individu-individu di dalam masyarakat dapat mempengaruhi sekaligus dapat dipengaruhi oleh masyarakat.
Dan proses dialketis yang telah berlangsung ratusan tahun bahkan puluhan abad ini telah membentuk bangunan/tatan sosial baru di dalam masyarakat.
Sungguh menjadi persoalan yang tidak ringan jika kemudian kita masih harus menjalani atau melakukan tuntutan konstruksi sosial masyarakat itu tanpa merenungkan konsekuensinya, padahal tidak semua hasil konstruksi itu masih relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.
Karena tidak sesuai dengan konsisi saat ini maka harus ada keberanian untuk secara sengaja meruntuhkan bangunan sosial itu, sekaligus mengupayakan secara sadar segala sumber daya untuk membangaun tatanan sosial masyarakat yang baru.
Tuntutan atau anggapan yang hari ini masih berlaku baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki, harus di perikasa ulang secara serius agar segera di identifikasi mana yang masih dibutuhkan dan mana yang harus di buang.
Membangun tatanan baru, tentu bukan hanya tanggung jawab satu dua orang saja. Melainkan tanggung jawab kita bersama.
Tatanan baru yang dibangun oleh seorang individu mungkin hanya berpengaruh pada hanya satu atau dua orang saja, namun kita bisa mempengaruhi masyarakat luar secara keseluruhan jika tatanan baru ini dilakukan dan diupayakan oleh banyak orang.
Membiasakan hal-hal baik yang baru sebagai terapi atas racun maskulinity dan femininity.
Baca juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan?
Tatanan baru ini harus mulai dibangun dari mana? Sebab keluarga sebagai unit terkecil sebuah masyarakat, maka membangun tatanan sosial kemasyarakatan yang baru pun harus dibiasakan dari rumah.
Maka pertanyaan berikut apa yang harus secara serius segera kita lakukan bersama untuk membangun tatanan hidup baru tersebut?
Pertama: Membangun kebiasaan baik mulai dari rumah.
Sudah saatnya kita mengajari anak-anak kita, dengan menjadi contoh tentang kebaikan-kebaikan. Orang tua harus menjadi contoh sekaligus panutan anak-anak nya tentang membangun kesetaraan yang sederajat antara pria, sejak dari rumah.
Anak-anak diajarkan untuk melihat, menerima dan melakukan tugas dan tanggung jawab dirumah tanpa membedakan jenis kelamin. Setiap pekerjaan di rumah adalah tanggung jawab semua penghuni rumah, tanpa melihat jenis kelaminnya.
Dan oang tua harus menjadi yang utama untuk mempromosikan sekaligus menjadi teladan. Jika anak melihat bahwa orang tua mereka di rumah dapat bekerjasama, melakukan semua pekerjaan di rumah tanpa membedakan jenis kelamin, maka hal ini jugalah yang nanti anak-anak tirukan dalam kehidupan mereka.
Kedua: Memformalkan kebiasaan baik itu di sekolah.
Kebiasaan baik yang dibangun di rumah harus diformalkan dalam aturan-aturan di sekolah. Sekolah yang memilik otoritas tertentu yang dapat memaksa setiap anak didiknya untuk melakukan hal-hal baik di rumah masing-masing.
Memformalkan kebiasaan baik dari rumah di sekolah adalah bagian dari upaya membangun kesadaran bersama sekaligus meyebarkan kebiasaan baik itu kepada lebih banyak orang di sekitar kita.
Anak-anak dapat menjalankan dan mempraktikan kebiasaan baiik itu, sebagai bagian dari proyek akademik.
Karena kebiasaan baik ini adalah proyek akademik yang memiliki kekuatan memaksa setiap anak untuk mempraktikannya.
Ketiga : Bekerjasama dalam komunitas masyarakat.
Kebiasaan baik dari rumah yang diformalkan di sekolah, harus disebar sebagai produk unggulan ke tengah-tengah masyarakat. Namun agar jauh lebih menjangkau banyak orang maka membangun komunitas-komunitas yang konsen pada perjuangan yang sama, lebih banyak diupayakan.
Baca juga: 16 Hari Tanpa Kekerasan Pada Perempuan
Ketika komunitas-komunitas di tengah masyarakat dapat menjadi arus utama untuk memromosikan kesetaraan antara pria dan wanita maka tatanan sosial baru sudah kita letakan sbagai “batu penjuru”.
Ini berarti bahwa sesunggunya kita sedang berupaya membangun dan membiasakan diri untuk menjalani konstruksi sosial masyarakat yang baru. Tentu hal ini menjadi pengobatan alternatif terhadap femininity dan maskulinity yang beracun.
Foto ilustrasi dari : detik.com
Leave a Reply