Eposdigi.com – PISA merupakan survey untuk mengukur capaian kemampuan Literasi, Matematika, dan Sains para murid usia 15 tahun. Awalnya test ini dilakukan oleh Organisation for Electronic Co-Operation and Development (OECD) tiap tiga tahun sekali.
OECD adalah organisasi kerjasama dan pembangunan ekonomi yang beranggotakan 37 negara, yang tersebar di Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, dan Australia. Pada Februari 2009, Indonesia mulai bergabung menjadi anggota.
Test PISA diselenggarakan untuk membantu negara-negara anggota untuk melihat apakah sistem pendidikan telah mempersiapkan sumber daya manusia agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang diharapkan oleh pasar internasional.
Baca Juga: Indonesia Tersungkur dalam Data PISA, Masihkah Kita Bertahan di Jalur yang Keliru?
Jika capaian hasil tes PISA sebuah negara anggota baik, maka negara tersebut dianggap telah memiliki standar pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional.
Sejak tahun 2000, Indonesia telah menjadi partisipan test PISA. Namun sejak itu, hingga tahun 2018 hasil test PISA Indonesia masih di level bawah dibandingkan negara partisipan lainnya.
Hasil survey tahun 2018 terhadap 600.000 anak usia 15 tahun di 79 negara menunjukkan bahwa score kemampuan literasi anak Indonesia sebesar 375. Sedang score kemampuan Matematika sebesar 379, dan score untuk kemampuan Sains sebesar 396. Dengan hasil ini, peringkat Indonesia berada di 10 besar dari bawah, dari 79 negara.
Terhadap hasil tersebut, banyak pihak menyalahkan pemerintah karena sistem pendidikan tidak mengasah dengan baik, kemampuan membaca, nalar matematika, dan kemampuan sains murid.
Menurut banyak analisis, hasil di atas mencerminkan sistem pendidikan Indonesia yang masih berbasis hafalan. Padahal kemampuan menghafal adalah tingkat terendah dari kemampuan berpikir.
Baca Juga: Ekosistem Sekolah Penggerak
Hal ini diperparah dengan sitem evaluasi akhir yang mencakup materi yang sangat luas dan padat, sehingga untuk lulus, para murid lebih fokus menghafal daripada mengembangkan kompetensi.
Kondisi inilah yang membuat Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, melakukan perubahan besar-besaran di sektor pendidikan, melalui empat kebijakan prioritas. Salah satunya adalah rencana mengganti Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimun dan Survei Karakter.
Meskipun kebijakan ini disambut baik, namun perlu terus dikawal untuk memastikan bukan hanya agar kebijakan ini dapat diimplementasikan, namun juga untuk mencegah penyimpangan karena, para pemangku kepentingan gagal mengelola problematika yang ditimbulkan oleh kebijakan ini.
Salah satu problematika yang muncul dari kebijakan ini berasal dari pendekatan yang diterapkan dalam Asesmen Kompetensi Minimum dan langkah persiapan tindak lanjutnya, sebagaimana saya uraikan berikut ini.
Kelemahan Mendasar Tes PISA
Dari rancangan kebijakannya, Asesmen Nasional memang didesain sebagai asesmen yang hasilnya memang dirancang untuk memantau dan mengevaluasi sistem pendidikan.
Baca Juga: Apa Itu Survey Karakter dan Bagaimana Survey Karakter Dilakukan
Oleh karena itu, elemennya terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimun yang terkait literasi, numerasi, di kelas 5, 8, dan kelas 11. Namun, juga dilengkapi dengan survey karakter dan survey lingkungan belajar.
Asesmen Kompetensi Minumum akan menggunakan pendekatan tes dengan mengacu pada tes PISA. Meskipun para ahli mengatakan bahwa fokus Menteri Pendidikan Nadiem Makarim ini cukup masuk akal, namun perlu dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih sesuai dengan situasi pendidikan di Indonesia.
Goldy Fariz Dharmawan, peneliti SMERU misalnya mengusulkan agar tidak hanya fokus pada Matematika, sains, dan kemampuan membaca, tetapi meluas pada tema-tema sosial misalnya ke arah menguji literasi finansial.
Goldy juga mengingatkan bahwa sebagai alat test, test PISA juga memiliki kelemahan mendasar yang harus diperhatikan. Menurutnya, catatan serupa terkait tes PISA pernah dikritisi oleh satu koalisi lebih dari 2000 akademisi dari 40 negara.
Koalisi tersebut mengatakan bahwa, instrument yang digunakan dalam tes PISA, dapat secara berbahaya mengerucutkan imajinasi kita tentang yang dimaksudkan dengan pendidikan.
Baca Juga: Mengapa Peringkat Literasi Kita Nyungsep?
Bahwa pendidikan hanya tercermin melalui hasil Asesmen Kompetensi Minimum terutama terkait literasi, numerasi, dan sama sekali menganggap proses di kelas sebagai proses yang penting.
Jika persepsi ini tidak dikelola, maka dikhawatirkan kita terjebak kembali pada jebakan yang sama, seperti ketika kita masih menyelenggarakan Ujian Nasional. Sekolah berlomba-lomba mencapai hasil bagus berupa angka dan mengabaikan pengembangan kompetensi yang justtru sangat diperlukan murid.
Nampaknya, kelemahan test PISA telah diantisipasi dengan menghadirkan komponen survey karakter dan survey lingkungan belajar namun tetap diperlukan langkah antisipatif.
Diperlukan Langkah Antisipatif
Agar hasil Asesmen Nasional benar-benar bermanfaat untuk memantau dan mengevaluasi sistem pendidikan dalam rangka pembenahan dan peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah, maka perlu dilakukan antisipasi sebagai berikut;
Baca juga: Perkembangan Teknologi, Godaan Salin Rekat, Dan Literasi Kita
Pertama, pemerintah harus mendesain pelatihan untuk mengubah paradigma berpikir yang benar tentang Asesmen Nasional. Bahwa hasil asesmen untuk evaluasi mutu sekolah bukan sekedar untuk mengevaluasi hasil belajar murid.
Ini mendesak, karena hingga sekarang budaya tes sudah terlanjur terbentuk melalui sistem Ujian Nasional, hampir sepanjang sejarah penyelenggaraan pendidikan nasional. Hingga sekarang pelatihan seperti ini masih jarang untuk dilakukan.
Kedua, hasil Asesmen Nasional harus digunakan untuk mendesain program pengembangan mutu pendidikan di daerah-daerah hingga ke level sekolah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelatihan untuk menyiapkan birokrasi pendidikan terkait hingga ke level kepala sekolah, agar hasil asesmen dapat ditindak lanjuti.
Bentuk tindak lanjutnya, dapat berupa upaya merumuskan kebutuhan pengembangan, program pengembangan mutu sekolah, sesuai dengan hasil asesmen.
Pelatihan semacam ini sangat diperlukan karena birokrasi pendidikan dalam hal pelaksanaan program lebih mempunyai pengalaman topdown daripada bottom up dalam pelaksanaan program.
Jika dua langkah antisipatif ini tidak dilakukan maka pengembangan mutu pendidikan sebagai tindak lanjut dari Asesmen Nasional tidak akan terjadi karena budaya tes sudah terlanjur terbentuk melalui sistem ujian nasional.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: radarlampung.co.id
Leave a Reply