Eposdigi.com- Dalam pasal 1 Deklarasi PBB Tahun 1993 tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan disebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Oleh karena itu segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang dapat menimbulkan penderitaan terhadap perempuan baik fisik maupun mental psikologisnya harus segera diakhiri.
Dan seorang perempuan tidak boleh lagi mengalami ancaman, tindakan tertentu berupa pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang yang merugikan dirinya baik di ruang publik maupun dalam kehidupan pribadinya.
Sebab kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan secara substantif merupakan pelanggaran berat atas hak asasi dan kebebasan manusia.
Menjelang penghujung tahun 2021 kita dikejutkan oleh berita menghebohkan tentang kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru/pendidik bahkan sebagai pimpinan di sebuah pondok pesantren dengan sejumlah korban perempuan peserta didiknya.
Sesungguhnya aib yang melibatkan guru dan peserta didiknya merupakan sebuah penghinaan dan pelecehan luar biasa atas profesi guru di Indonesia.
Betapa tidak seorang guru atau pendidik yang mestinya menjadi teladan dan basis persemaian benih kebaikan, berupa nilai-nilai etika dan moral bagi penguatan benteng pembangunan peradaban manusia, justru berubah menjadi predator kekerasan seksual.
Baca juga: Perempuan (Ina Wae) Adonara Adalah Berkat
Tindakan ini mengabaikan dan menghancurkan nilai kehormatan dan kesucian manusia yang tengah dibangunnya sendiri. Sungguh sebuah tamparan keras dan memalukan bagi dunia pendidikan di negeri ini.
Bagaimana mungkin seorang pendidik bisa melakukan hal keji itu, apakah karena kedudukan seorang murid (perempuan) dianggap lebih lemah dan tak berdaya di hadapan guru (laki-laki)? Atau jangan-jangan karena ada anggapan di masyarakat bahwa seorang murid atau anak didik harus patuh pada guru yang dianggap sebagai orang tuanya.
Pandangan sosial seperti ini merupakan warisan budaya patriarki yang mestinya dikoreksi secara serius dan berhati hati karena secara faktual telah memperlakukan perempuan pada posisi subordinasi dengan laki-laki.
Tindakan ini sekaligus sebagai aktualisasi dari ketimpangan sejarah panjang dari relasi kuasa yang timpang antara kaum laki-laki dan perempuan.
Baca juga: Untuk Para Perempuan Adonara Yang Perkasa
Akibatnya terjadi dominasi, diskriminasi dan kerugian luar biasa terhadap kemajuan kaum perempuan selama berabad-abad.
Dalam perspektif budaya patriarki perempuan masih dilihat dan ditempatkan sebagai obyek semata sehingga justru sangat berbahaya dan merugikan kaum perempuan.
Seperti yang dialami para peserta didik, apabila ada oknum guru yang dengan sengaja menyalahgunakan posisinya sebagai laki-laki dan guru untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.
Pemberitaan terhadap kasus kekerasan seksual telah menjadi trending topic karena mendapat simpati dan dukungan luas publik, sehingga makin terkuaknya berbagai kasus serupa di sejumlah wilayah tanah air yang selama ini tertutup rapat.
Aib sosial ini ibarat fenomena puncak gunung es yang baru tampak sebagian kecil dipermukaan tetapi sesungguhnya masih terlalu banyak kasus kekerasan seksual lain yang sudah berlangsung lama di tengah masyarakat tetapi belum sempat dilaporkan ke aparat penegak hukum dan terekspos oleh media secara luas.
Data dari Komnas Perempuan tahun 2018-2020 dan Kementerian Perempuan tahun 2021 mengkonfirmasi betapa masifnya jumlah korban kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual, berikut:
Maraknya kasus kekerasan perempuan dan anak yang makin merusak moral manusia di abad ini telah mengingat kita pada kisah Sodom dan Gomora dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yaitu Kitab Kejadian, 19:5 dikatakan bahwa:
Mereka berseru kepada Lot, Di manakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami supaya kami pakai mereka atau supaya kami mengadakan hubungan seks dengan mereka.
Sodom dan Gomora merupakan dua kota kuno yang menjadi simbol kegelapan dan kehancuran peradaban, di mana dekadensi moral manusia terus dirawat dan dilanggengkan oleh masyarakatnya.
Baca juga: Mengapa Korban Kekerasan Seksual (Lebih) Memilih Bungkam?
Kemudian Tuhan murka dan menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari Tuhan, dari langit dan ditunggangbalikkan Nyalah kota-kota itu dan lembah Yordan dan semua penduduk kota-kota serta tumbuh-tumbuhan di tanah, (Kejadian,19:24-25).
Kasus kekerasan seksual yang dialami manusia saat ini juga merupakan cerminan dari betapa bobrok dan brutalnya perilaku manusia yang makin mengarah pada keruntuhan peradaban manusia.
Manusia yang berakal budi mestinya harus menjadikan setiap peristiwa buruk sebagai suatu pelajaran berharga bagi semua pihak terutama para orang tua dalam mendidik, membesarkan dan mengawasi anak-anak kapanpun dan dimanapun berada agar tak terjerumus dalam perilaku negatif.
Baca juga: Predator Seksual Anak Merajalela, Kita Kudu Apa?
Sekaligus dapat diambil hikmah dan solusinya tanpa harus menunggu campur tangan dan murka dari Tuhan atas ciptaanNya.
Dengan demikian RUU tentang Tindak Kekerasan Seksual yang sudah dibuat mestinya menjadi prioritas utama dan komitmen politik pemerintah dalam pembahasannya di DPR agar secepatnya dapat ditetapkan menjadi undang-undang.
Selain itu sejumlah peraturan menteri seperti Permen PPPA No. 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak dari Kekerasan berbasis Gender dalam Bencana dan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi harus menjadi media yang ampuh bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan tindakan pencegahan dan segera memutus tuntas mata rantai kebrutalan perilaku menyimpang dari manusia zaman ini dengan berbagai langkah dan tindakan nyata di lapangan.
Rambut Rebonding, Celana Umpan dan Martabat Perempuan Adonara
Itu berarti para pelaku kejahatan kekerasan seksual harus dihukum seberat-berat dan seadil-adilnya sesuai prosedur hukum yang berlaku dan tak boleh lagi ada kata toleran dan pembelaan sosial terhadap kejahatan moral dengan alasan apapun.
Sedangkan bagi para korban, Negara wajib memberikan perlindungan dan pemulihan terhadap fisik dan mental spiritualnya serta memastikan bahwa setelah menjalani masa pemulihan korban dapat menjalankan kehidupannya secara normal di tengah masyarakat.
Sumber foto: Suara.com
Leave a Reply