Apa Yang Harus Dilakukan Agar Mahasiswa Tidak Menyontek Artificial Intelligence?

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence sudah menjadi sesuatu yang umum dalam kehidupan kita dewasa ini. Walaupun demikian, sebagai sesuatu yang baru Artificial Intelligence membawa konsekuensi yang tidak sederhana.

Salah satunya adalah dalam bidang akademik. Disadari bahwa Artificial Intelligence yang berkembang dengan luar biasa saat ini semisal Chatbot baik itu ChatGPT besutan Open AI ataupun Google Bard yang dimunculkan Google belakangan ini.

Simulasi percakapan instan dan kemampuan chatbot memberi jawaban yang relevan dengan pertanyaan secara rinci dan lengkap tentu menjadi salah satu pilihan yang bijak oleh para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah.

Karena itulah di dalam bidang akademik isu utama Artificial Intelligence dalam bentuk chatbot adalah plagiarisme. Selain itu persoalan persoalan etis dan legal formal penggunaan artificial intelligence jenis ini pun terutama dalam bidang akademik pun harus menjadi perhatian serius kalangan terkait.

Baca Juga:

Efek Samping AI: Dari Etika hingga Kejahatan

Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Ayu Purwarianti seperti dikutip oleh tempo.co (18/05/2023) dari situs ITB mengungkapkan kekhawatirannya mengenai penggunaan artificial intelligence oleh kalangan mahasiswa.

“Jika mahasiswa disuruh bikin esai dengan tujuan supaya bisa memiliki kemampuan analisis yang lebih tinggi, serta lebih kritis dan kreatif maka jangan menggunakan ChatGPT,” kata Ayu (tempo.id-18/05/2023).

Lanjutnya, “Silahkan membuat essay dengan kalimat sendiri dan nanti dibandingkan dengan hasil Chat GPT.”

Walaupun kekhawatiran akan perilaku plagiat yang dilakukan oleh mahasiswa namun perkembangan yang sedemikian cepat dari berbagai artificial intelligence seperti ini harus diterima sebagai konsekuensi perkembangan zaman.

Suka atau tidak suka, artificial intelligence dalam bentuk chatbot seperti Chat GPT dan Google Bard dalam bidang akademik harus digunakan dengan baik tanpa mengabaikan kaidah-kaidah ilmiah akademik yang ketat dan anti terhadap plagiarisme.

Baca Juga:

Mempertimbangkan Kelebihan dan Kekurangan Aplikasi ChatGPT Dalam Penggunaannya di Lembaga Pendidikan

Ini adalah tantangan yang tidak ringan bagi penyelenggara pendidikan, di level manapun terutama di tingkat pendidikan tinggi.

Chatbot harus bisa merangkul dalam kreativitas oleh civitas akademika semata-mata agar semua proses belajar dapat berlangsung dengan baik, dengan sekali lagi tanpa mengabaikan kaidah-kaidah ilmiah yang ketat.

Karena itu sinergi para dosen dan artificial intelligence atau kecerdasan buatan dalam bentuk chatbot ini harus dipikirkan dengan sebaik-baiknya.

Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan atau artificial intelligence seharusnya menjadi tantangan reflektif bagi para pendidik.

“Pendidikan selalu dikenal sebagai penggerak perubahan. Ironisnya pendidikan malah sering terseok-seok oleh perubahan,” ungkap Bukik seperti dikutip tempo.co (10/05/2023)

Bukik menambahkan bahwa tugas yang diberikan pendidik seharusnya tidak harus objektif yang hanya memiliki satu jawaban yang benar. Tugas yang hanya memiliki satu jawaban benar seperti ini, menurut Bukik adalah pengabaian  para pendidik terhadap subjektivitas para mahasiswa.

Baca Juga:

Dua Tantangan Eksistensial Profesi Guru di Abad 21

Tugas yang demikian ini jelas tidak memberi ruang kepada para mahasiswa untuk emosi, aspirasi, selera, mimpi dan bentuk-bentuk kreatifitas lainnya.

Karena itu Bukik memberikan lima tips yang bisa digunakan oleh para guru sekaligus memberi ruang bagi kreatifitas, aspirasi, selera dan imajinasi para mahasiswa. Sekaligus memberi pilihan kepada mahasiswa untuk tidak menyontek dari artificial intelligence, seperti dikutip dari tempo.co (10.05.2023)

Pertama: Mengubah penilaian atas tuga menjadi autentik. Alih-alih jawaban standar, jawaban yang autentik memberi ruang berpikir yang lebih luas kepada para mahasiswa. Ruang berpikir yang luas ini tentu terbuka terhadap subjektivitas jawaban dari masing-masing mahasiswa.

Kedua: Jawaban atas tugas yang diberikan tidak lagi generalisasi melainkan bersifat personal. Personalisasi dari tugas berarti pendidik harus mengenal betul profil mahasiswanya.

Bisa jadi pertanyaan yang sama namun mendapatkan jawaban yang berbeda sesuai dengan profil masing-masing murid.

Misalnya gambaran tentang ‘pasar’ bagi siswa di pedesaan tentu berbeda dengan supermarket bagi siswa di perkotaan.

Baca Juga:

Hoax jadi Fenomena Gagalnya Pendidikan Kita?

Dalam konteks mahasiswapun personalisasi bisa diberikan sesuai dengan latar belakang masing-masing mahasiswa.

Tiga: memberi tugas yang membuka peluang para mahasiswa untuk berpikir kritis. Alih-alih menginginkan jawaban yang faktual atau informative, para pendidik bisa memberi tugas yang memberi peluang jawaban reflektif.

Empat: Tugas yang berkaitan dengan relasional. Tugas yang demikian ini tentu mengabaikan capaian individual.

Kelima: memberi tugas yang mengasah keterampilan sosial – emosional. Tugas-tugas yang demikian ini tentu hanya khas dimiliki oleh manusia. Secanggih apapun kecerdasan buatan pasti kalah dengan manusia dalam keterampilan seperti empati dan kecerdasan emosional lainnya.

Kecerdasan Buatan atau artificial intelligence hanyalah alat. Alat yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan atau untuk membantu kita mengatasi persoalan persoalan tertentu.

Tentu, AI atau kecerdasan buatan digunakan untuk membantu kita semakin manusiawi, bukan sebaliknya. Menjadi semakin manusiawi berarti membawa serta etika dan profesionalitas kita dimanapun kita berada. Bukan tunduk pada teknologi ciptaan manusia, secerdas apapun teknologi itu.

Foto Ilustrasi dari sea.mashable.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of