Membangun Literasi Mewartakan Masa Depan Anak-anak Papua

Daerah
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Kemajuan teknologi menimbulkan fenomena baru di masyarakat yaitu dengan beralihnya aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya.

Mulai dari otomatisasi yang mengancam ragam mata pencaharian, hingga bagaimana masyarakat mencerna dan mengabarkan informasi termasuk dalam dunia pendidikan.

Di era pendidikan 4.0, minat baca siswa khususnya siswa di level sekolah dasar perlu ditingkatkan (Wulanjani & Anggraeni, 2019).

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan menuntut setiap siswa memiliki kemampuan baca dan tulis yang lebih, dengan  tujuan  agar  siswa memiliki  wawasan  dan  pengetahuan  yang  cukup untuk dapat   bersaing   dan   mengikuti   perkembangan   zaman.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan suatu usaha yang dilaksanakan secara  menyeluruh  dan berkesinambungan  serta  berkelanjutanguna mewujudkan sekolah   menjadi  organisasi  pembelajar yang memiliki warga   literat sepanjang hayat   dengan   melibatkan masyarakat (Sadli & Saadati, 2019).

Salah satu tujuan dari gerakan    literasi    sekolah    ini    adalah    meningkatkan kesadaran  siswa  bahwa  membaca    itu    sangat    penting  serta membawa wawasan yang lebih luas (Dharma, 2013).

Baca Juga :

Apa Antisipasi Menteri Pendidikan Agar Asesmen Nasional Dapat Mendorong Peningkatan Mutu Pendidikan?

Membangun kesadaran anak didik untuk meningkatkan literasi merupakan modal dasar menjadi spirit membangun giat belajar anak.

Saat ini, indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.

Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami   dan   menggunakan   sesuatu dengan tepat melalui   kegiatan   membaca,   menulis,   menyimak   atau berbicara (Budiharto,   Triyono,   & Suparman,   2018).

Pendapat    lain    menyatakan    bahwa Literasi    adalah keahlian  yang  berhubungan dengan  kegiatan  membaca, menulis,  dan  berfikir  yang berfokus  untukpeningkatankemampuan  memahami  informasi  secara  kritis,  kreatif dan   inovatif (Suyono,   Harsiati,   &   Wulandari,   2017).

 Literasi bukan hanya sekedar membaca dan menulis tetapi meliputi    keterampilan    berfikir    kritis    memanfaatkan sumber    pengetahuan yang    berbentuk    cetak,    visual, maupun digital.

Mandeknya literasi di Indonesia dilatarbelakangi oleh berbagai hal, selain kurangnya ketersediaan buku-buku bacaan, factor lingkungan dan dukungan orangtua juga guru adalah hal penting.

Baca Juga:

Merdeka Belajar Adalah Kemerdekaan Berpikir

Guru, orangtua dan lingkungan harus berkolaborasi dalam membangun giat membaca pada anak. Salah satu realitas nyata yang perlu dibangun terkait peningkatan literasi bisa kita lihat di SD YPK Youlim Sari yang terletak di Kampung Yadau, Yadauw, Kec. Kaureh, Kab. Jayapura Prov. Papua.

Dilema proses belajar di SD YPK Youlim Sari

SD YPK Youlim Sari adalah sekolah yang dibuat oleh perusahaan penebangan kayu Youlim Sari (perusahaan dari Korea) dibangun untuk anak-anak dari para karyawannya.

Ketika perusahaan gulung tikar, sekolah ini sempat berhenti dan kembali aktif di tahun 2008. Semenjak ditinggalkan oleh perusahaan penebangan kayu itu, kondisinya sangat memprihatinkan, hal ini disebabkan akses menuju sekolah yang sulit membuat kegiatan belajar mengajar tersendat.

Selain akses dan medan yang sulit, faktor lain adalah kurangnya tenaga guru dan fasilitas sekolah yang kurang mendukung. Hal ini membuat kegiatan belajar SD YPK Youlim Sari tidak berjalan normal seperti yang diharapkan masyarakat setempat.

Pada tahun 2016 Pemerintah Kabupaten Jayapura merekrut Guru dari Lembaga Indonesia Cerdas untuk disebarakan di berbagai sekolah yang ada di Kabupaten Jayapura, termasuk SD YPK Youlim Sari mendapatkan dua (2) tenaga guru kontrak yaitu Swanto Sianturi (penulis) berasal dari Medan, Sumatra Utara dan Frans Hendra Labkoli dari kepulauan Alor Nusa Tenggara Timur.

Singkat cerita, saya bersama Frans mulai beraktivitas di sekolah ini. Hari-hari pertama bertugas di kampung Yadauw dibayang-bayangi rasa kuatir, tugas berat di pundak sebagai guru kotrak sudah di depan mata karena harus dituntut cepat beradaptasi dengan lingkungan dan murid.

Baca Juga:

Mengapa Peringkat Literasi Kita Nyungsep?

