Eposdigi.com – Saat ini, siapakah yang masih asing dengan uang elektronik? Mungkin hanya sebagian kecil orang yang belum mengenalnya tetapi paling tidak pernah mendengarnya.
Harus diakui, eksistensi uang digital mampu perlahan menggeser penggunaan uang kartal alias uang tunai. Lihat saja sekarang, banyak sekali transaksi-transaksi digital yang ditawarkan baik oleh para pelaku bisnis, bank, maupun jasa pengelola keuangan lainnya.
Go-pay, Ovo, dan Link Aja adalah beberapa contoh layanan uang digital berbasis e-wallet (dompet digital), yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Berbagai kemudahan yang ditawarkan transaksi non tunailah yang memicu peningkatan penggunaan uang digital.
Baca juga: Apa saja Uang Elektronik yang berlaku di Indonesia?
Pada April 2021 BI mencatat nilai transaksi uang elektronik yang mencapai Rp22,8 triliun, atau tumbuh 30,17% (yoy) dan volume transaksi digital banking meningkat 60,27% (yoy), atau sebesar 572,8 juta transaksi.
Ini seolah menjadi pertanda bagi nasib uang tunai. Mungkinkah suatu hari nanti, uang digital akan menjadi alat tukar dalam negeri? Terlalu dini untuk menyimpulkan namun bukan berarti tidak mungkin.
Di tengah pandemi covid-19 pertumbuhan uang digital kian melesat menarik kuat akan kehadiran kripto. Memang ini masih menjadi pro dan kontra di Indonesia lantaran kripto tidak dianggap sebagai alat pembayaran yang sah oleh BI dan OJK.
Hal ini juga sesuai dengan UU No.7/2011 yang menyatakan rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia. Namun, hal ini tidak bisa membendung maraknya perdagangan kripto sekali pun diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan sebagai aset komoditi.
Baca juga: Boy Sulimas, S.H, M.H & Associates Somasi Bank Permata
Mungkinkah pemerintah melihat ini sebagai ancaman sekaligus peluang? Kripto merupakan aset komoditi yang dapat diperjualbelikan di bursa berjangka walau bukan sebagai alat pembayaran yang sah.
Rencananya kripto akan dikenakan pembebanan biaya pajak. Sebaiknya pemerintah membuat skema yang mapan untuk pembebanan pajak ini. Karena, jika dilihat dari keberadaannya, kripto dapat menjadi mata uang bernilai tukar barang/ jasa dan juga bernilai investasi.
Meningkatnya transaksi non tunai memicu tren penggunaan uang digital. Dalam survey Bank for International Settlement (BIS) menjelaskan sebanyak 80% dari 66 bank sentral melakukan pendalaman CBDC.
Baca juga: Penerapan Manajemen Perubahan Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja UMKM Di Era Pandemi Covid-19
Tercatat, 40% bank sentral diantaranya telah menjajaki tahap eksperimen (proof of concept) dan 10% bank sentra mulai maju ke tahap pengembangan (pilot project). Berbeda konsep dengan kripto, CBDC diterbitkan dan dikelola langsung oleh pemerintah.
Alih-alih untuk mendorong digitalisasi ekonomi, Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Sepertinya hal ini tidak berlebihan, mengingat permintaan uang tunai dunia menurun, maka kita perlu menyesuaikan diri dengan perubahan digitalisasi.
Bisa jadi ini adalah peluang komoditas karena Indonesia hanya memiliki satu nilai tukar, yaitu Rupiah. Rasanya langkah ini juga baik untuk mengendalikan kripto yang semakin tidak terbendung masuk Indonesia.
Bisa dibayangkan, jika kripto suatu saat menduduki kedaulatan moneter BI sebagai bank sentral, maka tentu sebagai rakyat kitalah yang akan terdampak risiko ketidakstabilan keuangan.
Baca juga: Hati-hati! Copet Mengintai Dompet Digital Anda
Sangat mudah bagi uang digital bergerak cepat karena dapat berbaur dengan platform e-commerce, media sosial, dan game. Namun, uang digital juga sangat rentan terhadap privasi, peretasan, dan pastinya terhadap suku bunga aset.
Apakah Indonesia sudah siap untuk perubahan ini? Wacana uang digital Rupiah memang bagus mengikuti tren inovasi keuangan. Tetapi perlu diingat, hal ini bukan tanpa risiko.
Sebaiknya pemerintah mesti berhati-hati dalam meluncurkan uang digital, tidak perlu terburu-buru sebab hal ini tentu akan memiliki pengaruh pada stabilitas keuangan. Harus ada konsep yang matang dari segi risiko, manfaat, dan aturan mainnya.
Foto: News.detik.com/Penulis adalah mahasiswi Program Studi Manajemen, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
[…] Baca juga: Inovasi Rupiah, Mungkinkah? […]