Eposdigi.com – Isu perubahan iklim telah mengemuka di skala global selama lebih dari tiga dekade. Masalah perubahan iklim merupakan global disaster, magnitudenya seperti pandemi Covid-19, tidak ada satupun negara yang terbebas dari ancaman yang ditimbulkannya. Ancaman tersebut lebih berbahaya dibandingkan dengan isu keamanan dan isu ekonomi.
Perubahan iklim disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam, melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Pembangunan sektor ekonomi menyebabkan meningkatnya suhu global.
Ini berdampak serius terhadap iklim dunia, seperti penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, gas alam, minyak serpih, bitumen, pasir tar, dan minyak berat), peningkatan jumlah kendaraan bermotor, dan pembukaan lahan dengan membabat hutan secara besar-besaran.
Dampak Itu Nyata
Sejak tahun 2000, suhu global telah naik sebesar 1,1 derajat celsius sebagai akibat terus meningkatnya jumlah gas rumah kaca.
Berbagai dampak sudah dirasakan seperti perubahan pola cuaca, es kutub mencair sehingga permukaan air laut naik, banjir bandang, kekeringan dan kebakaran hutan, pergeseran habitat dan populasi satwa, serta ketidakseimbangan ekologi lainnya.
Selain itu, fenomena ekstrem terjadi, seperti gelombang panas hingga suhu udara lebih dari 50 derajat celcius di California dan Italia, banjir bandang di Malaysia, Tiongkok, Belgia dan Jerman. World Meteorological Organization (2021) menyatakan gletser Puncak Jaya di Papua yang merupakan satu-satunya gletser tropis di Asia, diprediksi akan menghilang dalam 5 tahun ke depan.
Sampai tahun 2050, jika tidak terkendali, diperkirakan kenaikan suhu global diatas 1,5 derajat celcius. Konsekuensinya, akan terjadi banjir dan tenggelamnya kawasan-kawasan pesisir. Penelitian US Agency for International Development (USAID), menyatakan bahwa kenaikan suhu global diperkirakan akan menenggelamkan sedikitnya 2.000 pulau kecil pada tahun 2050.
Pada tahun-tahun berikutnya, dikhawatirkan sekitar 5,9 juta orang terkena dampak banjir pesisir. Efek terbesar akan sangat terasa di kawasan Asia karena banyaknya masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan pesisir.
Kontributor Gas Rumah Kaca
Semua negara punya andil sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca penyebab naiknya suhu global. Indonesia masuk dalam sepuluh negara yang menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sejumlah negara seperti Jepang, Afrika Selatan, Korea Selatan, Bhutan, Fiji dan Kostarika menargetkan Net Zero Emission di tahun 2050.
Posisi Indonesia sangat strategis dalam tata kelola iklim, dilihat peranan dan partisipasinya dalam menangani risiko perubahan iklim, termasuk emisi karbon.
Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), pada tahun 2030 ditetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca untuk Indonesia, sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.
Pada tahun 2050 diperkirakan sebanyak 95% energi baru terbarukan yang dimanfaatkan bersumber dari tenaga sinar matahari, tenaga air, dan bioenergi.
Kekosongan Narasi Perubahan Iklim
Narasi tentang perubahan iklim belum banyak terdengar. Kampanye di media sosial terkait edukasi isu-isu perubahan iklim dan lingkungan hidup juga sangat minim.
Kekosongan narasi perubahan iklim juga linier dengan hasil survei Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada bulan April 2021, dimana perubahan iklim tidak termasuk topik yang dibicarakan di dalam masyarakat umum. Selain itu, di sekolah dan di bangku kuliah masalah perubahan iklim dan lingkungan hidup juga belum menjadi isu utama.
Peran Dunia Pendidikan
Sampai saat ini, dunia terus bergerak mencegah kenaikan suhu global agar tidak melebihi ambang batas aman, sehingga implikasi katastropik dapat dihindarkan.
Laporan terakhir Pendidikan Global UNESCO Monitoring menyebutkan baru 50% negara yang menekankan perubahan iklim dalam undang-undang, kebijakan, atau rencana pendidikan di tingkat nasional. Hanya 75% negara yang memuat topik perubahan iklim dalam kerangka kurikulum nasional.
Baca Juga : Ile Boleng, Siklon Seroja dan Athroposophy
Mulai tahun 2020, pendidikan perubahan iklim telah menjadi wajib di Italia terintegrasi dalam pelajaran kewarganegaraan. Indonesia memperbarui kerangka kurikulum nasional 2013 yang memasukkan iklim sebagai keterampilan dasar dalam kerangka sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dimiliki siswa.
