Mahfud Md. : Gerakan Radikalisme Terus Berkembang di Lembaga Pendidikan

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Mahfud Md., Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) mengatakan radikalisme terus berkembang di lembaga pendidikan, mulai dari sekolah-sekolah, pesantren hingga kampus.

“Radikalisme terus berkembang di banyak lembaga pendidikan. Banyak orang dikader dari kampus, di pesantren dan di sekolah-sekolah. Sikap radikal orang dipupuk dan dimunculkan,” kata Mahfud Md. di Jakarta.

Menko Polhukam ini menjelaskan, radikalisme yang ia maksud adalah gerakan anti pemerintah, gerakan menentang ideologi Pancasila.

“Sikap radikal itu artinya, mereka menentang aparat pemerintah, menetang NKRI, menetang ideologi Pancasila dan seterusnya dan seterusnya,” lanjut Mahfud Md.

Jelas Mahfud Md., sekarang ini sudah banyak orang dikader di kampus, di pesantren, di sekolah-sekolah negeri. Sikap radikal mereka dipupuk. Mereka tidak setuju pada pemerintah, tidak setuju pada ideologi Pancasila.

Menurut Mahfud, meskipun saat ini, aksi terorisme berkurang, tetapi radikalisme terus tumbuh di lembaga pendidikan. Hal ini terjadi setelah pemerintah menerbitkan Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang pemberantasan terorisme.

Baca juga : 

Menangkal Radikalisme dalam Dunia Pendidikan

Kata Mahfud, berkurangnya aksi terorisme karena Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tersebut, memberi ruang pada aparat keamanan untuk bekerja lebih leluasa mengantisipasi dan mengatasi, sebelum aksi terorisme terjadi.

Sebagai pejabat yang berwenang di bidang politik dan keamanan, apa yang disampaikan oleh Mahfud Md. tentu saja berdasarkan data dan fakta di lapangan. Lebih dari itu,  progress gerakan radikal ini terus bertumbuh, bahkan mulai progresif.

Misalnya terpantau dari hasil penelitian sejak tahun 2010. Penelitian lembaga Kajian Islam dan perdamaian menyimpulkan bahwa hampir 50 persen pelajar setuju dengan gerakan radikal.

Bahkan penelitian yang sama juga menyimpulkan bahwa 52,3 persen murid dan 14,22 persen guru membenarkan serangan bom jika serangan bom diperlukan dalam perjuangan.

Penelitian lain yang kurang lebih sama dilakukan tahun 2017 oleh Alvara Research Centre. Penelitian tersebut melibatkan 4.200 murid dan mahasiswa di Jawa dan sejumlah kota besar di luar Jawa.

Responden penelitian ini berimbang antara laki-laki dan perempuan. Semua responden tersebut beragama Islam. Mereka berasal dari kalangan ekonomi menengah yang belajar di Perguruan Tinggi Negeri dan SMA Negeri Unggulan.

Baca juga : 

Defisit Kebaikan Sejak ‘Pendidikan Dasar’

Penelitian tersebut menyimpulkan 25 persen responden siap berjihad untuk tegaknya Negara Islam dan 20 persen responden lebih memilih Ideologi Islam dibandingkan dengan Ideologi Pancasila.

Penelitian juga menyimpulkan, 20 persen responden setuju khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal dibandingkan dengan NKRI, dan 25 persen responden setuju bahwa negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan ajaran Islam secara Kaffah.

Penelitian lebih baru dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap guru Muslim pada jenjang TK hingga SMA. Penelitan tersebut menyimpulkan bahwa lebih dari 56,9 persen beropini intoleran.

Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa sebanyak 46,09 persen guru setuju dengan konsep negara Islam. Mereka bahkan aktif menganjurkan agar orang lain ikut terlibat dalam upaya mewujudkan Negara Islam di Indonesia.

Data-data penelitian ini, mengkonfirmasi dengan sangat jelas apa yang disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud Md., di awal tulisan ini. Kita menunggu langkah konkrit dan serius dari pemerintah untuk mengantisipasi gerakan tersebut.

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto: betawipos.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of