Eposdigi.com – Peningkatan kualitas SDM secara terus menerus dalam menata pelayanan publik merupakan hal yang amat esensial bagi penguatan kapasitas birokrasi pemerintah.
Karena unit pelayanan publik adalah pusat pertemuan langsung antara aparatur pemerintah dengan masyarakat dan kinerja pelayanannya menjadi titik strategis untuk membangun kepercayaan publik pada pemerintah.
Bahkan perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi indikator utama dalam menilai sejauh mana efektifitas tata kelola pemerintahan itu dijalankan untuk melayani kepentingan masyarakat.
Itu sebabnya pengadaan SDM dalam bentuk apapun untuk mengisi formasi dalam suatu bidang tugas pemerintahan harus tetap berdasarkan pada prosedur peraturan perundang-undang yang berlaku.
Baca Juga: Gaya Gubernur NTT Memimpin dan Tantangan Kepemimpinan era Industri 4.0
Mengabaikan peraturan legal formal dalam proses rekrutmen pegawai baik ASN maupun Non ASN merupakan tindakan abuse of power yaitu suatu tindakan penyalagunaan kekuasaan dalam bentuk penyimpangan dalam jabatan atau tindakan melawan hukum yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.
Isu merebaknya pengadaan tenaga kontrak (teko) di sejumlah instansi Pemerintah Daerah Provinsi NTT sebagaimana diberitakan media VoxNtt.com, berturut-turut 3/3/201, 8/3/2021 dan 9/3/2021.
Proses rekrutmen tenaga kontrak ini disinyalir telah dilakukan secara diam-diam dalam jumlah yang diperkirakan mencapai 400-an orang dan sudah diperkerjakan sejak bulan Januari tahun 2021, dan anehnya tak ada satu pejabatpun di lingkungan Pemprov maupun DPRD Prov NTT yang buka suara, semua bungkam seribu bahasa terkait kasus ini.
Karena itu ada dugaan kuat bahwa sebenarnya ada sejumlah anggota DPRD Provinsi NTT ikut terlibat dalam kerjasama proses perekrutan ini.
Baca Juga: Meningkatnya Kasus Kematian Buruh Migran: Publik NTT Menunggu Langkah Konkrit Gubernur dan DPRD NTT
Pada hal sebagai anggota dewan perwakilan rakyat di daerah ini yang telah dipilih dan digaji dengan uang rakyat, mestinya tahu diri dan berkewajiban penuh menjalankan fungsinya secara optimal dan siap bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Publik bertanya-tanya sejauhmana fungsi kontrolnya atas penyelenggaraan pemerintah daerah saat ini. Apakah fungsi kontrolnya sudah tumpul terhadap pemerintah karena ikut terjebak dalam permainan kekuasaan birokrasi?
DPRD mestinya merespon dengan cepat bila ada pertanyaan publik terkait isu kontroversial mengenai rekrutmen tenaga Non ASN yang telah menjadi konsumsi publik.
Max Weber dalam gagasan tentang tipe ideal birokrasi telah mengingatkan agar aparat birokrasi harus bekerja profesional dalam melayani rakyat, patuh pada norma yang berlaku dan bukan pada kekuasaan semata.
Dalam kenyataan aparat birokrasi dan para politisi malah terperangkap dalam kepentingan pragmatis yang jauh dari kehendak publik, pada hal dua lembaga terhormat ini mestinya dapat bersinergi secara positif guna mendorong dan mempercepat kesejahteraan warganya.
Baca Juga: Gubernur NTT: Layanan Perizinan Harus Berbenah
Merujuk pada PP No. 48 Tahun 2005 Pasal 8 jo. PP No. 43 Tahun 2007 dan Surat Edaran Mendagri No. 814.1/169/SJ Tanggal 10 Januari 2013 Tentang Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer bagi Gubernur dan Bupati/Walikota se – Indonesia serta ditetapkannya PP No. 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja, maka setidaknya ada hal-hal urgen yang harus disampaikan kepada publik sebagai berikut:
PP No. 49 Tahun 2018 pada Bab XIII Larangan, Pasal 96 : Ayat (1) PPK dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN.
Ayat (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK.
Ayat (3) PPK dan pejabat lain yang mengangkat pegawai non PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca Juga: Masih ada instansi rawan pungli di NTT
Dengan ditetapkannya PP No. 49 Tahun 2018, maka sejatinya seluruh Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia dilarang mengangkat Pegawai Non ASN dan /atau Non PPPK, Tenaga Honorer atau Tenaga Kontrak lainnya, temasuk PTT dan GTT.
Hal itu berarti kebutuhan tenaga pada Organisasi Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah daerah dapat dipenuhi secara bertahap melalui mekanisme pengadaan Aparatur Sipil Negara (ASN dan PPPK), sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi UU nya sudah sangat jelas dan tegas melarang pejabat publik di daerah melakukan rekrutmen terhadap tenaga kontrak.
Berkaitan dengan hal ini Pakar Hukum Tata Negara asal Universitas Nusa Cendana Jhon Tuba Helan, secara tegas mengatakan bahwa perekrutan tenaga kontrak oleh Pemerintah Provinsi NTT ilegal dan masuk kategori pelanggaran terhadap konstitusi., VoxNtt.com, (08/03/2021);
Dengan demikian nyatalah bahwa tindakan sejumlah pejabat publik tersebut harus dibatalkan demi hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Baca Juga: Menanti realisasi janji politik anggota DPRD NTT periode 2019-2024
Kini publik NTT menanti klarifikasi dan berharap ada transparansi di tubuh pemerintah daerah dengan membuka data sejelas-jelasnya dihadapan publik atas problem krusial ini.
Apabila benar para pejabat di OPD telah merekrut tenaga kontrak sebanyak 400-an orang sejak Januari tahun 2021, maka pertanyaan kemudian adalah apakah ada payung hukum lain yang mengatur tindakan pejabat birokrasi merekrut tenaga kontrak saat ini?
Pertanyaan lanjutan dari manakah pos anggaran diambil oleh bendahara untuk membayar gaji para tenaga kontrak sebanyak itu ?
Apabila tindakan pemerintah ternyata bertentangan dengan UU yang berlaku, maka secara bijak dan terhormati mengakui kesalahannya di depan publik dan bersedia mencabut kembali keputusannya.
Kemudian oknum-oknum yang terlibat dalam masalah ini harusnya diproses dan ditindak secara hukum, karena keputusanya telah merugikan keuangan Negara dan kepentingan publik.
Foto: nusabali.com
Leave a Reply