Mimpi Seorang Anak

Sastra
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com- “Kita yang sekarang adalah hasil dari masa lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang, akan menentukan siapa kita di kemudian hari. Lihatlah mereka-mereka.

Terlalu sibuk dan takut untuk mengakui kesalahan di masa lalu, dan terlalu khawatir dengan apa yang sama sekali belum terjadi. Lalu dan yang akan datang akan selalu bertabrakan di persimpangan yang bernama kepala.” Pungkas Ama kepada Eno di sebuah warung kopi dekat tempat kerja.

Selepas pulang kerja, Ama dan temannya Eno, menyempatkan diri untuk bercerita di warung kopi. Obrolan singkat sembari menertawakan para pekerja kantoran lainnya yang selalu diburu waktu.

Maklum, belum tau saja mereka karena masih belia dalam urusan kerjaan. Bagaimana rasanya dihajar habis oleh deadline, serta tumpukan pekerjaan yang menjamur setiap detiknya.

Baca Juga:

Happy International Women’s Day: Selamat Merdeka PerEMPUan

“Menjadi seperti apa di kemudian hari sudah ditentukan sejak dalam pikiranmu yang sekarang.” Pungkas Ama sedikit memberi wejangan yang membuat Kopong sedikit bingung. Maklum, usia ⅕ abad dikurangi 10 sudah beri pengetahuan demikian.

“Maksudnya kayak gimana Pak?” Tanya Kopong dengan raut wajah kebingungan.
Si Ama kemudian balik bertanya “Apa cita-cita Kopong?” “Saya ingin menjadi Dokter seperti Paman Anton. “Wah luar biasa sekali cita-citamu Kopong”

“Mengapa Kopong bercita-cita demikian?” “Karena saya senang melihat Paman Anton berpakaian rapi, dan serbah putih”
“Oww, apakah cuman itu?” Tidak juga si Pak, kan jadi dokter bisa nolong orang lain?

Memangnya menjadi selain dokter tidak bisa menolong orang lain?
“Bisa menolong si Pak.”

Baca Juga:

Bagaimana Seharusnya Orang Tua Berperilaku di Depan Anak

Lantas, apa yang membuatnya ingin menjadi dokter? Tanya Bapaknya mencoba mengusik isi kepala si Kopong”

Mungkin terlihat keren si Pak, aku suka aja melihat Paman Anton. Untuk alasan yang lain, aku belum cukup mampu untuk memahaminya. Entahlah untuk ke depannya, masih akan tetap sama atau akan berubah. 

Intinya aku suka melihat Paman memakai pakaian dokter yang serba putih.” 

Debat kusir panjang antara bapak dan anak. Mencerminkan bahwa kita akan selalu dibentuk oleh pengalaman, oleh perjumpaan-perjumpaan kita dan berbagai macam cara kita dalam merespons.

Lingkungan turut membentuk siapa saja, bagaimana posisi duduknya, bagaimana caranya dalam berbicara, bagaimana caranya berpakaian dan lain sebagainya. Semua adalah hasil dari pengalaman.

Baca Juga:

Tiga Hal Utama dalam Membingkai Masa Golden Age Anak

Tidak ada manusia yang benar-benar bebas di muka bumi ini. Selagi ada kehadiran orang lain, identitas diri kita akan selalu digadaikan dengan sesuatu di luar diri kita.

Mau selonjorin kaki di rumah, ternyata ada tamu. Mau pakai celana pendek, eh ternyata ada orang lain. Mau putar musik yang keras, ada tetangga. Akan selalu ada orang lain yang kita pertimbangkan.

Jika ingin benar-benar bebas, hiduplah di hutan. Tidak ada manusia lain. Tidak ada aturan apapun. Tidak penting apa yang harus dikenakan. Tidak penting mau mandi atau tidak.

Tidak, tidak dan tidak, karena tidak perlu ada orang lain yang dipertimbangkan. Cukup tau bagaimana cara survive di dalam hutan.

Begitupun dengan Ama, ia berusaha dengan sabar untuk menjelaskan bagaimana cara kerja setiap orang dalam membangun mimpinya. Mimpi yang mungkin tidak berani disebutkan oleh sebagian besar anak.

Baca Juga:

Selandia Baru Larang Anak Mudanya Merokok Seumur Hidup, Indonesia Kapan?

Takut ditertawakan, takut dibilang ngacoh, takut di bully dan segala macam bentuk tindakan amoral lainnya. Banyak anak takut untuk mengungkapkan mimpinya karena keberaniannya terpenjara, mengalami krisis keyakinan hingga mati kreativitasnya.

“Oke Baik Kopong. Dari ceritamu barusan, kira-kira apa saja si yang bisa kita pelajari”

“Maksudnya seperti apa si Pak”
“Bapak ini membuat saya jadi bingung”

“Coba kamu lihat Dian, kira-kira menurut Kopong apa cita-cita Dian?”
“Kan Dian Pak, bukan aku. Mana mungkin aku mengetahui cita-citanya?”

