Eposdigi.com – Beberapa tahun lalu, dalam sebuah bincang-bincang bersama anak muda Lamaholot – Bali, Wakil Bupati Flores Timur Agus Boli saat itu mengungkapkan bahwa sudah ada lebih dari 40 BUMDes yang beroperasi di desa-desa di Flores Timur.
Kalim Agus Boli saat itu, bisa dengan sangat mudah kita verifikasi saat ini. Dari lebih dari 40 BUMDes tersebut berapa banyak yang masih bertahan hingga saat ini?
Berapa banyak yang benar-benar dapat mempertahankan usahanya? Berapa banyak BUMDes yang sudah bisa meningkatkan Pendapatan Asli Desa-nya masing-masing?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak harus dijawab, namun butuh direfleksikan lebih dalam. Mengapa butuh direfleksikan lebih dalam?
Pertama; Flores Timur memiliki kearifan lokal bernama Gemohing. Filosofi ini mengharuskan masyarakat Flores Timur dan Masyarakat Lamaholot pada umumnya untuk mengesampingkan ambisi pribadi demi kesejahteraan bersama.
Baca Juga:
Apalagi Gemohing selalu dilandasi sekaligus dijiwai oleh semangat gelekat. Tidak hanya kesejahteraan bersama anggota gemohing, gelekat menjadikan semangat gemohing sebagai alat untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat banyak, baik anggota gemohing maupun bukan anggota gemohing.
Ini berarti bahwa, seharusnya lembaga-lembaga ekonomi yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat banyak lebih mudah tumbuh subur di Flores Timur. sebab lembaga ekonomi produktif yang menjadikan kesejahteraan bersama sebagai tujuan usahanya sudah sejalan dengan filosofi Gemohing dan Gelekat.
Kedua: BUMDes adalah perintah undang-undang yang harus dipatuhi oleh pemerintah, dari pusat hingga ke pelosok-pelosok desa. Karena BUMDes adalah perintah undang-undang maka Porsi APBN untuk membiayai nya tidak bisa dibilang kecil.
Anggaran Dana Desa yang dialokasikan ke BUMDes adalah kewajiban sebagai amanat dari undang-undang yang harus dilakukan oleh pemerintah desa. Tidak oleh ditolak. Tidak boleh disangkal.
Baca Juga:
Dari dua alasan ini saja, seharusnya Flores Timur memiliki kisah sukses BUMDes yang memiliki reputasi nasional, bila perlu sudah menjadi pemain global. Kenyataannya?
Saya berharap bahwa digiers yang berada di Flores Timur bisa memunculkan BUMDes-BUMDes di Flores Timur yang hingga hari ini bisa eksis sebagai entitas usaha produktif, yang bisa menjadi contoh baik buat desa-desa lain se-kabupaten Flores Timur
Kini, pemerintah pusat menginstruksikan pembentukan Koperasi Merah Putih di desa-desa. Tidak tanggung-tanggung. Koperasi Merah Putih atau KMP merupakan ‘proyek’ garapan bersama lintas menteri.
Artinya bahwa KMP pun sudah memiliki porsi anggaran yang tidak sedikit yang digelontorkan oleh pemerintah pusat ke desa-desa.
Baca Juga:
SDM dan Menyemai Asa Sinergi BUMDes dengan Koperasi Merah Putih
Seperti BUMDes, kini KMP pun mulai banyak dibentuk di desa-desa. Padahal semua tahu bahwa keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka.
Para calon anggota koperasi secara sukarela, yang merasa membutuhkan sebuah unit usaha bersama, yang dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka, usaha bersama ini mereka bentuk.
Karena usaha bersama ini berasal dari kebutuhan mereka maka ikatan emosional untuk memastikan entitas ekonomi mereka harus terus bertahan, maju dan berkembang untuk kesejahteraan mereka bersama.
Bagaimana dengan KMP. Apakah desa-desa di Flores Timur benar-benar membutuhkan lembaga legal Formal untuk memayungi usaha bersama masyarakat Flores Timur?
