Dari Lontar ke Tuak: Mengangkat Tradisi, Menyambung Kehidupan

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.comTuak sebagai Warisan Budaya. Tuak adalah minuman tradisional yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia termasuk (NTT, kalimantan dan lain-lain). Persebaran Lontar di NTT, termasuk Flores Timur, tidak cukup luas.

Diperkirakan terdapat sekitar 4 juta pohon lontar, dengan 950 000 pohon muda (<10 thn) dan 3.050 000 pohon dewasa. Petani lontar di Flores Timur umumnya memanfaatkan pohon-pohon ini untuk berbagai keperluan: menyadap nira (tuak) kemudian disuling untuk menghasilkan produk baru dikenal dengan arak, serta pengambilan daun lontar untuk keperluan kerajinan.

Aktivitas ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca Juga:

Lontar Lamaholot: Membangun Ekosistem Unggul dari Alam untuk Dunia

Tuak Dalam Konteks Budaya Dan Sosial

Tuak memiliki peran sentral dalam budaya dan kehidupan masyarakat Flores Timur. Bukan hanya sekedar minuman, tuak menjadi simbol pemersatu, penghubung dan perantara dalam ritus adat.

Meskipun penyadap/pengiris tuak berskala kecil dan bersifat tradisional mereka termasuk dalam kategori kelompok petani rakyat atau petani non pangan.

Sayangnya tuak kerap kali mendapat stigma negatif dari masyarakat luas. Pandangan ini muncul akibat dampak negatif yang ditimbulkan jika dikonsumsi secara berlebihan, seperti mabuk, kekerasan verbal atau fisik, pelanggaran norma sosial, bahkan tindakan kriminal.

Baca Juga:

Pohon Lontar: Dari Minuman Tradisional ke Katalis Ekonomi Berkelanjutan di Flores Timur

Namun, penting untuk disadari bahwa akar masalah bukan pada tuak, melainkan pada perilaku konsumtif yang tidak terkendali. Sama seperti hal lainnya, konsumsi berlebihan akan selalu berisiko, tetapi bukan berarti esensinya harus diberangus.

Penggerebekan Penyulingan: Solusi Atau Reaksi

Pada kamis 29 Mei 2025 publik dikejutkan dengan pemberitaan dari media Reportase NTT penggerebekan lokasi penyulingan minuman keras jenis arak di desa Ilepadung, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur.

Operasi ini menunjukan ketegasan lembaga negara dalam menjalankan aturan guna memberantas penyakit sosial masyarakat. Namun operasi yang bersifat reaktif hanya menindak gejala bukan menyelesaikan akar masalah. Penyakit sosial di masyarakat tidak sepenuhnya disebabkan oleh konsumsi tuak secara berlebihan.

Baca Juga:

Grebek Tempat Penyulingan Arak Tradisional: Penegakan Hukum atau Represi Terhadap Budaya Lokal?

Meskipun alkohol dapat menjadi pemicu perilaku menyimpang, bukan berarti tindakan penggrebekan adalah solusi.

Potensi Ekonomi Tuak

Dari sisi ekonomi tuak memiliki potensi luar biasa. bahan bakunya berasal dari sumber lokal (buah lontar, kelapa, aren),  proses produksinya pun relatif sederhana sehingga tidak memerlukan   biaya yang besar.

Bagi sebagian besar warga Masyarakat Kabupaten Flores Timur, tuak adalah tumpuan hidup sekaligus jalan untuk mengakses pendidikan, kesehatan dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

Selain sebagai penyambung kehidupan ekonomi masyarakat kecil, tuak juga bisa menjadi paket wisata lokal (kuliner budaya).

Baca Juga:

Hal Ini Bisa Buat Flores Timur Bantu Indonesia Swasembada Energi

Promosi dan pengelolaan yang tepat dapat menjadikan tuak sebagai aset daerah yang membanggakan dan berdaya saing tinggi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Regulasi Yang Membumi

Membaca isi Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Minuman Beralkohol, penekananya lebih cenderung  berkaitan dengan rentetan administrasi berbelit-belit yang belum tentu dipahami oleh masyarakat.

Substansi dari perda ini belum sepenuhnya mewakili keresahan dan kebutuhan petani lontar. Yang dibutuhkan petani lontar bukan rentetan administrasi dan kriminalisasi tapi pengakuan berbentuk regulasi yang secara eksplisit memberikan ruang sepenuhnya agar mereka bisa berdaulat diatas hasil pertaniannya.

Baca Juga:

Menjadikan Kelor Ikon NTT Seperti Ginseng di Korea

Mereka perlu dilihat sebagai petani perkebunan rakyat yang berhak atas pelatihan, pemberdayaan, pendampingan usaha serta perlindungan hukum. Dengan demikian negara hadir bukan sebagai pelaku kriminal berdalil penertiban tapi juga memanusiakan dan memberdayakan.

Tuak Sebagai Warisan Budaya Dan Sumber Penghidupan

Masyarakat lamaholot hidup berdampingan dengan warisan-warisan leluhur, mereka seperti dua sisi sekeping uang logam.

Keintiman relasi antara masyarakat dan budaya yang kuat diwujudkan dalam konsep Rera Wulan Tanah Ekan, sehingga dalam proses menjaga keintiman ini, tuak menjadi sarana/jembatan penghubung yang sakral. Tuak adalah simbol air susu ibu, simbol budaya, persatuan dan ekonomi kerakyatan.

Pemerintah dan masyarakat seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan budaya untuk mengangkat tuak ke panggung nasional maupun internasional.

Baca Juga:

Menakar Kata ‘Lama’ dalam Etnologi Lamaholot

Tuak harus diposisikan bukan sebagai masalah sosial, tetapi sebagai sumber kehidupan, identitas, dan potensi ekonomi lokal yang layak dikembangkan secara berkelanjutan.

Mimpi Tentang Tuak yang Merdeka 

Suatu ketika saya bermimpi untuk melihat di pesisir pulau solor, di lembah pulau adonara, di ujung tanjung bunga, dan dibalik raksasa mahamandiri terdengar nyanyian oha dari  para penyadap.

Suara-suara tradisi yang bersahutan dengan bunyi tetes nira ke dalam bambu tanpa ada bayang-bayang gelap regulasi dan penggerebekan.

Foto ilustrasi dari kompasiana.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of