“Yahh, sebagai teman dekatnya, Kopong bisa menebak toh, kira-kira seperti apa si cita-cita Dian?”

“Kalau aku tebak si, mungkin cita-cita Dian jadi Perawat?”

“Lah, ko bisa begitu?”
Yahh, karena Ibunya perawat?

Kalau Doni?

Mungkin dia ingin menjadi guru? Toh bapaknya juga guru. Dan Doni juga sempat mengatakan senang melihat para guru di sekolah ketika mengikuti ayahnya ke sekolah.

Baca Juga:

Penelitian Membuktikan bahwa Anak yang Sukses, Mempunyai Ibu yang Bahagia

Kalau adikmu, Putri?
“Ya, masa anak kecil 4 tahun udah punya cita-cita Pak, kalaupun ada, paling cita-citanya dibeliin permen yang  banyak”
“Ko bisa?”
“ya orang dia setiap hari hidupnya selalu diisi dengan permen, apa-apa permen. Apa apa permen, permen aja permintaannya.”

“Oww begitu alasanmu?”

“Baik, jika dilihat dari cita-citamu, dan tebakanmu terkait cita-citanya Dian, Doni dan Putri, kira-kira apa yang bisa kita petik?”

“Bagaimana bercita-cita kan Pak?”
“Betul, tapi bukan itu yang mau bapak sampaikan”
“Lantas apa Pak yang bapak maksudkan?”
“Jadi seperti ini Kopong. Mimpi atau cita-cita seseorang itu biasanya sejauh pengalamannya. Lihatlah dirimu. Kopong bisa bercita-cita menjadi dokter karena Kopong punya pengalaman melihat nana Anton, yakni menjadi dokter yang berpakaian putih dan rapi.

Itulah yang membuat Kopong tertarik.
Kalau Kopong tidak menjumpai Nana Anton, mungkin Kopong tidak akan bercita-cita menjadi seorang Dokter. Karena Kopong tidak mempunyai pengalaman itu.

Terkait cita-cita Dian, Doni dan Putri yang sudah kamu  gambarkan sedemikian rupa, mungkin hal ini dipengaruhi oleh pengalaman mereka.

Baca Juga:

Waspadai Stress pada Anak Kecil, Ini Gejala dan Cara Mengatasinya

Yakni Dian dengan ibunya yang perawat, Doni dengan Bapaknya sebagai guru dan  Adikmu dengan pengalamannya bersama permen.

Sebenarnya bapak sudah menanyakan Dian, Doni dan Putri terkait cita-cita mereka.

Dian mengungkapkan ingin menjadi perawat atau dokter. Menjadi perawat ini dipengaruhi oleh pengalaman Dian melihat ibunya, dan menjadi Dokter ini dipengaruhi oleh pengalaman melihat para dokter ketika menemani ibunya ke rumah sakit.

Doni bercita-cita menjadi guru karena setiap hari dia hidup dengan bapaknya yang seorang guru. Dia mempunyai pengalaman mengetahui seperti apa, dan bagaimana menjadi seorang guru.

Begitu pula dengan adikmu Putri, kemarin bapak menanyakan kepada Putri terkait cita-citanya. Putri pun menjawab bahwa cita-citanya ingin mempunyai mesin yang setiap hari bisa mengeluarkan permen. Mimpi adikmu ini dipengaruhi oleh pengalamannya bersama Ibumu. 

Ibumu kan sering tu memberi tontonan youtube kepada adikmu terkait mesin-mesin otomatis yang mampu mengeluarkan minuman sari buah. Mungkin karena hal itu yang mempengaruhi adikmu bercita-cita ingin memiliki mesin pencetak permen. Ditambah lagi dengan kesukaannya terhadap permen.”

Baca Juga:

Manfaat Dongeng bagi Perkembangan Kepribadian Anak

“Oww, Iya juga ya Pak. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba menunjukkan kesetujuan serta pemahamannya terhadap apa yang disampaikan oleh ayahnya.”

berarti, cita-cita itu mengikuti orang-orang terdekat ya Pak?” Tanya Kopong berusaha untuk menggali lebih dalam.

Wahh, tidak juga. Intinya bapak mau sampaikan bahwa menjadi seperti apa, itu ditentukan dari pengalaman dan caramu dalam berpikir.
Jadi perbanyaklah pengalamanmu, dan perbaiki cara berpikirmu.

Lingkungan itu penting, karena turut mempengaruhi keinginan kita. Jadi berhati-hatilah dengan lingkungan.

Hidup dengan orang-orang yang sukanya minder, kemungkinan kita juga akan menjadi minder.

Intinya adalah, lingkungan itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita, jika kita terus berada pada lingkungan yang toxic, maka kita juga bisa tertular dan menularkan.

Foto:nggalek.co

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of