Kurikulum Adaptif
Kurikulum harus segera beradaptasi dengan mengambil langkah-langkah strategis untuk menemukan jenis dan metode pendidikan yang tepat dalam menghadapi masalah perubahan iklim secara konseptual, strategis dan efektif.
Pertama, integrasi pendidikan perubahan iklim ke dalam kurikulum. Pendidikan perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang relevan diantaranya Geografi, IPA, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya.
Bahan ajar perubahan iklim dapat dikembangkan dari materi yang disusun Kemdikbud bersama Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika.
Cakupan materi dapat meliputi atmosfer, cuaca iklim, musim, gas rumah kaca, pemanasan global, perubahan iklim dan dampaknya, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, jejak karbon, konservasi, perilaku ramah lingkungan dan nilai-nilai kearifan lokal dalam pendidikan.
Kearifan lokal yang dimaksud adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa nilai-nilai dan norma-norma, kepercayaan ataupun tradisi mitos, ritual-ritual, adat, kesenian, karya sastra, simbol-simbol, dan peraturan.
Kedua, pendekatan saintifik. Dalam proses pembelajaran siswa harus belajar tentang aspek ilmiah, sosial dan etika dari perubahan iklim. Perubahan iklim yang sedang terjadi perlu disikapi dengan memperdalam pemahaman tentang proses terjadinya dengan pendekatan saintifik, baik penyebab maupun dampaknya terhadap manusia dan lingkungan.
Baca Juga: Mitos Dan Gunung
Dengan pemahaman tersebut diharapkan dapat direncanakan upaya penyesuaian (adaptasi) dan pencegahannya (mitigasi) dengan tepat. Untuk itu, guru harus diadakan pelatihan praktik membelajarkan pendidikan perubahan iklim serta disediakan materi dari berbagai sumber belajar.
Ketiga, model pembelajaran project base learning. Lewat pembelajaran berorientasi proyek, siswa diberikan tugas untuk bekerja kelompok mencari solusi, ide atau gagasan atas masalah nyata di lingkungan sekitarnya. Siswa distimulasi melakukan aktivitas bersama dan mengeksplorasi informasi dari berbagai sumber belajar.
Guru terus mendampingi agar kerja sama tim benar-benar berjalan. Diakhir penugasan, siswa memaparkan ide atau gagasan dari hasil kerja tim. Berikutnya dilakukan dokumentasi hasil karya siswa dalam sebuah galeri digital.
Dari rangkaian aktivitas mengerjakan proyek, pengetahuan siswa mengenai krisis iklim akan meningkat, berlatih berkolaborasi, dan siswa mampu menunjukkan kompetensi sikap peduli terhadap lingkungan. Bagian penting lainnya adalah timbulnya rasa senang pada siswa selama mengikuti pembelajaran.
Keempat, praktik baik. Pendidikan yang dilakukan juga harus dapat mengajarkan hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya memasukkan nilai-nilai kesadaran lingkungan hidup pada tiap siswa lewat pembelajaran yang dijalani, membangun kebiasaan-kebiasaan perilaku prolingkungan dan praktik baik.
Proses pembelajaran harus lebih menekankan pada praktik nyata, melalui berbagai aktivitas pembelajaran dengan dominasi praktik dibanding teori. Pemanfaatan teknologi melalui platform digital dan lingkungan sekitar sekolah sebagai sumber belajar akan membantu mendekatkan materi pembelajaran dengan dunia siswa.
Kegiatan pendukung seperti aktif mengikuti aksi lingkungan, ramah lingkungan sebagai gaya hidup, membangun jejaring dengan komunitas peduli lingkungan, pengembangan green leadership, dan mengikuti perlombaan terkait lingkungan, dapat menjadi alternatif dan penyemangat dalam pengelolaan isu-isu perubahan iklim dan lingkungan hidup di sekolah.
Melalui kurikulum yang adaptif terhadap masalah perubahan iklim dan lingkungan hidup, harapannya sekolah bukan sekedar menuntaskan kurikulum, namun utamanya agar sikap dan perilaku ramah lingkungan menjadi habituasi bagi siswa dan seluruh warga sekolah secara berkelanjutan.
Penulis adalah Kepala SMA Karangturi Semarang, Doktor Ilmu Lingkungan UNDIP Semarang, Penulis Buku “Strategi Pengembangan Sekolah Adiwiyata Kota Semarang”, HP: 08157743956 email: susena@karangturi.sch.id
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis. / Foto : suara.com
Leave a Reply