Eposdigi.com – Belakangan ini, media sosial sedang diramaikan oleh konten tontonan anomali. Ini adalah konten yang menampilkan karakter hasil penggabungan manusia, hewan, benda, bahkan minuman, dengan bantuan AI. Penggabungan tersebut menghasilkan karakter baru, yang tidak pernah ada sebelumnya, bahkan menyimpang dan tidak lazim.
Fenomena ini bermula dari unggahan video dengan karakter utama hiu digabung dengan sepatu Nike yang diberi nama Tralalero Tralala. Atau karakter Cappucino Assassina. Salah satu ciri dari karakter ini adalah nyanyian dalam bahasa Italia yang tidak jelas, dengan humor yang tidak masuk akal.
Di Indonesia, tontonan semacam ini sudah diadaptasi oleh kreator lokal dalam karakter seperti Tung Tung Tung Sahur. Pada karakter ini, kreator dengan bantuan AI menggabung kentungan dengan manusia yang bertugas membangunkan sahur. Atau karakter lain Prabowono Subiantono dan Lili lil Bahlil yang diperkenalkan akun Kementerian Kegelapan.
Baca Juga :
Menurut para ahli, tontonan seperti ini dikategorikan sebagai tontonan berkualitas rendah namun sangat diminati oleh mereka yang lahir antara tahun 2010-2025 atau disebut generasi Alpha. Hal ini karena tontonan anomali menarik perhatian mereka secara instan, lucu, dan menimbulkan rasa penasaran penonton.
Tontonan anomali yang sangat diminati anak-anak ini berdampak mengaburkan batas logika anak. Terlalu banyak menonton tontonan anomali membuat mereka sulit membedakan antara fantasi dan fakta. Menurut para ahli, ini berdampak pada pelemahan daya berpikir kritis, sebagai akibat dari konsumsi tontonan absurd tanpa perlu logika.
Oleh karena itu, anak beresiko mengalami brain root; penurunan fungsi kognitif, malas berpikir kritis, konsentrasi dan memori menurun, bahkan malas berpikir kritis. Brain root merusak kemampuan anak-anak berinteraksi dengan dunia nyata. Padahal untuk pertumbuhan fisik dan mental, mereka masih membutuhkan interaksi dengan dunia nyata.
Baca Juga :
Gejalanya dapat kita amati dalam kehidupan anak sehari-hari. Ketika mereka tidak menyukai sesuatu, mereka akan cenderung menghindari hal tersebut dari pada menghadapinya. Juga ketika bermasalah, mereka cenderung menghindar menyelesaikan. Selain itu mereka cenderung tidak sabar.
Inilah salah satu tantangan orang tua dan dunia pendidikan pada umumnya. Negara perlu memiliki regulasi untuk mengendalikan konten-konten yang tidak bermutu, termasuk menertibkan akun-akun yang kontennya berdampak buruk pada perkembangan anak-anak. Selain ini, perlu mendorong munculnya konten-konten yang bermutu.
Langkah lain yang mendesak dilakukan adalah pembatasan screen time pada anak, termasuk pembatasan usia anak dan remaja memiliki akun media sosial. Idealnya langkah ini dilakukan sambil menyediakan aktivitas bermanfaat lain untuk anak dan remaja, terutama aktivitas yang mereka butuhkan untuk perkembangan psikis, sosial, dan fisik mereka.
Baca Juga :
Latih anak dan remaja membuat daftar kegiatan yang bermanfaat, dan bantu mereka untuk menyusun time management mereka, di mana screen time ada di dalamnya. Dampingi mereka untuk melaksanakan kegiatan mereka sesuai dengan time management yang mereka buat.
Untuk membiasakan ini, orang dewasa diharapkan menjadi role model-nya. Jangan sampai orang dewasa memberlakukan pembatasan screen time anak dan remaja, namun orang dewasa sepanjang hari menggunakan handphone tanpa pembatasan screen time. Untuk orang dewasa, screen time yang dianjurkan adalah 2 jam sehari.
Inilah tantangan yang kita hadapi. Namun anak dan remaja harus dapat bertumbuh di tengah gempuran banjir informasi dan kemudahan mengakses media sosial. Oleh karena itu, orang tua harus terlibat langsung, pemerintah harus antisipatif, agar anak dan remaja terus bertumbuh. Karena mereka adalah masa depan kita.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Fotoilustrasi dari melintas.id
Leave a Reply