Eposdigi.com – FOMO maupun JOMO adalah dua istilah yang sama-sama menggambarkan keterikatan kita dengan dunia virtual; dengan gawai. JOMO dan FOMO menegaskan bahwa dunia virtual tidak lagi “maya”. Yang virtual adalah kenyataan dalam realitas hubungan manusia satu dengan yang lainnya, saat ini.
Fear of Missing Out (FOMO) adalah gambaran akan perilaku kita yang sangat sulit untuk tidak terhubung dengan media sosial virtual. Sebagai sebuah ‘kelainan mental’, FOMO merupakan ketakutan berlebihan apabila meninggalkan atau tertinggal sesuatu yang baru, biasanya yang lagi trend.
Baca Juga:
Ketakutan akan ketinggalan yang sedang trendy ini, diikuti dengan keinginan kuat untuk menjadi bagian dari yang sedang trend. Tidak hanya sebagai penggembira yang bersorak sorai, melainkan menjadi pelaku utama, trendsetter yang dikagumi dan diikuti.
FOMO adalah sebuah kebutuhan akan perhatian yang akut, sebuah kebutuhan akan pengakuan dan penerimaan yang ingin diperoleh seseorang terutama dari dunia virtual. Semua standar kebahagian diukur berdasarkan pada apa yang ia lihat di media-media sosial.
Baca Juga:
Penerimaan dan pengakuan yang membahagiakan ini seolah hanya dia peroleh dari dan melalui media sosial. Dengan tetap mengakses dunia maya itu melalui gawai di tangannya, karena itu melepaskan gawai dan jauh darinya adalah sebuah kehilangan besar yang menakutkan.
FOMO menjadi masalah serius karena sejatinya semua manusia saling terhubung, tidak serta merta hanya melalui media sosial. Kebutuhan untuk dekat secara fisik, berbagi cerita secara langsung, kebutuhan untuk mendengarkan adalah sejatinya identitas manusia sebagai makhluk sosial.
Baca Juga:
FOMO seolah mencerabut manusia dari dirinya sendiri. Karena hal inilah yang barangkali kemudian melatari hadirnya JOMO : Joy of Missing Out.
JOMO bukan merupakan obat anti FOMO. JOMO tidak dimaksud untuk memberantas hingga tuntas, membebaskan seseorang dari keterikatannya dengan dunia virtual, media sosial lewat gawai.
Lebih tepat, menurut saya, JOMO adalah sebuah bentuk kompensasi yang meletakan kebutuhan akan keterhubungan dengan orang lain secara daring, dalam porsi yang pas.
Baca Juga:
JOMO adalah sebuah alternatif cara hidup dalam keterhubungan dengan dunia internet, tanpa harus terikat dan erat terlekat, menghamba dan didikte semua hal daring.
Joy of Missing Out bukan serta merta melepaskan semua hal yang berkaitan dengan dunia internet, dan melarikan diri, kembali ke dunia luring, melupakan begitu saja semua sisi baik yang bisa dilakukan dengan gawai di tangan.
JOMO lebih kepada memanfaatkan gawai untuk berselancar secara daring, untuk mereguk semua kesempatan yang melejitkan kemanusiaan, menjadi semakin manusiawi. JOMO adalah sebuah antitesa, ketika keterikatan pada dunia maya telah menjadi penyakit mental akut.
Baca Juga:
China Proaktif Melindungi Remajanya dari Dampak Buruk Game Online
JOMO adalah sebuah penerimaan yang menggembirakan hati, jika nyatanya seseorang tertinggal sesuatu yang baru yang sedang trending di media sosial.
“Joy of Missing Out, sesuai namanya, menikmati melewatkan berbagai hal yang tidak ingin kita lewatkan,” kata Psikolog Adi Dinardinata, seperti dikutip kompas.tv.
Dengan demikian, yang diungkapkan Adi adalah porsi yang paling pas untuk terus terhubung dengan orang lain secara daring, ketika hubungan itu membuat seseorang semakin produktif, semakin manusiawi.
Baca Juga:
Jika FOMO telah mencerabut seseorang dari dirinya sendiri, maka JOMO adalah cara hidup baru untuk terus enjoy berselancar dalam dunia virtual, semata-mata untuk terus memanusiakan dirinya dan orang lain.
Foto ilustrasi dari dreamstime.com
Leave a Reply