Eposdigi.com – Seorang murid SMP inisial R, usia 14 tahun di Temanggung Jawa Tengah, nekat membakar sekolahnya. Murid tersebut nekat melakukannya karena sakit hati lantaran sering di-bully oleh teman-teman dan guru-gurunya.
R mengaku sering di olok-olok dengan nama orang tuanya, sering dikeroyok oleh teman-teman sekolahnya. Selain itu, seperti dilansir kaskus.co ia juga mengaku sering di-bully oleh gurunya, seperti bukunya disobek tanpa alasan.
Sedangkan terkait sikap guru, Kompas.com menulis, R juga merasa sakit hati lantaran dia merasa tugas dan karya yang ia kerjakan, kurang diapresiasi oleh guru, jika ia bandingkan dengan karya temen-temanya.
Tentu saja kasus ini bukan kasus yang sederhana. Pasti sekolah punya versi sendiri tentang anak ini. Misalnya kepala sekolah mengatakan bahwa anak ini sering mencari perhatian kepada teman-temannya dan guru di sekolah.
Baca juga :
Tabungan 17 Murid SD Dipinjam Oleh Guru dan Komite Sekolah. Pelajaran Apa yang Dapat Kita Petik?
Oleh karena itu, kata kepala sekolah, R sering dipanggil guru BP dan sering diberikan teguran. Namun pada saat diberikan teguran, ia sering pura-pura sakit atau bahkan pura-pura kesurupan.
Maka untuk menuntaskan kasus ini diperlukan kehati-hatian dan kecermatan baik dari pihak sekolah ataupun pihak lain, terutama untuk mengenali akar masalah di balik kasus ini, dalam rangka mengupayakan penyelesaian yang menyeluruh.
Lebih dari itu, kasus ini menggambarkan dua hal. Pertama, kasus ini menggambarkan bahwa kasus bullying masih marak terjadi di sekolah kita. Belum ada kebijakan yang implementatif dari pemerintah untuk menuntaskan masalah bullying di sekolah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPIA) misalnya mencatat bahwa mayoritas sekolah di Indonesia tidak memiliki sistem pencegahan dan pengaduan bullying terpadu.
Padahal, keberadaan sistem pencegahan dan pengaduan tersebut telah diatur dalam Peraturan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Baca juga :
Bahkan hingga kini, banyak sekolah belum memiliki Unit Kerja Bimbingan dan Konseling padahal unit kerja ini harusnya menjadi unit kerja yang primer. Jika ada pun, banyak guru BK belum memiliki kompetensi untuk menangani bullying.
Padahal, upaya pencegahan dan penanganan bullying harusnya menjadi agenda yang mendesak, mengingat banyak penelitian membuktikan bahwa dampak bullying seperti trauma, berpengaruh hingga dewasa.
Sementara penelitian lain juga membuktikan bahwa murid Indonesia sudah mulai mengalami bullying sejak mereka berada di bangku Sekolah Dasar kelas empat dan berlanjut hingga ke Sekolah Menengah Atas.
Kedua, kasus ini sebut saja, memiliki dimensi yang berbeda. Jika pada banyak kasus bullying yang terjadi, korban bullying sungguh-sungguh membiarkan diri menjadi korban. Korban mengalami trauma, stres dan depresi lalu mengorbankan diri lebih lanjut.
Tindakan mengorbankan diri lebih lanjut misalnya bunuh diri, seperti kasus anak SMP di Jakarta Selatan yang terjun dari apartemen, atau kasus anak SD kelas 5 di Tasikmalaya, depresi berat sehingga tidak dapat makan, akhirnya meninggal.
Baca juga :
Ini Strategi Atasi Bullying Menurut Menteri Pendidikan Nadiem Makarim
Sedangkan kasus ini berbeda. R di-bully oleh teman dan gurunya. Ia tidak terima begitu saja di-bully, lalu dia “membalas” dengan membakar sekolah, terutama membakar ruangan di mana tempat dia mengalami tindakan bullying.
Secara psikologis, ini bisa terjadi karena R merasa tidak bisa melakukan tindakan pembalasan pada pada teman-temannya, apalagi pada gurunya, tapi dia merasa perlu melakukan tindakan “pembalasan”. lalu ia memilih membakar sekolahnya.
Coba bayangkan, jika banyak korban bullying memilih membalas bully-an dengan cara seperti ini, betapa tidak kondusifnya iklim sekolah-sekolah kita?
Lebih dari itu, kasus ini juga menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih serius mendorong sekolah-sekolah untuk memberi perhatian pada upaya untuk mencegah dan mengatasi bullying sejak dari Sekolah Dasar.
Foto: Kabar Terdepan
Leave a Reply