Eposdigi.com – Kelor bagi masyarakat kita di NTT adalah hal biasa. Kelor tumbuh dengan baik di semua pulau di NTT walaupun curah hujan di daerah ini rendah. Karena itu kelor menjadi salah satu sumber sayuran biasa yang dikenal oleh masyarakat NTT.
Belakangan ini kelor mulai menjadi primadona karena terbukti memiliki berbagai kandungan yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Karena itu kelor kemudian menjadi salah satu komoditi yang memiliki nilai jual tinggi di masyarakat.
Di NTT sendiri, kelor mulai menjadi komoditas industry. Misalnya, PT Moringa Wira Nusa, mengaku kepada kompas.com (20/08/2022) bahwa usaha kelor yang dijalankannya berpotensi meyumbang Rp540 juta setiap bulan kepada masyarakat yang terlibat.
Perusahaan ini menyerap 36 ton daun kelor basah yang dibeli dari masyarakat seharga Rp5.000 per kilo. Dengan demikian perusahaan ini mengelontarkan biaya sebesar Rp180 juta setiap bulan untuk membeli bahan baku daun kelor.
Baca Juga:
Benarkah Banyak Anak Menjadi Penyebab Tingginya Angka Kemiskinan dan Stunting di NTT?
Tidak hanya itu, perusahaan ini bermitra dengan masyarakat lokal untuk mengemas daun kelor menjadi kelor celup. Dari sini masyarakat dapat memperoleh penghasilan tambahan kurang lebih Rp250 juta.
Kapasitas perusahaan ini adalah 1.440.000 kantong kelor celup setiap bulan. Untuk setiap kantung yang dikemas oleh masyarakat local perusahaan menghargainya sebesar Rp250.
Barangkali karena kelor bisa bagi masyarakat NTT, karena itu belum ada yang tertarik untuk mengungkap lewat penelitian-penelitian, hal-hal luar biasa yang ada pada kelor.
Adalah Nathania, Siswi SMA Negeri 5 Surabaya, dalam penelitiannya yang mengungkap salah satu hal luar biasa pada kelor, mengantarnya meraih gelar juara 1 dalam ajang Taiwan International Science Fair (TSF) tahun 2023.
Ajang ini yang diikuti oleh peserta dari 22 negara antara lain, tuan rumah Taiwan, Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Makau, Rusia, Ukraina, Iran, Mesir, Luxemburg, Afrika Selatan, Tunisia, Turki, Italia, Swiss, Ceko, Amerika Serikat serta Brasil dan Meksiko.
TSF merupakan salah satu kompetisi penelitian sains untuk mengidentifikasi dan memelihara ilmuwan muda berbakat, serta mengembangkan keterampilan penelitian ilmiah kemampuan inovasi dan perspektif internasional.
Baca Juga:
Lebih dari Lima Tahun, NTT Belum Terpecahkan dalam ‘Rekor’ Ini
Pada Ajang yang berlangsung dari 11 – 14 Februari 2023 ini, Nathania berhasil menyabet juara 1 lewat penelitiannya “Moringa Extract (Moringa Oleifera) based Silver Nanoparticle Sisal Fabric as Antibacterial Against Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus.”
Ia mengekstrak kelor yang disintesis dengan nanopartikel perak untuk melawan bakteri MRSA. Penelitiannya dari pelajar kelahiran 10 November, 19 tahun lalu ini dianggap paling inovatif sehingga layak memperoleh juara 1.
Tahun ini merupakan tahun ke enam ajang international ini diselenggarakan. Dan perjalanan nathania menuju kompetisi ini tidak sederhana.
Ia memulainya dari kompetisi IRIS yang diselenggarakan oleh ITS di Surabaya dimana ia keluar sebagai juara 1 dan favorit. Pada lomba itu ia membuat sintesis kelor dengan nanopartikel perak untuk melawan bakteri salmonella.
Kemudian setelah itu ia berangkat ke kompetisi National Science Fair for Indonesia Adolescents (NASFIA) dimana dalam ajang ini, lewat penelitiannya membuat antibakteri berbahan dasar kelor untuk menangkal bakteri MRSA.
Pada ajang ini ia mendapat medali perak dan terpilih mewakili Indonesia pada ajang Taiwan International Science Fair (TSF) tahun 2023 baru-baru ini.
Hanya dalam waktu 3 bulan saja persiapannya dengan harus bolak balik Surabaya – Malang untuk dapat mengakses mikroskop elektron yang hanya tersedia di Universitas Negeri Malang, ia akhirnya dapat menyelesaikan penelitiannya tepat waktu dan berangkat ke Taiwan untuk ajang ini.
Baca Juga:
Bukan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi, Ini Kata AI Tentang Disiplin di Sekolah
Pengalaman Nathania, orang Surabaya ini, harus memotivasi kita di NTT untuk melihat kelor secara berbeda mulai sekarang. Tidak hanya melihat kelor dari segi proyek pemerintah melainkan memandang kelor sebagai keajaiban yang segera disingkap misteri-misterinya.
Universitas-universitas di NTT tidak boleh kalah dari seorang siswi SMA dalam meneliti tentang kelor. Kita berharap bahwa si “emas hijau” benar-benar menjadi primadona yang menerobos semua kebuntuan di NTT.
Membawa NTT keluar dari provinsi termiskin; dengan angka gizi buruk tinggi dan stunting yang tak terkalahkan dari daerah lain di Indonesia.
Foto dari kantor berita Antara
Leave a Reply