Eposdigi.com – Ujian Nasional kembali menjadi perbincangan publik setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., menyatakan akan mengkaji ulang kebijakan ujian nasional, yang dibatalkan di zaman Nadiem Makarim, untuk dapat diberlakukan kembali berdasarkan hasil kajian tersebut.
Sebelumnya dalam diskusi bertema Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan, mantan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, pada sesinya mengatakan Indonesia masih perlu kembali mengadakan ujian nasional, karena ujian nasional memiliki banyak manfaat.
“Dengan ujian nasional kita bisa memetakan dan mengoreksi kemampuan siswa di Timur dan Barat. Yang paling tidak seimbang itu kemampuan siswa di Jawa dan luar Jawa. Selain itu, anak-anak Indonesia juga akan lebih giat belajar jika ujian akan berlangsung,” kata Jusuf Kalla seperti dikutip Kompas.com.
Baca juga :
Pernyataan-pernyataan ini kemudian memicu perbincangan publik tentang perlu tidaknya ujian nasional diselenggarakan kembali. Pihak yang setuju juga banyak, tetapi yang tidak setuju juga tidak kalah banyak. Masing-masing dengan argumennya sendiri-sendiri.
Salah satu pihak yang proujian nasional adalah Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI). Mereka memandang bahwa ujian nasional perlu dilaksanakan kembali di satuan pendidikan, sebagai standar minimum yang harus dicapai peserta didik, dengan catatan harus dengan perbaikan konsep.
“Mungkin namanya boleh diredefinisi dan modelnya tidak seperti yang pernah diselenggarakan sebelumnya. Tapi betul, menurut kami ujian nasional harus ada,” kata Unifah Rosyidi Ketua PB PGRI kepada Kantor Berita Antara.
Baca juga :
Apa Kata Jack Ma Tentang Pentingnya Ujian Nasional dan Pengembangan Soft Skill di Sekolah?
Melihat perkembangan ini, saya tergerak untuk ikut memberikan tanggapan dan masukan mengenai topik penting tersebut melalui tulisan ini. Saya berpendapat bahwa jika ujian nasional diputuskan kembali diselenggarakan, maka dunia pendidikan kita kembali mengalami kemunduran.
Polemik lama tentang Ujian Nasional
Selama saya menjadi mahasiswa di Universitas Sanata Dharma tahun 1988 hingga tahun 1993, saya aktif membaca tulisan-tulisan Prof. Winarno Surakhmad, Soedijarto, atau tulisan Mochtar Buchori, yang pada intinya melihat bahwa ujian nasional dengan persiapannya dan berbagai dampaknya menghambat guru dalam proses belajar mengajar.
Menurut mereka, pada dasarnya setiap kurikulum menganjurkan agar dalam proses belajar mengajar guru menggunakan pendekatan yang mengembangkan kemampuan analisis, berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan melakukan evaluasi, kemampuan komunikasi, seperti pendekatan konstruksi.
Baca juga :
Apa Antisipasi Menteri Pendidikan Agar Asesmen Nasional Dapat Mendorong Peningkatan Mutu Pendidikan?
Namun dalam praktik pendidikan dan pengajaran, pendekatan konstruksi tidak dipilih guru. Para guru lebih memilih menggunakan pendekatan transfer karena sistem evaluasinya melalui ujian nasional, hanya mengevaluasi penguasaan konten, yang penguasaannya sudah dapat dicapai melalui proses belajar mengajar melalui pendekatan transfer.
Dampak Ujian Nasional
Itulah masalah utama yang mereka suarakan. Setelah saya lulus, menjadi guru dan kemudian menjadi kepala sekolah, penggunaan metode proyek, metode yang berinduk pada pendekatan konstruksi dalam proses belajar mengajar, dianggap bertele-tele dan tidak berguna, karena tidak bermanfaat bagi anak dalam menyiapkan ujian di akhir pelajaran.
Maka yang dilakukan guru di kelas-kelas adalah mentransfer materi, mengajukan pertanyaan untuk menguji penguasaan materi, dan memberi tahu peserta didik jawaban yang benar jika ada peserta didik yang belum menangkap materi. Di kelas-kelas akhir, kelas yang akan menghadapi ujian nasional, para peserta didik bahkan di-drill untuk menjawab pertanyaan.
Baca juga :
Ini menyebabkan proses belajar mengajar di sekolah-sekolah di Indonesia sejak tahun 1965 hingga tahun 2020, sekedar menyiapkan peserta didik untuk menjawab pertanyaan, agar mereka siap mengikuti ujian nasional dan bukan melatih serta membentuk keterampilan hidup termasuk critical thinking agar siap menghadapi tantangan hidup mereka.
Dengan demikian ujian nasional berdampak buruk bagi lulusan sekolah. Mereka memiliki kemampuan menjawab pertanyaan tetapi tidak kritis, tidak mandiri, dan tidak siap menghadapi tantangan kehidupan. Bagi guru, ujian nasional juga berdampak buruk dalam pembentukan kemampuan mengajarnya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Maya Defianty dan Kate Wilson menyimpulkan bahwa kebiasaan mengajar dengan pendekatan transfer pengetahuan menyebabkan guru sulit mengembangkan critical thinking di level peserta didik dalam pengajaran sejak berlaku Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka diberlakukan.
Baca juga :
Menurut peneliti dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan University of Canberra itu, guru masih terkendala mengajarkan critical thinking, karena masih terjebak pada kebiasaan lama yakni pembelajaran dengan pendekatan transfer yang berbasis konten, hafalan, yang berorientasi pada ujian, dan bukan mengembangkan critical thinking peserta didik sebagai bekal menghadapi tantangan hidup.
Padahal esensi pendidikan dan pengajaran terletak persis di situ; pada esensi pendidikan, pembentukan kemampuan peserta didik menghadapi tantangan hidupnya justru terhambat. Sedangkan pada esensi pengajaran, ujian nasional justru menumpulkan keterampilan mengajar guru.
Ini dilema yang tidak mudah dihadapi. Tetapi pertanyaannya, jika ada bagian dari komponen sistem pendidikan yang menghambat capaian tujuan pendidikan tersebut, apakah komponen tersebut patut dipertahankan?
Oleh karena itu saya sangat setuju ketika Nadiem Makarim memiliki keberanian melakukan terobosan menghapus ujian nasional dari sistem pendidikan Indonesia.
Baca juga :
Menunggu Transformasi Pendidikan Berkelanjutan Setelah Era Menteri Pendidikan Nadiem Makarim
Dari uraian di atas, melihat dampak yang sangat buruk pada sistem pendidikan maka, jika Prof. Abdul Mu’ti sebagai menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengembalikan ujian nasional sebagai komponen sistem evaluasi, itu hanya mungkin dilakukan karena desakan kepentingan di satu pihak dan ketidakpedulian di pihak lain.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: nidokna.com
Leave a Reply