Waktu berjalan, selama dua (2) tahun bertugas, kami fokus mengajari anak-anak didik untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Namun karena keterbatasan bahan ajar maupun media seperti buku-buku kami sangat kesulitan untuk mengajar anak-anak.

Inilah kegalauan yang begitu pelik. Kami menuntut anak-anak agar mampu berkembang pada dunia litarasi, namun ketersediaan buku-buku minim.

Komitmen Membangun Dunia Literasi, Membangun Masa Depan Papua

Kegalauan kami akhirnya menemukan titik terang. Pada tahun 2019, kami diundang untuk mengikuti sosialisasi di Jayapura mengenai peningkatan literasi bagi anak-anak khususnya sekolah yang berada di pinggiran kota.

Setelah kegiatan selesai, saya bersama guru yang lain memutuskan untuk membuat semacam perpusatakaan keliling bagi anak-anak di Kampung Yadauw.

Kami menghubungi teman-teman baik yang di Jayapura maupun yang di luar Papua untuk menyumbangkan buku-buku bekas bacaan untuk kebutuhan perpustakaan yang telah kami siapkan.

Namun, karena keterbatasan buku-buku dan bahan ajar yang lainnya di SD YPK Youlim Sari membuat minat baca anak sangat minim.

Ada sebuah ironi yang kami alami dan merupakan sebuah momok bagi wajah pendidikan di Indonesia dimana pada saat pertama kami berada di sekolah ini, masih ada anak-anak yang duduk di bangku kelas 6 belum bisa membaca dan masih banyak anak yang masih terbata-bata dalam membaca.

Pada saat itu, muncul di benak saya betapa pendidikan di Indonesia memiliki jurang yang sangat dalam dan curam. Daerah pinggiran dan di pelosok tanah air seperti di Kampung Yadauw semenjak Sukarno dan Hatta menggaungkan Proklamasi bagi jalan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, masih terdapat wajah pendidikan yang lesu.

Baca Juga:

Kementerian Agama Selenggarakan Pelatihan Koding bagi Madrasah

Sedangkan nafas kemerdekaan memiliki spirit Indonesia emas dan jaya melalui peningkatan kualitas SDM. Tapi inilah pekerjaan rumah bersama. Kita harus terus berkomitmen mengisi kemerdekaan dengan membangun insan-insan berkemajuan.

Saya dan teman-teman guru yang ditempatkan di pedalaman Papua berkomitmen membangun kualitas SDM Indonesia yang maju khususnya anak-anak Papua kendatipun berbagai tantangan dan lika liku kami hadapi.

Kami tertus berjuang. Karena pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer bagi setiap manusia, karena pendidikan berperan penting dalam pembentukan baik atau buruknya seseorang dalam ukuran normatif.

Pendidikan menjadi salah satu aspek dalam penigkatan potensi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pemerintah juga sadar dan berupaya keras membangun bidang tersebut.

Seperti yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SIDIKNAS, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Rumah Belajar Tonggak Literasi

Komitmen membangun masa depan anak-anak semakin menguatkan saya. Berbagai upaya dengan ragam konsekuensi pasang-surut memantapkan saya untuk tidak menyerah.

Akhirnya setelah buku-buku terkumpul yang kami dapat dari sumbangan, saya berniat untuk menjadikan rumah tempat saya tinggal sebagai tempat anak-anak berkumpul untuk belajar membaca dan sambil bermain.

Baca Juga:

Media Sosial Menjadi Salah Satu Penyebab Depresi Pada Anak dan Remaja Kita. Apa yang Harus Kita Lakukan?

Setiap pulang sekolah anak-anak sudah berkumpul untuk membaca. Mereka sangat senang membaca yang dulunya mereka hanya bermain di hutan namun setelah buku-buku ada mereka selalu berkumpul di rumah saya untuk membaca.

Hal ini semakin menjawab kegelisahan saya, bahwa pendidikan butuh sentuhan tulus. Kita tidak bisa hanya menuntut anak-anak tanpa melihat apa yang kurang dan perlu diperjuangkan.

Sederhana sebenarnya, anak-anak pelosok yang bertekad belajar membutuhkan sentuhan dari setiap pertanyaan di benaknya, mereka sangat bisa jika kita memiliki kasih yang tulus.

Tidak perlu fasilitas megah, cukup berikan anak-anak buku bacaan yang mereka sukai, duduk dan dengar, bersama-sama belajar. Kita akan tahu, betapa mereka memiliki keinginan tangguh untuk maju.

Hingga saat ini, masih banyak kendala yang saya dan teman alami karena sulitnya medan untuk menuju Kampung Yadauw. Hal ini membuat kontribusi buku sangat susah kami lakukan.

 Anak-anak merasa bosan dengan buku-buku yang hampir setiap hari mereka baca. Semoga kegelisahan ini menemukan jalan terbaik untuk anak-anak didik kami. Sebab dengan membaca, mereka melihat dunia dan melihat apa yang tak terlihat dari Kampung Yadauw.

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of