Baca Juga:
Ataukah KMP hanya hadir sebagai proyek hanya untuk mengejar target kuantitas jumlah Koperasi Merah Putih yang sudah dibentuk tidak peduli ada atau tidak kebutuhan masyarakat yang diwadahi dengan sebuah lembaga ekonomi kernama koperasi.
Maka pertanyaan Apakah Masyarakat Flores Timur Membutuhkan Koperasi Merah Putih bisa dijawab secara gamblang.
Menurut saya, BUMDes adalah Proyek pemerintah pusat yang sadar maupun tidak, hanya dibentuk untuk mengejar kuantitas laporan kepada pemerintah pusat. Bisa jadi kita hanya membentuk BUMDes untuk menyenangkan pemerintah pusat, atau hanya demi proyek.
BUMDes harus dibentuk agar ada alokasi anggaran lebih besar ke desa-desa atas nama penyertaan modal pemerintah desa ke BUMdes-BUMDes yang telah didirikan.
Baca Juga:
Maka bisa jadi, instruksi Presiden Prabowo terkait Koperasi Merah Putih pun nantinya memiliki nasib yang sama seperti banyak BUMdes di desa-desa. Yang penting dibentuk, soal jalan atau tidak itu urusan kemudian.
Baik BUMDes maupun KMP tentu bukan barang gampang di Flores Timur. Mengapa? Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bangga menyebut diri sebagai nusa koperasi. sebutan ini tentu beralasan sebab begitu banyak koperasi berusaha di NTT termasuk Flores Timur.
Pertanyaan kemudian adalah seberapa besar sumbangsih koperasi terhadap kesejahteraan masyarakat Flores Timur?
Bagi saya, lembaga ekonomi entah itu Kelompok Usaha Bersama (KUB) perusahaan umum, perseroan, BUMDes ataupun koperasi hanyalah alat. entitas bisnis ini hanyalah alat atau wadah untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi produktif, entah manufaktur dan atau jasa atau bahkan gabungan keduanya.
Karena KMP maupun BUMDes hanyalah alat, atau wadah untuk menampung unit unit usaha produktif maka seharusnya yang menjadi fokus pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah adalah:
Baca Juga:
Membaca Peluang Flores Timur, Pasca MOU Kemendes PDT – TNI – BGN
Pertama: menggali potensi ekonomi di desa-desa.
Jika tidak ada potensi usaha ekonomi produktif entah manufaktur maupun jasa, apakah masyarakat desa membutuhkan sebuah wadah untuk menampung entitas bisnis tersebut?
Jika tidak ada isinya, buat apa membentuk KMP sebagai wadah? Apa yang mau diwadahi oleh KMP?
Kedua : jika desa punya potensi, bagaimana kesiapan sumber daya manusia untuk mengolahnya?
Dalam banyak kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa SDM yang mumpuni untuk menemukan, mengidentifikasi, menggali, mengolah, kemudian menjualnya untuk memperoleh keuntungan belum banyak kita temukan di Flores Timur.
Baca Juga:
Kita sudah selesai dengan modal, baik untuk BUMDes maupun KMP. Tinggal kita serius menyiapkan sumber daya manusia kita untuk ‘mengurus’ semua potensi di desa-desa kita tersebut.
Karena itu, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menyiapkan SDM kita untuk mengelolah BUMdes dan juga KMP? Siapa yang bertanggung jawab untuk itu?
Pengalaman lebih dari 10 tahun dana desa untuk BUMDes jangan sampai kemudian tidak memberi kita cukup kesempatan untuk belajar dan berbenah demi mengurus KMP.
Jika tidak maka kesempatan baik ini pun bisa saja berlalu begitu saja, dan kita masih saja membuang kesempatan baik, bersama gemohing yang dijiwai oleh gelekat memajukan ribuh rathun, masyarakat Flores Timur.
Foto ilustrasi dari fahum.umsu.ac.id
Insight-nya dapet banget! Aku jadi pengen sharing juga. Kalau kamu suka komunitas online, langsung aja ke kanal.id!